***Welcome My Blog***

Senin, 27 Desember 2010

Sejarah asal nama Sabang dan Pulau Weh

Berbicara mengenai sejarah, nama Sabang sendiri berasal dari bahasa arab, Shabag yang artinya gunung meletus. Mengapa gunung meletus? mungkin dahulu kala masih banyak gunung berapi yang masih aktif di Sabang, hal ini masih bisa dilihat di gunung berapi di Jaboi dan Gunung berapi di dalam laut Pria Laot.
Sekitar tahun 301 sebelum Masehi, seorang Ahli bumi Yunani, Ptolomacus berlayar ke arah timur dan berlabuh di sebuah pulau tak terkenal di mulut selat Malaka, pulah Weh! Kemudian dia menyebut dan memperkenalkan pulau tersebut sebagai Pulau Emas di peta para pelaut.Pada abad ke 12, Sinbad mengadakan pelayaran dari Sohar, Oman, jauh mengarungi melalui rute Maldives, Pulau Kalkit (India), Sri Langka, Andaman, Nias, Weh, Penang, dan Canton (China). Sinbad berlabuh di sebuah pulau dan menamainya Pulau Emas, pulau itu yang dikenal orang sekarang dengan nama Pulau Weh.
Sedangkan Pulau Weh berasal dari kata dalam bahasa aceh, ”weh” yang artinya pindah, menurut sejarah yang beredar Pulau Weh pada mulanya merupakan satu kesatuan dengan Pulau Sumatra, karena sesuatu hal akhirnya Pulau Weh, me-weh-kan diri ke posisinya yang sekarang. Makanya pulau ini diberi nama Pulau Weh.
Peta Sabang Tempo Doeloe

Ada cerita yang aku dengar dari temanku, Radzie yang mendengar dari warga di Gampong Pie Ulee Lheueh, Pulau Weh sebelumnya bersambung dengan Ulee Lheue. Ulee Lheue di Banda Aceh sebenarnya adalah Ulee Lheueh (yang terlepas). Beredar kabar juga Gunung berapi yang meletus dan menyebabkan kawasan ini terpisah. Seperti halnya Pulau Jawa dan Sumatera dulu, yang terpisah akibat Krakatau meletus.
Menurut teman-teman yang berasal dari luar nanggroe (LN), pulau weh terkenal dengan pulau we tanpa h. ada yang berfikiran kalau pulau weh diberi nama pulau we karena bentuknya seperti huruf W. hah?!!kamu juga berpikir seperti itu?ngga salah juga sech.
Yang paling penting bagi sejarah Pulau Weh adalah sejak adanya pelabuhan di Kota Sabang. Sekitar tahun 1900, Sabang adalah sebuah desa nelayan dengan pelabuhan dan iklim yang baik. Kemudian belanda membangun depot batubara di sana, pelabuhan diperdalam, mendayagunakan dataran, sehingga tempat yang bisa menampung 25.000 ton batubara telah terbangun. Kapal Uap, kapal laut yang digerakkan oleh batubara, dari banyak negara, singgah untuk mengambil batubara, air segar dan fasilitas-fasilitas yang ada lainnya, hal ini dapat dilihat dengan masih banyaknya bangunan-bangunan peninggalan Belanda. Sebelum Perang Dunia II, pelabuhan Sabang sangat penting dibanding Singapura. Namun, di saat Kapal laut bertenaga diesel digunakan, maka Singapura menjadi lebih dibutuhkan, dan Sabang pun mulai dilupakan.
Pada tahun 1970, pemerintahan Republik Indonesia merencanakan untuk mengembangkan Sabang di berbagai aspek, termasuk perikanan, industri, perdagangan dan lainnya. Pelabuhan Sabang sendiri akhirnya menjadi pelabuhan bebas dan menjadi salah satu pelabuhan terpenting di Indonesia. Tetapi akhirnya ditutup pada tahun 1986 dengan alasan menjadi daerah yang rawan untuk penyelundupan barang.

Senin, 20 Desember 2010

DEKLARASI STAVANGER {21 Juli 2002.}

Untuk mengelak terjadinya kesalah pahaman tentang pengangkatan Malik Mahmud sebagai Wali Nangroë yang kononnnya berdasarkan hasil "Muwafakat Bansa Atjèh Ban Sigom Donja", maka bersama ini saya sampaikan kepada khlayak umum untuk membaca  dokumen resmi negara Aceh yang dikeluarkan waktu itu. 

Yusra Habib Abdul Gani.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------  
<span><span>DEKLARASI STAVANGER </span></span>
<span><span>Untuk pertama sekali bangsa Acheh dari perwakilan seluruh dunia: Acheh, Malaysia, Singapura, Thailand, Australia, Amerika, Belanda, Jerman, Denmark, Sweden dan Norway telah mengadakan "Muwafakat Bansa Atjèh Ban Sigom Donja" selama tiga hari (19-21 Juli 2002) di Stavanger, Norway. Pertemuan kali ini sangat istimewa, sebab acara tersebut dihadiri oleh Tengku Thjik di Tiro Hasan Muhammad dan aktif mengikuti Sidang selama tiga hari penuh. Sebelumnya, Stavanger juga pernah mencatat dua peristiwa bersejarah, yakni: tuan rumah "joint Seminar of the Areas Europe-Continental and Europe-British & Ireland, 29 Juli - 2 Agustus 1998. Demikian juga Pertemuan "World Federation of Methodists and Uniting Church Women issued" yang menentang pelanggaran hak asasi terhadap perempuan dan anak. </span></span>
<span><span>Acara dibuka tepat pada jam 9.00 pagi waktu setempat oleh Wali Negara, Tengku Thjik di Tiro Hasan Muhammad. Kemudian dibentangkan makalah: "prospek Politik dalam dan luar negara Acheh", oleh Tengku Malik Mahmood, Menteri Negara. </span></span>
<span><span>Dalam makalah tersebut disinggung mengenai perjuangan Acheh, yang kini sudah mamasuki periode, dimana keterlibatan asing terutama: Amerika, Inggeris, Perancis, Kanada, Norway, Sweden, Denmark dan Thailand sudah nampak serius. Para perwakilan negara asing, kerap melakukan kunjungan ke Stockholm, menjumpai Tengku Thjik di Tiro Hasan Muhammad untuk berbincang megenai cara penyelesaian konflik Acheh. Dalam setiap pertemuan, pimpinan Acheh Merdeka selalu menyatakan berpendirian yang tegas bahwa tujuan perjuangan ASNLF adalah untuk memerdekakan Acheh dari penjajahan Indonesia dan sepakat untuk menyelesaikan masalah Acheh ditempuh melalui cara damai yang sudah dirintis oleh HDC sejak tahun 2000. Jika jurus politik ini gagal, maka adu kekuatan (militer) antara Acheh-Indonesia. Acheh tidak gentar, Acheh melawan demi mempertahankan harkat-martabat dan wilayah kedaulatan hukum negara Acheh dari penjajahan Indonesia. </span></span>
<span><span>Sebenarnya, pergolakan yang terjadi sekarang di Acheh mempunyai efek politik, ekonomi dan pertahanan keamanan ber-skala internasional, apalagi kepentingan ekonomi Barat dan Amerika terkait langsung di Acheh. Dengan demikian, jika Barat dan Amerika inginkan stabilitas politik, ekonomi dan pertahanan keamanan tercipta secara menyeluruh di Acheh-Sumatera khususnya dan di kawasan negara-negara ASEAN umumnya, maka persoalan Acheh mesti segera diselesaikan. Jika tidak semua kepentingan asing di Acheh akan terganggu bahkan hancur, sebab Acheh sedang berperang melawan penjajah Indonesia.Oleh sebab pertimbangan- pertibangan tadi, maka pihak asing semakin menyadari bahwa masalah Acheh mesti segera diselesaikan. </span></span>
<span><span>Setelah selesai topik ini, barulah masing-masing perwakilan bangsa Acheh dari seluruh dunia memberi laporan mengenai aktivitas mereka yang telah, sedang dan akan dilakukan. Didapati bahwa perkara Acheh sudah merambah ke jalur politik. Misalnya di Australia, issu Acheh sudah menjadi perbincangan yang reguler dalam Parlemen, demikian juga di kalangan NGOs dan University di Australia. Hal yang sama juga berlaku di Amerika Serikat. Pendeknya semua laporan menggambarkan kemajuan perjuangan Acheh Merdeka di luar negeri dan kendala-kendala yang dihadapi. </span></span>
<span><span>Pada hari kedua, dibentangkan satu makalah menganai: "PELAKSANAAN DEMOKRASI UNTUK MENCAPAI KEMERDEKAAN ACHEH" oleh Tengku Adnan Beuransyah (Denmark-red). Dalam makalah ini disinggung bahwa bangsa Acheh menghargai prinsip demokrasi untuk menyelesaikan perkara Acheh. Artinya, Acheh siap menyelenggarakan referendum atau plebiscite mengikut ketentuan hukum Internasional dibawah pengawasan PBB di Acheh. Tetapi jangan sampai demokrasi itu sendiri yang akan menjahannamkan masa depan Acheh. Pada hari yang sama, Yusra Habib Abdul Gani menyampaikan makalah mengenai: "MANAGEMENT REVOLUSI", Suatu Tela'ah Umum Mengenai Perang di Acheh. </span></span>
<span><span>Pada hari terakhir, Tengku Dr. Zaini Abdullah, Menteri Keséhatan menyampaikan makalah: "EVALUASI PERUNDINGAN GENEVA". Pada prinsipnya Acheh Merdeka menerima formula demokrasi yang ditawarkan oleh pihak asing untuk menyelesaikan perkara Acheh secara damai. dari sudut politik, masalah Acheh dipandang sebagai salah satu agenda internasional (PBB) yang mesti segera diselesaikan. Hal ini ditandai dengan kehadiran Prof. Hurt Hanom, Prof Yuri, Prof. Dr. David Phillips, General Anthony Zinni (utusan khusus Bush untuk Timur Tengah-red) dari Amerika Serikat. Lord Avebury dan Rupert Smith bekas Wakil Ketua NATO dari Inggeris. Bekas Menteri Luar negeri Thailand (Surin Pitsuwan-red) dan Yugoslavia dan seorang wakil dari Departemen Luar Negeri Sweden. Mereka adalah barisan 'wise man' yang turut aktif menyelesaikan konflik Acheh. </span></span>
<span><span>Pada hari terakhir, "Muwafakat Bansa Atjèh Ban Sigom Donja" berhasil membentuk "team work" dan merumuskan beberapa keputusan politik penting antara lain: </span></span>
<span><span> </span></span>
<span><span>1. Penamaan: ASNLF yang selama ini dikenal sebagai wadah perjuangan, kini melangkah meningkat kepada institusi negara (Negara atau Pemerintah Acheh). Dengan demikian sayap militer yang sebelum ini dikenal sebagai AGAM bertukar kepada Tentara Negara Acheh (TNA). </span></span>
<span><span> </span></span>
<span><span>2. Menyempurnakan Kabinet: Jabatan Perdana Menteri Acheh pertama dijabat oleh Tengku Mukhtar Hasbi Geudông (1976-1982). Kemudian dagantikan oleh Tengku Ilyas Leubé (1982-1984). Setelah itu, jabatan Perdana Menteri kosong. Barulah dalam "Muwafakat Bansa Atjèh Ban Sigom Donja" ini, Wali Negara, Tengku Thjik di Tiro Hasan Muhammad melantik secara resmi Tengku Malik Mahmood sebagai Perdana Menteri baru menggantikan Tengku Ilyas Leubé, terhitung 21 Juli 2002, merangkap sebagai sebagai Menteri Negara sejak 1976-sekarang. Selain daripada itu, Tengku Dr. Zaini Abdullah, Menteri Keséhatan Acheh (1976-sekarang), sekarang menduduki Jabatan baru sebagai Menteri Luar Negeri, merangkap Menteri Keséhatan. Jabatan Menteri Luar Negeri sebelumnya dijabat oleh Tengku Thjik di Tiro Hasan Muhammad.</span></span>
<span><span> </span></span>
<span><span>3. Claim Wilayah Kedaulatan Hukum Negara Acheh: "Claim" negara Acheh mengikut sejarah dan hukum Internasional ada tiga sumber: </span></span>
<span><span>-1. Wilayah Hukum Negara Acheh mengikut peta yang dibuat oleh French Map ROAYAUME D'ACHEM (Kingdom of Acheh) yang dibuat pada abad 17. </span></span>
<span><span>-2. Wilayah Hukum Negara Acheh sesudah 7 tahun perang Acheh-Belanda, tahun 1873. English Map yang dibuat oleh Fullerton & Co. London, Dubin, & Edinburgh TAHUN 1880. </span></span>
<span><span>-3. Wilayah Hukum Negara Acheh sesudah 10 tahun perang Acheh-Belanda, tahun 1873. English Map, dikeluarkan oleh London Grafic 22 September 1883. </span></span>
<span><span> </span></span>
<span><span>4. Wilayah Hukum Negara Acheh yang berbatasan dengan Sumatera Utara sekarang. </span></span>
<span><span>Tuntutan Pemerintah Negara Acheh sekarang ialah wilayah kedaulatan hukum dalam point 4 (yang berbatasan dengan Sumatera Utara sekarang). Acheh tidak menggunakan hak untuk menguasai bagian wilayah Sumatera yang sebelumnya merupakan wilayah dibawah lindungan Kesultanan Acheh seperti tercantum dalam point 1, 2 dan 3. Peta tersebut dalam dilihat dalam homepage negara Acheh (ASNLF.COM atau ASNLF.NET). Belanda sendiri, dalam ultimatumnya kepada Sultan Acheh tanggal 26 Maret 1873, ialah salah satunya berbunyi:"Acheh menyerahkan semua wilayah Sumatera (wilayah kedaulatan hukum Kesultanan Siak, Asahan, Deli, Langkat & Temiang) yang berada dibawah perlindungan Kesultanan Acheh. </span></span>
<span><span>Jika satu saat nanti bangsa-bangsa Sumatera sepakat untuk membentuk negara confederasi Sumatera, kita akan bicarakan secara seksama demi kepentingan politik, ekonomi dan pertahanan Sumatera secara menyeluruh. </span></span>
<span><span> </span></span>
<span><span>5. Ibukota negara Acheh: Kutaradja</span></span>
<span><span> </span></span>
<span><span>6. Asas Penentuan Warganegara: Negara Acheh menganut asas Yusanguinis untuk menentukan status kewarganegaraan Acheh. Artinya: Semua keturunan Acheh adalah bangsa Acheh dan otomatis menjadi warganegara Acheh, terkecuali atas kehendak sendiri memilih kewarganegaraan lain. Lelaki atau perempuan keturunan Acheh yang kawin dengan bangsa lain dan menetap dan beranak-pinak di Acheh, pasangannya dapat menjadi waganegara Acheh mengikut ketentuan hukum yang berlaku. Demikian juga, semua orang yang bukan keturunan Acheh yang sudah tinggal dan berketurunan (beranak-pinak) di Acheh sebelum tahun 1976, akan diberi status kewarganegaraan Acheh, sesudah melalui proses pemeriksaan secara hukum. </span></span>
<span><span> </span></span>
<span><span>7. Kedudukan Negara Acheh adalah "successor state" yang menganut prinsip demokrasi. Artinya: struktur dan sistem pemerintahan negara Acheh akan ditentukan sepenuhnya oleh bangsa Acheh sendiri berdasarkan prinsip demokrasi.</span></span>
<span><span> </span></span>
<span><span>8. Hukum negara Acheh menganut adagium: </span></span>
<span><span> </span></span>
"ADAT BAK PO TEUMEURUHÔM
HUKÔM BAK SJIAH KUALA
KANUN BAK PUTROË PHANG
REUSAM BAK BINTARA"

<span><span>Adagium hukum inilah yang telah mengantar kerajaan Acheh ke puncak kejayaannya di zaman Sultan Iskandar Muda. </span></span>
<span><span> </span></span>
<span><span>9. Menyetujui terbentuknya "ACHEH SOCIOLOGICAL RESEARCH", yang struktur, staff, kantor dan alamatnya akan ditetapkan kemudian. Institut ini akan berfungsi dan berperan untuk mencari, menghimpun dan menyimpan semua dokumen mengenai Acheh dari semua sumber informasi seluruh dunia. </span></span>
<span><span>10. Pendidikan Acheh akan dilancarkan melalui jaringan elektronik ke seleruh penjuru dunia dimana saja bangsa Acheh berada, demi meningkatkan kesadaran hidup berbangsa dan bernegara. </span></span>
<span><span>11. Wali Negara Acheh, Tengku Thjik di Tiro Hasan Muhammad, sebagai kepala Negara Acheh mengeluarkan perintah hari ini ("Order of the day"). Perintah ini dikenal sebagai Deklarasi Stavanger, 21 Juli 2002, yang menyerukan kepada seluruh bangsa Acheh dimana saja berada, supaya siap sedia menghadapi perang total yang mungkin dilancarkan oleh rezim Indonesia, sebab pihak Indonesia bermaksud untuk menggagalkan perundingan damai Acheh-Indonesia yang difasilitasi HDC, Geneva dan telah mengirim serdadunya ke Acheh yang hampir 100.000 personil untuk melancarkan perang.</span></span>
<span><span>12. Mensensus bangsa Acheh seluruh dunia. </span></span>
<span><span>13. Meningkatkan usaha diplomasi di Eropah, Amerika, Afrika dan Asia tentang Acheh. </span></span>
<span><span>14. Keputusan yang menyangkut perkara dalaman negara Acheh, belum saatnya dipublikasikan. </span></span>
<span><span> </span></span>
<span><span>Yusra Habib Abd Gani </span></span>
<span><span>(Atas nama 8 orang anggota Team Work, </span></span>


Penulis : Yusra habib Abdul Gani


<span><span>Stavanger Norway, 21 Juli 2002. </span></span>

Minggu, 19 Desember 2010

DBD Semakin Mengganas (11 Warga Bireuen Dirawat & Di Lhokseumawe 80 Persen Penderita Balita)

BIREUEN - Kasus demam berdarah dengue (DBD) dilaporkan terus mengganas selama musim penghujan yang telah berlangsung sejak dua bulan terakhir. Hingga Minggu (19/12) kemarin, sebanyak 11 warga Bireuen masih menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Data cukup mengejutkan dirlis Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe, dimana sebanyak 80 persen dari 547 kasus DBD selama tahun 2010, adalah bayi di bawah lima tahun (balita). 

Data diperoleh Serambi di Bireuen, dari 11 penderita DBD yang masih dirawat di rumah Yayasan Telaga Bunda Bireuen, tujuh di antaranya adalah balita. Enam dari mereka tercatat sebagai warga Kecamatan Kota Juang, yakni Naiya Prisia (warga Gadong), Irham Maulidi, Cot Tarum Tunong, T Harris (warga Meunasah Capa), Khaira Natasya (Kampung Baro), Abiyan (BTN Cot Gapu), Farah Nitia (Gelanggang Baro). Seorang lainnya, Aji Naoval adalah warga Matanggeulumpangdua Peusangan.

Tiga orang dewasa yaitu Agustiar, Raudhatul Jannah, dan Fauzan, warga Meunasah Gadong, Kecamatan Kota Juang Bireuen. Sementara seorang lainnya adalah wanita lanjut usia atasnama Cut Nuraini.

Pimpinan rumah sakit Telaga Bunda, dr Mursyidah A Latief kepada Serambi Minggu (19/12) mengatakan, sejak tanggal 13 Desember lalu jumlah penderita DBD yang dirawat mencapai belasan orang. Hingga kemarin, tujuh orang sudah diperbolehkan pulang, sementara 11 lainnya masih menjalani perawatan. 

Fauzan, salah satu pasien DBD yang dirawat di RS tersebut sejak pukul 10.30 WIB kemarin mengatakan, awalnya ia hanya demam panas, nyatanya setelah diperiksa ternyata terkena DBD. 

Dr Mursyidah mengatakan, hasil pemeriksaan darah ke-11 pasien tersebut positif terkena DBD dalam istilah medis disebut IgG/Igm Dengue. “Ada yang memang sudah membaik dan minta pulang diizinkan, sementara 11 orang hingga siang kemarin masih kita tangani,” katanya. 

Keluarga pasien mengharapkan pihak Dinkes Bireuen segera melakukan tindakan cepat untuk memfogging desa-desa yang warganya terserang DBD, terutama di Kecamatan Kota Juang dan Peusangan. “Ini sangat mengkhawatirkan, karena hampir semua pasien DBD yang dirawat adalah penduduk kecamatan yang sama. Jika tidak dilakukan antisipasi kemungkinan jumlah korban DBD akan bertambah setiap hari,” ujar Zulkifli yang sedang menjaga cucunya di RS Telaga Bunda. 

80 persen balita
Sementara di Lhokseumawe, pihak Dinas Kesehatan setempat merilis data, sepanjang tahun  2010 ini tercatat 574 kasus serangan DBD, dimana sebanyak 80 persen di antaranya menyerang anak-anak di bawah usia lima tahun (balita).  “20 persen lainnya orang dewasa dan orang lanjut usia,” ungkap Kepala Bidang Perencanaan dan Penanggulangan (P2P) Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe, dr Ratna Zahara, Minggu (19/12).

Ia mengatakan, jumlah kasus DBD tahun ini cukup mengkhawatirkan. Menurutnya, jumlah 547 kasus yang tercatat sampai pertengahan Desember ini saja sudah lebih dari jumlah kasus yang terjadi sepanjang tahun 2009 yakni 471 kasus. Data itu juga menunjukkan bahwa kawasan endemis tahun ini masih tetap sama seperti tahun lalu.

Kawasan endemis dimaksud adalah Kecamatan Banda Sakti mencakup Desa Hagu Tengoh, Kampung Jawa Baru, Kuta Blang, Mon Geudong dan Uteun Bayi. Sementara di Kecamatan Muara Dua meliputi Desa Uteungkot, Panggoi, Keude Cunda, Meunasah Alue, dan Tumpok Mesjid.

Ratna mengakui peningkatan kasus DBD di Lhokseumawe karena belum maksimalnya penanganan jangka pendek, selain tentu saja masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan, untuk pencegahan jangka panjang. “Karenanya, kita kembali mengimbau masyarakat agar dapat menjaga lingkungan, terutama mau membasmi tempat-tempat berkembangnya jentik nyamuk penyebab DBD,” demikian dr Ratna.

Sementara itu, hasil penelusaran di Rumah Sakit PMI dan Sakinah Lhokseumawe, Sabtu sore, ada sejumlah pasien yang masih dirawat. Berdasarkan keterangan petugas medisnya, dalam dua bulan terakhir hampir setiap hari ada pasien DBD yang dirawat di dua rumah sakit tersebut.(yus/bah)

Akses  m.serambinews.com dimana saja melalui browser ponsel Anda.

Kinerja Nurdin-Busmadar Dinilai Lemah

 BIREUEN - Kinerja Bupati Bireuen Nurdin Abdul Rahman dan dan wakilnya, Busmadar Ismail, yang telah hampir tiga tahun memimpin, dinilai masih lemah. Hal ini terlihat dari lambannya pembangunan, fisik, SDM, ekonomi, dan pertanian, dalam tiga tahun terakhir. Bahkan banyak program dilaporkan belum berjalan sesuai dengan harapan.

Seperti dituturkan Ir Azhari, anggota DPRK Bireuen, kepada Serambi Sabtu (18/12) kemarin. Menurutnya, selama Pemerintahan Kabupaten Bireuen dipimpin oleh Nurdin-Busmadar, sangat sedikit program pembangunan yang berjalan sebagaimana harapan masyarakat. Sehingga berpengaruh pada perekonomian masyarakat, seperti pengembangan usaha kecil dan pembukaan lapangan kerja baru, sangat minim bahkan belum tampak sama sekali.

“Kalau dalam sisa kepemimpinan Nurdin-Busmadar dua tahun ke depan belum ada perkembangan, bukan tidak mungkin masyarakat akan mengatakan kepemimpinan mereka selama menjadi bupati dan wakil bupati gagal dalam segala bidang. Terutama masalah pembangunan, baik pembangunan sumber daya manusia maupun pembangunan fisik,” ujar anggota Komisi B bidang ekonomi dan pertanian DPRK setempat. 

Azhari tidak menampik jika lambannya pembangunan di Bireuen ini karena imbas dari kepemimpinan yang lalu. Menurutnya, pemerintahan sekarang disibukkan untuk menyelesaikan utang-utang masa pemerintahan sebelumnya, sehingga anggaran yang ada terpaksa dimanfaatkan untuk membayar pekerjaan yang lalu. 

Namun demikian, Azhari berharap Bupati Nurdin Abdul Rahman jangan hanya diam, juga jangan hanya sibuk memikirkan masalah masa lalu saja, tetapi perlu menjemput bola untuk membangun ekonomi masyarakat saat ini.           

Sementara itu, staf ahli bupati bidang pembangunan, Ir Bustami Hamid, yang dimintai tanggapannya terkait kinerja bupati dalam hal pembangunan di Bireuen mengatakan, masyarakat tidak boleh menyalahkan bupati dan wakilnya yang merupakan leader (pemimpin). Menurut Bustami, seharusnya orang-orang yang duduk di sejumlah dinas itu harus mampu menjemput bola alias mendatangkan investor atau mencari dana dari luar daerah untuk membangun Kabupaten Bireuen.   

Selain itu, kata Bustami, hingga saat ini Pemkab Bireuen masih melengkapi database yang sangat menentukan dalam pembangunan suatu daerah. “Tanpa data base yang lengkap, tentunya sulit untuk membangun sebuah daerah. Bukan berarti Bireuen tidak memiliki data base, tetapi sedang dilengkapi. Dengan adanya data base, tentunya mudah dalam membuat program pembangunan, seperti membangun irigasi, jalan, gedung, sekolah, masdrasah, dan lain sebagainya, karena program pembangunan harus tuntas dan harus diutamakan skala prioritas, tentunya butuh data yang lengkap dan akurat,” terangnya.(c38)

Proyek Drainase Mengusik Kota

PENGANTAR - Sejak sekitar empat bulan lalu, Kota Banda Aceh dan beberapa bagian Kabupaten Aceh Besar disibukkan dengan aktivitas gali menggali mengikuti rentang pinggiran jalan utama hingga menusuk ke pusat-pusat permukiman. Wartawan Serambi, Herianto, Misran Asri, dan Saniah dengan dikoordinir Redaktur Kota, Safriadi H Syahbuddin merekam berbagai persoalan yang muncul dalam proses megaproyek tersebut. Nasir Nurdin merangkumnya untuk laporan khusus edisi ini.

NADA suara Sulaiman Abda, Ketua II DPRA beberapa kali terdengar agak tinggi saat menanggapi persoalan yang muncul dalam proses pembangunan proyek drainase Kota Banda Aceh dan Aceh Besar. “Dana proyek itu bersumber dari pinjaman lunak Prancis sebesar 36,8 juta Euro atau senilai Rp 446 miliar dan berstatus tender internasional. Tapi kenapa cara kerjanya sangat tidak mencerminkan pola kerja konstruksi internasional,” tandas Sulaiman Abda, Minggu (19/12).

Megaproyek itu dilaksanakan oleh empat BUMN Kementerian PU, yaitu PT Adhi Karya, PT Waskita Karya, PT Pembangunan Perumahan, dan PT Brantas Abipraya. Keempat perusahaan itu memborong pekerjaan rehabilitasi parit dan pembangunan drainase di delapan kecamatan dalam Kota Banda Aceh ditambah beberapa kawasan Kabupaten Aceh Besar.

Sulaiman menjelaskan, dalam kontrak kerja konstruksi berstandar nasional dan internbasional, ada tiga hal penting yang harus menjadi perhatian kontraktor, yaitu lingkungan (environmental), kesehatan (health), dan keamanan (safety).

Artinya, kontraktor tidak boleh memberikan kesulitan dan menyusahkan masyarakat yang melakukan aktivitas, tidak boleh terganggu kenyamanan, tidak boleh mengancam keamanan, dan tidak boleh membahahayakan kesehatan. “Ketiga syarat utama itu tampaknya tidak menjadi perhatian kontraktor yang mengerjakan drainase kota. Malah menyusahkan masyarakat dan mengundang bahaya,” kata Sulaiman.

Sulaiman mencontohkan kondisi lapangan yang tak karu-karuan, seperti pembiaran tanah galian dan material di pinggir jalan, galian tidak diberi tanda-tanda bahaya sehingga mengancam keselamatan pejalan kaki maupun pengguna kendaraan, dan tidak dibangunnya jembatan yang memenuhi syarat untuk masyarakat yang berumah atau bertempat usaha di seberang galian. “Sangat menyusahkan. Belum lagi soal lumpur ketika musim hujan dan polusi debu ketika panas. Harusnya kondisi ini tidak boleh terjadi,” kata Sulaiman.

Sebagai wakil rakyat, Sulaiman menyambut baik kehadiran proyek tersebut, apalagi kalau dibangun sesuai dengan perencanaan akan membebaskan Kota Banda Aceh dan sebagian Aceh Besar dari banjir genangan yang rutin melanda setiap hujan deras atau pada siklus lima tahunan dan 10 tahunan. Tujuan lainnya adalah membebaskan Kota Banda Aceh dan Aceh Besar dari serangan penyakit malaria, demam berdarah, tipus, diare, dan lainnya yang disebabkan tak berfungsinya drainase/parit kota. “Harapan kita, proyek yang bertujuan untuk kemaslahatan ini jangan sampai memunculkan persoalan ketika masih dalam proses pelaksanaan,” demikian Sulaiman Abda. (*)

Serambi Makkah Jantung Indonesia

Sejarah perlawanan terhadap berbagai bentuk penjajahan di daerah yang mendapat julukan “Serambi Makkah” itu adalah sekeping dari cerita perjalanan anak bangsa


Oleh Natsir Djamil
“Udep sare mate syahid.” Itulah slogan yang pernah hidup dalam sanubari rakyat yang hidup di Aceh. Sejarah perlawanan terhadap berbagai bentuk penjajahan di daerah yang mendapat julukan “Serambi Makkah” itu adalah sekeping dari cerita perjalanan anak bangsa muslim yang bernama Indonesia. Islam yang menggelora di dada tercermin dari sikap patriotik yang mereka tampilkan. Perlawanan demi perlawanan senantiasa ditampakkan guna mengusung sebuah misi suci yaitu hidup mulia atau mati syahid. Dalam sejarah perjalanan bangsa, Aceh menjadi kawasan dalam lingkungan besar Nusantara yang mampu memelihara identitas. Aceh juga memiliki sejarah kepribadian kolektifnya yang relatif jauh lebih tinggi, lebih kuat, serta paling sedikit “ter-Belanda-kan” daripada daerah-daerah lain. Dan itulah sebabnya, mengapa orang Belanda sekelas Van de Vier menyebutkan bahwa “orang Aceh dapat dibunuh, tetapi tak dapat ditaklukkan” (Aceh Orloog/Perang Aceh).

Kilas balik perlawanan orang Aceh dapat ditelusuri dalam buku-buku sejarah, baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, maupun Perancis. Sejarah mencatat bahwa peperangan melawan kolonialisme dan imperialisme (1873-1942) telah memaksa Aceh melakukan perlawanan sengit. Bahkan mendongkrak semangat kaum wanitanya untuk tampil ke garda terdepan. Dengan perkasa membela kehormatan sekaligus menggencarkan penyerangan terhadap musuh yang datang pada saat bersamaan. Semangat juang tersebut lahir dari sebuah keyakinan bahwa semua itu pilihan perang sabilillah. Berperang demi kehormatan bangsa dan agama. Menampik setiap tawaran kompromi dan hanya mengenal pilihan membunuh atau dibunuh ketika berhadapan dengan para penjajah.

Babak baru sejarah Aceh dimulai sejak Islam singgah di bumi ujung Barat Sumatera. Saat itu dikenal adanya kerajaan-kerajaan Islam seperti Kerajaan Islam Peureulak (840 M/225 H), Kerajaan Islam Samudera Pasai (560 H/1166 M), Kerajaan Tamiang, Pedir dan Meureuhom Daya. Kemudian, oleh Sultan Alauddin Johansyah Berdaulat (601 H/1205 M) Aceh disatukan menjadi Kerajaan Aceh Darussalam dengan ibukota Bandar Aceh Darussalam yang bergelar Kutaraja.

Kerajaan Aceh Darussalam inilah yang memperluas penaklukannya ke negeri-negeri Melayu sampai ke Semenanjung Malaka yang pada abad kelima, Aceh menjadi Kerajaan Islam terbesar di Nusantara dan kelima terbesar di dunia. Sang penakluk itu bernama Sultan Alauddin al Kahhar dan dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam. Penaklukan yang dilakukan Aceh bukan untuk menjajah suku bangsa lain, tetapi untuk melindungi mereka dari penjajahan Portugis (A Hasjmy; Hikayat Perang Sabil Menjiwai Perang Aceh Melawan Belanda. Jakarta: Bulan Bintang 1997).

Pada masa jayanya, Aceh sudah menjalin hubungan dagang dan diplomatik dengan negara-negara tetangga, Timur Tengah dan Eropa. Antara lain dengan Kerajaan Demak, Kerajaan Pattani, Kerajaan Brunei Darussalam, Turki Utsmani, Inggris, Belanda dan Amerika. Kerajaan Aceh Darussalam memiliki hukum sendiri, yakni “Kaneun Meukuta Alam” yang berdasarkan Syariah Islam. Dengan hukum tersebut rakyat yang bernaung dalam Kerajaan Aceh Darussalam mendapat keadilan hukum. Karena itulah, banyak wilayah penaklukan yang merasa senang bergabung dengan Aceh. Seandainya tidak ada hasutan dari pihak kolonial, boleh jadi daerah taklukan tidak melepaskan diri dari Kerajaan Aceh Darussalam.

Ketika kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara sudah ditaklukkan kolonial Barat, Aceh masih berdaulat sampai akhir abad ke-18. Bangsa kolonial, baik Portugis, Inggris, maupun Belanda bukannya tidak berambisi menaklukkan Aceh, tetapi mereka gentar kepada keunggulan Angkatan Laut Aceh yang menguasai perairan Selat Malaka dan Lautan Hindia. Saat itu Angkatan Laut Aceh memiliki armada yang tangguh berkat bantuan senjata dan kapal perang dari Turki Utsmani. Salah satu yang terkenal itu adalah Laksamana Malahayati.

Malahayati, Cut Nyak Dhien, Cut Muetia, dan Pocut Meurah Intan merupakan deretan nama yang menjadi simbol perjuangan kaum perempuan (inong) di Aceh. Mereka terdiri dari kalangan muda, tua maupun janda juga terlibat dalam kancah perjuangan. Begitupun mereka berusaha sekuat mungkin agar perjuangan tidak menghilangkan kodrat kewanitaan. Sebagai wanita yang harus mengandung dan melahirkan tetap dijalani dalam sebuah peperangan. Terkadang harus melaluinya dalam kondisi antara dua peperangan. Kebanyakan berjuang bersama-sama suaminya. Dengan tangan yang kecil mungil lincah memainkan kelewang dan rencong menjadi senjata dahsyat di hadapan lawan, di samping terus menimang bayinya seraya bersenandung semangat perjuangan. Memompakan semangat jihad dengan syair yang indah: 

Allah hai do kudaidang 
Seulayang blang kaputoh taloe 
Beu rayek sinyak rijang-rijang 
Jak meuprang bela nanggroe 

timang anakku timang
layang-layang sawah putus benang
cepat besar anakku sayang
pergi berperang bela negara

Tidaklah berlebihan apabila H.C. Zentgraaff, seorang penulis dan wartawan Belanda yang terkenal dan banyak menulis tentang sejarah perang melawan Belanda di Aceh mengatakan bahwa para wanitalah yang merupakan “de leidster van het verzet” (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang yang terkenal tersebut. Bahkan sejarah Aceh mengenal “Grandes Dames” (wanita-wanita agung) yang memegang peranan penting dalam politik maupun peperangan baik dalam posisinya menjadi sultaniah atau sebagai istri orang-orang yang terkemuka dan berpengaruh. (Sabili) 

Sumber : www.pakdenono.com

Daud Beureueh : Membangun Negara di Atas Gunung



“Wallah, billah, daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai syari’at Islam. Akan saya pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan syari’at Islam. Apakah Kakak masih ragu?” 
Kata-kata di atas diucapkan oleh Soekarno sambil terisak di bahu seseorang yang ia panggil Kakak. Sang kakak, tidak lain adalah Daud Beureueh. Akhirnya, berbekal iba dan isak tangis, Soekarno berhasil meluluhkan hati sang Abu Jihad, demikian panggilan Daud Beureueh.

Soekarno mengucapkan janjinya untuk meyakinkan Daud Beureueh, bahwa jika Aceh bersedia membantu perjuangan kemerdekaan, syari’at Islam akan diterapkan di tanah Rencong ini. Maka urung niat Daud Beureu’eh meminta perjanjian hitam di atas putih.

Tapi ternyata janji tinggal janji, penerapan syariat Islam di Aceh pun tinggal mimpi. Air mata yang diteteskan Soekarno ternyata hanya pelengkap sandiwara.

Siapakah Daud Beureueh? Ia adalah cikal bakal semua gerakan kemederkaan Aceh. Lahir 17 September 1899, dengan nama asli Muhammad Daud di sebuah dusun kecil bernama Beureu’eh di Aceh Pidie. Nama dusun itulah yang kelak yang lebih dikenal sebagai namanya. la bukan dari kalangan bangsawan Aceh yang bergelar Teuku, ia seorang rakyat biasanya saja. Gelar Tengku di depan namanya menandakan ia termasuk salah seorang yang diperhitungkan sebagai ulama di masyarakat sekitarnya. Selain Abu Jihad, orang-orang di sekitarnya biasa memangilnya dengan sebutan Abu Daud atau Abu Beureueh.

Pada zamannya, Daud Beureueh dikenal sebagai seorang ulama yang tegas dan keras pendiriannya. la tak segan-segan menjatuhkan vonis haram atau kafir bagi setiap orang yang telah melanggar aturan agama. Menurut beberapa catatan dan keterangan orang-orang yang dekat dengan Abu Daud, ia termasuk salah seorang yang buta huruf (tapi akhimya ia bisa juga baca dan tulis huruf latin). Ia hanya bisa membaca aksara Arab. Tapi jangan ditanya soal kemampuannya dalam masalah agama dan siasat perang.

Pendidikan yang ia jalani adalah pendidikan dari beberapa pesantren di daerahnya. Beberapa pesantren yang pernah menempa tokoh yang satu ini adalah Pesantren Titeue dan Pesantren Leumbeue. Kedua pesantren itu terkenal sebagai “pabrik” yang melahirkan pribadi-pribadi dengan militansi tinggi di bumi Serambi Makkah.

Abu Daud terkenal sebagai orator dan seorang yang pemurah hati. Kepeduliannya pada pendidikan rakyat Aceh pun sangat tinggi. Kepedulian pada pendidikan itu pula yang membuatnya pada tahun 1930 mendirikan Madrasah Sa’adah Adabiyah, di Sigli.

Sembilan tahun kemudian, bersama seorang sahabatnya, Daud Beureueh mendirikan sebuah organisasi sebagai wadah para ulama Aceh. Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), begitu ia memberi nama organisasi tersebut. PUSA inilah yang kelak menjadi motor perjuangan melawan penjajah Belanda.

Selain itu, PUSA didirikan untuk mempersatukan visi para ulama Aceh terhadap syariat Islam dan memperbaiki program-program sekolah agama di Aceh. Meski pada awalnya didirikan dengan latar keagamaan, tak urung PUSA akhirnya dimusuhi Belanda. Itu semua karena gerakan PUSA berhasil mencerdaskan rakyat Aceh dan menanamkan semangat jihad yang tinggi untuk melawan penjajah. Hal ini menjadikannya sebagai tokoh PUSA yang paling diincar oleh pemerintah kolonial Belanda. Pengejaran yang dilakukan Belanda itulah yang membuat PUSA menjadi gerakan bawah tanah.

Kabar kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta, terlambat sampai di Aceh. Kabar merdeka baru diterima pada 15 Oktober1945. Mendengar kemerdekaan yang sudah mutlak, semangat perjuangan Abu Daud kian meledak. “Aceh juga harus merdeka,” pekiknya membangkitkan semangat mengusir Belanda yang berada di Aceh. Segera ia serukan lewat seluruh ulama di Aceh agar rakyat Aceh mendukung Soekarno. Namun seperti tertulis di atas, air susu dibalas air tuba.

Selain dukungan untuk Soekarno, masih banyak lagi sumbangsih rakyat Aceh yang nota bene salah satu hasil perjuangan Daud Beureueh. Sumbangsih tanda kasih pada Rl itu antara lain adalah saat ibukota Rl masih di Yogyakarta. Ketika kota itu diduduki dan Soekarna-Hatta ditawan Belanda dalam Agresi Militer II, tanpa dikomando, rakyat Aceh membangun dua pemancar radio untuk berkomunikasi dengan dunia luar yang terputus akibat aksi itu.

Begitu juga saat PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittingi dipindahkan ke Kutaraja. Rakyat Aceh menanggung seluruh biaya “akomodasi” pemerintahan darurat. Daftar sumbangsih rakyat Aceh untuk Rl akan semakin panjang jika kita masih mau mencari. Sebut saja cikal bakal penerbangan Indonesia. Rakyat Aceh-lah yang memulai dengan pesawat terbang Seulawah I dan II yang disumbangkan untuk Rl. Namun, tuntutan untuk hidup di bawah syariat Islam belum juga terwujud. Bahkan rakyat Aceh cenderung menjadi “anak tiri” Rl, ketika Soekarno membubarkan Provinsi Aceh dan melebumya menjadi bagian dari Sumatera Utara.

Tentu saja hal itu menimbulkan kemarahan rakyat Aceh. Daud Beureueh yang menjadi gubernur pertama Aceh, berkata lantang di atas mimbar, “Apabila tuntutan Provinsi Aceh tidak dipenuhi, kita pergi kegunung untuk membangun negara dengan cara kita sendiri.”

Puncaknya pada 21 September 1953, ia memimpin dan memproklamirkan bahwa Aceh bagian dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hal itu tidak lebih dari respon atas penindasan dan kekecewaan yang telah menggunung pada pemerintah Rl, lebih-lebih pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo.

Untuk meredakan aksi tersebut, pemerintah mengirim M. Natsir ke Aceh, dengan disepakatinya tuntutan rakyat Aceh dan diberikannya otonomi untuk Aceh. Namun masa tenang itu tak berlangsung lama. Penangkapan-penangkapan yang dilakukan pada anggota DI/TII terus berlanjut karena isu-isu rapat rahasia antara Daud Beureueh dengan Kartosoewiryo.

Banyak orang menyebut Daud Beureueh sebagai pemberontak. Pemberontakkah ia, jika setelah sekian lama memberikan baktinya tapi malah dera derita untuk Aceh yang diterimanya?


Tahukah anda ? Aceh Tidak Pernah Berontak Pada NKRI

Di dalam buku-buku pelajaran sejarah dan media massa nasional, beberapa tahun sebelum terciptanya perdamaian di Nangroe Aceh Darussalam, kita sering mendengar istilah ‘pemberontakan rakyat Aceh’ atau ‘pemberontakan Aceh’ terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Sejak zaman kekuasaan Bung Karno hingga presiden-presiden penerusnya, sejumlah ‘kontingen’ pasukan dari berbagai daerah—terutama dari Jawa—dikirim ke Aceh untuk ‘memadamkan’ pemberontakan ini. Kita seakan menerima begitu saja istilah ‘pemberontakan’ yang dilakukan Aceh terhadap NKRI.Namun tahukah kita bahwa istilah tersebut sesungguhnya bias dan kurang tepat? Karena sesungguhnya - dan ini fakta sejarah - bahwa Naggroe Aceh Darussalam sebenarnya tidak pernah berontak pada NKRI, namun menarik kembali kesepakatannya dengan NKRI. Dua istilah ini, “berontak” dengan “menarik kesepakatan” merupakan dua hal yang sangat berbeda.

Sudah Merdeka Sebelum NKRI Lahir
NKRI secara resmi baru merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Sedangkan Nanggroe Aceh Darussalam sudah berabad-abad sebelumnya merdeka, memiliki hukum kenegaraan (Qanun)nya sendiri, menjalin persahabatan dengan negeri-negeri seberang lautan, dan bahkan pernah menjadi bagian (protektorat) dari Kekhalifahan Islam Tuki Utsmaniyah.

Jadi, bagaimana bisa sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sejak abad ke-14 Masehi, bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Kerajaan Budha Sriwijaya, dianggap memberontak pada sebuah Negara yang baru merdeka di abad ke -20?

Nanggroe Aceh Darussalam merupakan negara berdaulat yang sama sekali tidak pernah tunduk pada penjajah Barat. Penjajah Belanda pernah dua kali mengirimkan pasukannya dalam jumlah yang amat besar untuk menyerang dan menundukkan Aceh, namun keduanya menemui kegagalan, walau dalam serangan yang terakhir Belanda bisa menduduki pusat-pusat negerinya.

Sejak melawan Portugis hingga VOC Belanda, yang ada di dalam dada rakyat Aceh adalah mempertahankan marwah, harga diri dan martabat, Aceh Darussalam sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat berdasarkan Qanun Meukuta Alam yang bernafaskan Islam.

Saat itu, kita harus akui dengan jujur, tidak ada dalam benak rakyat Aceh soal yang namanya membela Indonesia. Sudah ratusan tahun, berabad-abad Kerajaan Aceh Darussalam berdiri dengan tegak bahkan diakui oleh dunia Timur dan Barat sebagai “Negara” yang merdeka dan berdaulat.

Istilah “Indonesia” sendiri baru saja lahir di abad ke-19. Jika diumpamakan dengan manusia, maka Aceh Darussalam adalah seorang manusia dewasa yang sudah kaya dengan asam-garam kehidupan, kuat, dan mandiri, sedang “Indonesia” masih berupa jabang bayi yang untuk makan sendiri saja belumlah mampu melakukannya.

Banyak literatur sejarah juga lazim menyebut orang Aceh sebagai “Rakyat Aceh”, tapi tidak pernah menyebut hal yang sama untuk suku-suku lainnya di Nusantara. Tidak pernah sejarah menyebut orang Jawa sebagai rakyat Jawa, orang Kalimantan sebagai rakyat Kalimantan, dan sebagainya. Yang ada hanya rakyat Aceh. Karena Aceh sedari dulu memang sebuah bangsa yang sudah merdeka dan berdaulat.

Dipersatukan Oleh Akidah Islamiyah
Kesediaan rakyat Aceh mendukung perjuangan bangsa Indonesia, bahkan dengan penuh keikhlasan menyumbangkan segenap sumber daya manusia dan hartanya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia—lebih dari daerah mana pun di seluruh Nusantara, adalah semata-mata karena rakyat Aceh merasakan ikatan persaudaraan dalam satu akidah dan satu iman dengan rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim.

Ukhuwah Islamiyah inilah yang mempersatukan rakyat Aceh dengan bangsa Indonesia. Apalagi Bung Karno dengan berlinang airmata pernah berjanji bahwa untuk Aceh, Republik Indonesia akan menjamin dan memberi kebebasan serta mendukung penuh pelaksanaan syariat Islam di wilayahnya. Sesuatu yang memang menjadi urat nadi bangsa Aceh.

Namun sejarah juga mencatat bahwa belum kering bibir Bung Karno mengucap, janji yang pernah dikatakannya itu dikhianatinya sendiri. Bahkan secara sepihak hak rakyat Aceh untuk mengatur dirinya sendiri dilenyapkan. Aceh disatukan sebagai Provinsi Sumatera Utara. Hal ini jelas amat sangat 

Sumber : Pakdenono Juni 2007

WN Harus Orang yang Sangat Kenal Aceh



BANDA ACEH - Meski draf Rancangan Qanun Lembaga Wali Nanggroe (Raqan LWN) masih memunculkan pro-kontra namun tak menyurutkan pembicaraan soal sosok maupun kriteria sang wali. Bahkan, Gubernur Irwandi Yusuf mengingatkan agar pemimpin lembaga tertinggi adat ini harus orang yang sangat mengenal Aceh secara lengkap.

Pernyataan itu disampaikan Gubernur Irwandi Yusuf ketika berpidato pada acara peletakan batu pertama pembangunan Meuligoe Wali Nanggroe di kawasan Lampeunuruet, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar, Kamis (16/12). Menurutnya, WN bukan hanya sekadar orang tua yang duduk manis sambil melihat-lihat apa yang terjadi di Aceh, tapi harus bergulat dengan berbagai masalah adat dan budaya.

“Kami katakan tidak mudah sebab adat Aceh tak hanya milik satu komunitas saja, tapi banyak komunitas di wilayah kita dengan adat dan budaya beragam. Makanya Wali Nanggroe haruslah orang yang bisa mengenal Aceh secara lengkap, tidak sepenggal-sepenggal,” tegas Irwandi.

Irwandi juga mengingatkan, dengan tugas yang banyak, WN harus fokus untuk kerja berkaitan dengan adat dan budaya, seperti tercantum dalam UU Pemerintah Aceh (UUPA) dan naskah MoU Helsinki. Sedangkan urusan politik dan pemerintahan tetap diserahkan kepada eksekutif dibantu legislatif.

“Dengan demikian terlihat jelas ada pemisahan dan pembagian kekuasaan. Sehingga ketika ada yang salah, kita dengan mudah tahu di mana letak kesalahan dan cara memperbaikinya,” kata Gubernur Aceh.

Gubernur berharap Raqan LWN yang sedang dibahas di DPRA berjalan mulus dan cepat selesai. Selanjutnya, setelah qanun itu disahkan, secara bersama mencari figur yang cocok guna menduduki posisi WN. “Kami mengimbau seluruh masyarakat Aceh mendukung misi penguatan adat dan budaya yang akan dijalankan Wali Nanggroe, sehingga kebersamaan kita semakin meningkat. Dengan persatuan dan kebersamaan yang tinggi, program pembangunan pasti berjalan lancar dan adat kita terpelihara dengan baik hingga akhir zaman,” harap Irwandi.

Dikatakannya, dalam menjalankan peran sebagai simbol adat, sewajarnya WN mendapat fasilitas memadai, salah satunya Meuligoe Wali Nanggroe yang akan dimulai pembangunannya dan ditargetkan siap dalam dua tahun. “Insya Allah di sinilah nantinya Wali Nanggroe akan berkantor dan membimbing pelaksanaan kehidupan adat Aceh. Dengan hadirnya lembaga ini, kami berharap rakyat Aceh semakin bersatu padu membangun daerah ini,” tambah Irwandi.

Momen bersejarah
Juru runding GAM yang menetap di Singapura, Malik Mahmud juga diberi kesempatan menyampaikan sambutan pada acara tersebut. Malik menyambut baik pembangunan Meuligoe Wali Nanggroe dengan menyatakan bangunan itu sebagai sebuah momen bersejarah.

Menurut Malik, sebagai sebuah bangunan fisik akan bercerita banyak hal, mulai konflik, penderitaan, dan diakhiri perdamaian setelah melewati gelombang sejarah yang panjang dan melelahkan. Meuligoe juga sebuah barang mati yang sesungguhnya hidup, karena menjadi monumen perdamaian abadi Pemerintah Indonesia dengan GAM, sebagai perwujudan dari realisasi MoU Helsinki. “Bangunan meuligoe ini juga memberi makna penting tentang pengakuan keunikan Aceh dalam keluarga besar bangsa Indonesia. Oleh para founding father-nya telah meletakkan dalam persatuan bhinneka tunggal ika,” kata Malik dalam sambutan tertulisnya.

Malik menambahkan, institusi WN sangat sentral di masa lampau, namun perang kolonial yang panjang telah membuat lembaga ini tertimbun dalam tumpukan sejarah, meski dicatat dan tersimpan di berbagai perpustakaan luar negeri.

12,9 hektare
Kepala Biro Administrasi Pembangunan Setda Aceh, Khairiwas menjelaskan, meuligo akan berdiri di atas lahan milik Pemerintah Aceh seluas 12,9 hektare. Awalnya di lahan itu rencananya akan dibangun Islamic Center, bahkan sebelah barat gedung itu sudah berdiri bangunan beton untuk Islamic Center.

“Tapi berdasarkan rapat bersama bahwa di Banda Aceh sudah ada IAIN Ar-Raniry serta banyak pesantren, Islamic Center tak dilanjutkan pembangunannya. Meski begitu, bangunan yang telah dibangun itu tidak sia-sia, tapi dilanjutkan untuk perkantoran Wali Nanggroe,” sebut Khairiwas.

Mengenai anggaran biaya untuk pembangunan Meuligoe Wali tersebut, Serambi sudah berupaya menanyakan kepada Khairiwas yang dihubungi beberapa saat seusai acara. Namun Khairiwas mengaku tak ingat berapa biaya yang akan dihabiskan untuk itu, tetapi menurutnya Meuligoe Wali dibangun dengan sistem tahun jamak (multiyears) untuk masa dua tahun.

Sumber-sumber menyebutkan, anggaran untuk pembangunan Meuligoe Wali akan menyerap anggaran sekitar Rp 25 miliar tetapi belum ada yang mengkonfirmasikan dari mana sumber dana untuk itu. Khairiwas yang ditanyai soal dana malam mengarahkan Serambi menanyakan kepada salah seorang pejabat Dinas BMCK Aceh.

Peletakan batu pertama pembangunan Meuligoe Wali dilakukan masing-masing oleh Gubernur Irwandi Yusuf, Malik Mahmud, dan Ketua DPRA Hasbi Abdullah. Sedangkan acara adat peusijuek dilakukan oleh perwakilan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) bersama ulama Aceh Abu Tumin.

Dalam rangkaian kegiatan itu, Kepala Dinas Bina Marga dan Cipta Karya (BMCK) Aceh menjelaskan maket pembangunan Meuligoe Wali. Menurutnya, rencana ke depan meuligoe tersebut masuk dalam jalan lingkar Banda Aceh yang menghubungkan, antara lain ke terminal bus dan Kantor Gubernur.

Prosesi peletakan batu pertama Meuligoe Wali berlangsung sekitar dua jam dimulai pukul 10.30 WIB. Selain dihadiri warga dari berbagai wilayah Aceh, juga para bupati/wali kota serta Unsur Muspida dari Aceh Besar dan Kota Banda Aceh.(sal)  

Sumber : Serambi Indonesia 17 Des 2010

Wabup Gagal Dikonfrontir (Kasus Deposito Aceh Utara Rp 220 M)

BANDA ACEH - Wakil Bupati (Wabup) Aceh Utara, Syarifuddin SE batal diperiksa untuk dikonfrontir dengan Lista Adriani di Rutan Salemba, Jakarta Pusat, Jumat (17/12), karena menurut pengacara Wabup Aceh Utara, Jafaruddin Abdullah SH, pihak penyidik belum memiliki izin untuk mengeluarkan Lista dari rutan tersebut. Dalam keterangannya kepada Serambi, Jumat (17/12), Jafaruddin Abdullah mengatakan, berdasarkan keterangan pihak penyidik kepadanya, Wabup Syarifuddin batal dikonfrontir dengan Lista karena Mahkamah Agung (MA) belum mengeluarkan izin agar Lista bisa keluar beberapa saat dari tahanan guna dikonfrontir dengan Wabup.

Menurutnya, sesuai pemberitahuan penyidik Polda, izin itu rencananya keluar, Senin (20/12). “Dengan demikian, pemeriksaan Pak Wabup untuk dikonfrontir dengan Lista dijadwalkan keesokannya, Selasa (21/12). Keduanya perlu dikonfrontir karena Lista mengaku pernah menyerahkan uang Rp 2 miliar kepada Pak Wabup, sedangkan Pak Wabup mengaku tak pernah menerima uang itu,” sebut Jafaruddin.

Cukup kepala rutan
Ditanya kenapa izin Lista untuk keluar sesaat dari ruang tahanan guna diperiksa harus melalui MA, padahal pemeriksaan masih di dalam Rutan Salemba, meski di ruang berbeda, Jafaruddin mengaku tak tahu. “Ya, semestinya cukup dengan izin kepala rutan, karena Lista tidak dipindahkan dari rutan A ke rutan B. Tapi coba tanya ke penyidik karena informasi itu tadi dari penyidik,” kata Jafar.  Hingga malam tadi, Serambi belum berhasil menghubungi pihak penyidik Polda Aceh untuk mengetahui alasan tertundanya pemeriksaan Wabup Aceh Utara. Dua orang penyidik yang dihubungi Serambi, HP-nya tak aktif, sms juga tak ada balasan.  

Seperti diketahui, sehari sebelumnya Wabup dan Bupati Aceh Utara, Ilyas A Hamid tetap saling membantah ketika dikonfrontir di Rutan Salemba. Pada kesempatan sama, keduanya yang sudah ditetapkan tersangka dalam kasus itu juga dikonfrontir dengan Yunus Gani Kiran cs, mereka adalah saksi yang sudah menjadi terpidana dalam kasus Rp 220 miliar, namun terbukti atas dakwaan kejahatan perbankan dan money laundry baik dalam putusan PN dan putusan banding Pengadilan Tinggi (PT) di Jakarta. Sesuai keterangan Pengacara Bupati, Sayuti Abubakar, kedua pejabat Aceh Utara itu saling bantah keterangan karena Bupati mengaku tak pernah memerintahkan Wabup mendepositokan Silpa Aceh Utara 2008 dari Bank BPD Aceh Cabang Lhoseumawe ke Bank Mandiri KCP Jelambar, seperti halnya pengakuan Wabup.

Tapi Bupati mengaku sesuai bukti tertulis yang dipegang penyidik, dirinya hanya mengeluarkan surat perintah agar uang itu didepositokan di BPD Aceh Cabang Lhokseumawe, 2 Februari 2009. Menurut Bupati, kenyataannya pada 4 Februari 2009, kas itu didepositokan Wabup ke Mandiri KCP Jelambar.    Sedangkan pengacara Wabup, Jafaruddin Abdullah SH mengatakan kliennya masih yakin sekali sebelum uang itu didepositokan dari Bank BPD Aceh ke Bank Mandiri KCP Jelambar, Wabup mengaku dirinya melalui Yunus Gani Kiran pernah dipanggil Bupati untuk menghadap dirinya di pendopo.  “Namun ketika itu Wabup tak sempat menghadap karena sedang ada tugas lain. Sehingga Pak Bupati memerintahkan Yunus Gani Kiran ke Jakarta untuk menggelar rapat, termasuk dengan Basri Yusuf tentang pendepositian dana ini di Mandiri KCP Jelambar. Hingga akhirnya Wabup mendepositokan uang ini,” kata Jafaruddin menjelaskan tentang beda pendapat Bupati dan Wabup.(sal)

Sumber : Serambi Indonesia 18 Des 2010

Investigator belum Berani Buka Mulut (Kasus Fajar Hidayah)

BANDA ACEH - Apa sebenarnya akar masalah penyerbuan massa ke ke lembaga Pendidikan Terpadu Fajar Hidayah di Gampong Cot Mon Raya, Kecamatan Blangbintang, Aceh Besar, pada Jumat malam, 26 November 2010, untuk sementara masih mengambang. Tim investigasi bentukan Pemkab Aceh Besar, misalnya, mengaku masih terus bekerja dan belum berani membeberkan hasil temuan ke publik. Dalam catatan Serambi, untuk kepentingan pengusutan kasus Fajar Hidayah, telah dibentuk beberapa tim investigasi, di antaranya yang ditugaskan oleh Pimpinan DPRA, yaitu Komisi E dan G serta bentukan Pemkab Aceh Besar. 

Ketua DPRA, Hasbi Abdullah pernah menegaskan, kerusuhan yang terjadi di Fajar Hidayah perlu ditemukan akar persoalannya dengan cara melakukan investigasi dan sekaligus evaluasi untuk dijadikan bahan pertimbangan dan pengambilan keputusan di DPRA dalam hal kelanjutan pelaksanaan program Fahmul Quran di lembaga pendidikan tersebut. Namun, investigator DPRA yang ditanyai Serambi beberapa hari lalu mengaku masih melaksanakan tugas dan tak bisa memastikan kapan bisa mengumumkan hasil kerja mereka ke publik. Selain tim DPRA, Pemkab Aceh Besar juga membentuk tim investigasi tersendiri. Tim bentukan Aceh Besar tersebut terdiri dua kelompok kerja (pokja), yaitu Pokja Investigasi tentang Pelatihan Fahmul Quran dan Pokja Investigasi Soal Kelembagaan Fajar Hidayah. Namun, investigator dari Aceh Besar, hingga Jumat kemarin juga belum bisa mengumumkan hasil kerja mereka. “Kami belum berani membeberkan hasil temuan ke publik, karena masih membutuhkan beberapa keterangan dan data tambahan untuk bisa mengambil sebuah kesimpulan final,” kata Ketua Pokja Investigasi Pelatihan Fahmul Quran Fajar Hidayat, H Baharuddin kepada Serambi, Jumat (17/12) malam.

Tim di bawah pimpinan Baharuddin beranggotan Tgk H Syamwil Puteh (Ketua MPU Kecamatan Blangbintang), Tgk Mahdi Daud (Imum Masjid Melayu), Tgk Hamdani (Imum Masjid Blang Bintang), Drs Razali (Imum Mukim Melayu), Rusli (Keuchik Cot Mon Raya), Tgk Muklis (Pimpinan Pesantren Teupin Batee), dan Sabirin SAg (tokoh muda Blangbintang). Menurut Baharuddin yang juga Camat Blangbintang, pokja yang dipimpinnya sudah bekerja selama sepekan, dan beberapa hari lalu mereka telah mewawancarai empat guru Fajar Hidayah. “Keempat guru yang kami wawancarai memang mengakui ada membuat simulasi dengan potongan-potongan kalimat bahasa Arab,” kata Baharuddin dibenarkan Sabirin, seorang anggota tim yang turun langsung mewawancarai guru Fajar Hidayah.

Dijadwalkan, Senin (20/12), tim investigasi pimpinan Baharuddin akan bertolak ke Pidie untuk mewawancarai seorang sumber yang pernah mengikuti pelatihan fahmul Quran di Fajar Hidayah. Baharuddin meminta masyarakat harus bersabar menunggu hasil kerja tim. “Kami tidak mau gegabah mengambil kesimpulan karena ini soal sangat sensitif menyangkut akidah. Kami ingin hasil yang akurat sehingga tidak ada pihak yang dirugikan,” ujar Baharuddin.           Satu pokja lainnya dari Aceh Besar yang ditugaskan untuk menelusuri tentang kelembagaan Fajar Hidayah, hingga Jumat kemarin belum diketahui apakah sudah melaksanakan tugas atau belum. Ketua Pokja-nya, Bachtiar Yunus (Kadis Pendidikan Aceh Besar) yang beberapa kali dihubungi Serambi melalui HP-nya, tadi malam tidak menjawab panggilan.

Sebelumnya, Wakil Bupati Aceh Besar, Anwar Ahmad kepada Serambi mengatakan, investigasi dilakukan secara menyeluruh, termasuk izin kelembagaan, memiliki sertifikasi atau tidak sebagai pelaksana pelatihan fahmul Quran dari Kementerian Pendidikan Nasional atau dari Kementerian Agama. Disebutakn, hasilnya akan diserahkan ke Pemerintah Aceh untuk dijadikan bahan pertimbangan untuk mengambilan keputusan.(sup/mir/nas)

Sumber : Serambi Indonesia 18 Des 2010

Lintas Bireuen-Takengon Terancam Putus



BIREUEN   Di ruas jalan nasional Bireuen Takengon hingga Jumat (17/12) kemarin masih terdapat belasan titik yang berbahaya bagi pengguna jalan, karena kondisinya nyaris longsor. Bila kondisi ini tak segera ditangani serius, maka hubungan darat dari dan ke Takengon bakal terganggu oleh longsor beruntun. Beberapa pengendara sepeda motor maupun mobil kepada Serambi, Jumat (17/12) kemarin mengatakan, mulai dari Km 17 sampai Km 29 terdapat beberapa ruas jalan yang mengecil karena digerus air perbukitan. Di samping itu, beberapa titik badan jalan mulai jatuh sedikit sehingga tak lagi sejajar dengan badan jalan utama dan di beberapa bagian bawah jalan membentuk ceruk seperti gua.
“Kalau pengendara tidak mengetahui keadaan ini dan roda kendaraan melintasi aspal yang di bawahnya sudah digerus air, maka akan menjadi malapetaka. Keadaan rawan longsor seperti ini terlihat di Km 24 25,” kata Musnadi, sopir truk colt diesel yang sedang membawa sembako ke Takengon, ibu kota Aceh Tengah.  Menurutnya, bukan saja di Km 24 25, tapi bahkan sejak dari Km 17 hingga ke Cot Panglima pun ruas jalan tersebut sangat berbahaya bagi pengendara. Apalagi sekarang musim hujan, akibatnya tanah labil, sehingga peluang terjadinya longsor makin tinggi.

Musnadi dan sopir lainnya yang sedang memperbaiki kendaraan di kawasan itu kemarin mengatakan, dulu lebar jalan masih leluasa untuk dilalui serentak oleh dua kendaraan yang berlainan arah. Tapi sekarang, karena lebar jalan yang tersisa jadi sempit, sehingga pengendara harus ekstrahati-hati saat melintas. Kalau ada kendaraan yang berpapasan, satu di antaranya harus berhenti dulu guna menghindari jangan sampai ada kendaraan yang jatuh ke jurang.  Masalah lain, katanya, dari Km 17 hingga Km 32, masih terdapat sejumlah tikungan patah yang lebarnya mengecil, sehingga dikhawatirkan terjadi kecelakaan lalu lintas (laka lantas). Ironisnya lagi, di bagian bawah badan jalan yang menurun itu digerus air pula, sehingga makin riskan dilalui kendaraan bermuatan berat.

Secara kasat mata, kata Musnadi, titik yang rawan longsor terdapat di dua tempat pada Km 16 17. Selain itu, terdapat lagi di Km 19 20 dan Km 21 22.  Kondisi yang lebih parah terlihat di Km 23 24. Di sini terdapat tiga titik rawan longsor. Pada Km 24 25 kondisinya justru lebih berbahaya lagi, karena tebing di sebelah kiri jalan longsor akibat digerus air perbukitan.

Sudah longsor

Beberapa pengendara roda dua lainnya menyebutkan, sebagian badan jalan di kawasan itu malah sudah longsor dan sangat mengganggu arus lalu lintas ke Dataran Tinggi Gayo. “Kami terkejut melihat badan jalan sudah ambruk walaupun masih bisa dilalui asalkan dengan sangat hati hati. Namun bila tidak ditangani serius, maka kerusakan ruas jalan ini makin lebar,” kata Saiful, pemuda yang hendakberangkat ke Takengon kemarin. Para pengendara menambahkan, perbaikan dan pelebaran jalan yang dilakukan sekarang dimulai dari Kota Bireuen hingga saat ini belum tembus ke Cot Panglima. Batas pengerjaannya baru dilakukan hingga Km 16. “Pelebaran memang ada, tapi belum seluruhnya. Kami harapkan pekerjaan perbaikan tidak sampai di situ saja,” katanya.

Persoalan serius muncul apabila ada pengendara yang melintasi kawasan ini pada malam hari atau saat sedang hujan. Selain jalan kian sempit, terdapat pula belasan titik yang licin dan rawan longsor, sehingga berpeluang menelan korban bila tak hati hati berkendara.  Para sopir truk dan minibus L-300 mengharapkan adanya perhatian serius dari pemerintah untuk segera menangani ruas jalan dari Bireuen ke Takengon yang rawan bahaya itu. (yus)

Sumber : Serambi Indonesia 18 Des 

Mengenang Bireuen Saat Menjadi Ibukota Republik Indonesia

“Walau hanya seminggu, Bireuen pernah menjadi ibukota RI yang ketiga setelah Yogyakarta jatuh ketangan penjajah dalam agresi kedua Belanda. Namun sayangnya fakta sejarah itu tidak tercatat dalam sejarah Kemerdekaan RI. Sebuah benang merah sejarah yang terputus."
Sekilas, tidak ada yang terlalu istimewa di Pendopo Bupati Kabupaten Bireuen tersebut. Hanya sebuah bangunan semi permanen yang berarsitektur rumah adat Aceh. Namun siapa nyana, dibalik bangunan tua itu tersimpan sejarah perjuangan kemerdekaan RI yang tidak boleh dilupakan begitu saja. Malah, di sana pernah menjadi tempat pengasingan presiden Soekarno.

Pendopo Bupati (Meuligoe Bireuen)



Kedatangan presiden pertama RI itu ke Bireuen memang sangat fenomenal. Waktu itu, tahun 1948, Belanda melancarkan agresi keduanya terhadap Yogyakarta. Dalam waktu sekejap ibukota RI kedua itu jatuh dan dikuasai Belanda. Presiden pertama Soekarno yang ketika itu berdomisili dan mengendalikan pemerintahan di sana pun harus kalang kabut. Tidak ada pilihan lain, presiden Soekarno terpaksa mengasingkan diri ke Aceh. Tepatnya di Bireuen, yang relatif aman. Soekarno hijrah ke Bireuen dengan menumpang pesawat udara Dakota. Pesawat udara khusus yang dipiloti Teuku Iskandar itu, mendarat dengan mulus di lapangan terbang sipil Cot Gapu pada Juni 1948.
Kedatangan rombongan presiden di sambut Gubernur Militer Aceh, Teungku Daud Beureu’eh, atau yang akrab disapa Abu Daud Beureueh, Panglima Divisi X, Kolonel Hussein Joesoef, para perwira militer Divisi X, alim ulama dan para tokoh masyarakat. Tidak ketinggalan anak-anak Sekolah Rakyat (SR) juga ikut menyambut kedatangan presiden sekaligus PanglimaTertinggi Militer itu.
Malam harinya di lapangan terbang Cot Gapu diselenggarakan Leising (rapat umum) akbar. Presiden Soekarno dengan ciri khasnya, berpidato berapi-api, membakar semangat juang rakyat di Keresidenan Bireuen yang membludak lapangan terbang Cot Gapu. Masyarakat Bireuen sangat bangga dan berbahagia sekali dapat bertemu mukadan mendengar langsung pidato presiden Soekarno tentang agresi Belanda 1947-1948 yang telah menguasai kembali Sumatera Timur (Sumatera Utara) sekarang.
Selama seminggu Presiden Soekarno berada di Bireuen aktivitas Republik dipusatkan di Bireuen. Dia menginap dan mengendalikan pemerintahan RI di rumah kediaman Kolonel Hussein Joesoef, Panglima Divisi X Komandemen Sumatera, Langkat dan tanah Karo, di Kantor Divisi X (Pendopo Bupati Bireuen sekarang). Jelasnya, dalam keadaan darurat, Bireuen pernah menjadi ibukota RI ketiga, setelah jatuhnya Yogyakarta ke dalam kekuasaan Belanda. Sayangnya catatan sejarah ini tidak pernah tersurat dalam sejarah kemerdekaan RI.


Tugu Batee Kureng


Memang diakui atau tidak, peran dan pengorbanan rakyat Aceh atau Bireuen pada khususnya dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Republik ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Perjalanan sejarah membuktikannya. Di zaman Revolusi 1945, kemiliteran Aceh dipusatkan di Bireuen.Di bawah Divisi X Komandemen Sumatera Langkat dan Tanah Karo dibawah pimpinan Panglima Kolonel Hussein Joesoef berkedudukan di Bireuen. Pendopo Bupati Bireuen sekarang adalah sebagai kantor Divisi X dan rumah kediaman Panglima Kolonel Hussein Joesoef. Waktu itu Bireuen dijadikan sebagai pusat perjuangan dalam menghadapi setiap serangan musuh. Karena itu pula sampai sekarang, Bireuen mendapat julukan sebagai “Kota Juang”.
Kemiliteran Aceh yang sebelumnya di Kutaradja, kemudian dipusatkan di Juli Keude Dua (Sekitar tiga kilometer jaraknya sebelah selatan Bireuen-red) di bawah Komando Panglima Divisi X, Kolonel Hussein Joesoef, yang membawahi Komandemen Sumatera, Langkat dan Tanah Karo. Dipilihnya Bireuen sebagai pusat kemiliteran Aceh, lantaran letaknya yang sangat strategis dalam mengatur strategi militer untuk memblokade serangan Belanda di Medan Area yang telah menguasai Sumatera Timur.
Pasukan tempur Divisi X Komandemen Sumatera yang bermarkas di Juli Keudee Dua, Bireuen, itu silih berganti dikirim ke Medan Area. Termasuk diantaranya pasukan tank dibawah pimpinan Letnan Yusuf Ahmad, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Letnan Yusuf Tank. Sekarang dia sudah Purnawirawan dan bertempat tinggal di Juli Keude Dua, Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen. Menurut Yusuf Tank, waktu itu pasukan Divisi X mempunyai puluhan unit mobil tank. Peralatan perang itu merupakan hasil rampasantank tentara Jepang yang bermarkas di Juli Keude Dua.
Dengan tank-tank itulah pasukan Divisi X mempertahankan Republik ini di Medan Area pada masa agresi Belanda pertama dan kedua tahun 1947-1948. Juli Keude Dua juga memiliki nilai historis kemiliteran penting dalam mempertahakan Republik. Terutama di zaman Revolusi 1945. Pendidikan Perwira Militer (Vandrecht), yakni untuk mendidik perwira-perwira yang tangguh di pusatkan di Juli Keude Dua.


Tugu Radio Rimba Raya


Kendati usianya sudah uzur, Yusuf Tank masih dapat mengingat berbagai semua peristiwa sukaduka perjuangannya masa silam. Salah satu diantaranya tentang peranan Radio Rimba Raya milik DivisiX Komandemen Sumatera yang mengudara ke seluruh dunia dalam enam bahasa, Indonesia, Inggris, Urdu, Cina, belanda dan bahasa Arab. Dikatakan, “Radio Rimba Raya mengudara ke seluruh dunia 20 Desember 1948 untuk memblokade siaran propaganda Radio Hervenzent Belanda di Batavia yang yang menyiarkan bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi. Dalam siaran bohong Radio Belanda seluruh wilayah nusantara sudah habis dikuasai Belanda. Padahal, Aceh masih tetap utuh dan tak pernah berhasil dikuasai Belanda.


Bukti Prasasti Radio Rimba Raya (Klik untuk Memperbesar)


Dengan mengudaranya Radio Rimba Raya ke seluruh dunia, masyarakat dunia sudah mengetahui secara jelas bahwa Indonesia sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Karena itu, saat kedatangan Presiden Soekarno ke Bireuen bula
n Juni 1948, dalam pidatonya yang berapi-api di lapangan terbang Cot Gapu, Soekarno mengatakan, Aceh yang tidak mampu dikuasai Belanda dijadikan sebagai Daerah Modal Republik Indonesia. Selama seminggu Presiden Soekarno berada di Bireuen, kemudian bersama Gubernur Militer Aceh Abu Daud Beureueh berangkat ke Kutaradja (Banda Aceh). Di Kutaradja Gubernur Milter Aceh mengundang seluruh saudagar Aceh di hotel Aceh. Dia menyampaikan permintaan Presiden Soekarno agar rakyat Aceh menyumbang dua pesawat terbang untuk Republik.



Delapan Wasiat Iskandar Muda

Aceh pernah dijuluki "Serambi Mekkah", karena masyarakatnya religius, yang sangat mengenal nilai-nilai agama. Syariat Islam menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengamalan hidup sehari-hari. Keadaan itu pernah terealisir pada masa Sultan Iskandar Muda berkuasa (1016-1046 H atau 1607-1637 M).

Denys Lombat, seorang sejarawan Perancis melukiskan wajah Aceh pada zaman Iskandar Muda sudah berjalan dengan baik, meliputi tertibnya administrasi keuangan dalam negeri, adanya perundang-undangan dan tata pemerintahan yang teratur, memiliki angkatan bersenjata, memiliki komitmen di bidang politik perdagangan dalam negeri dan antar-negara lain, memiliki hubungan diplomatik dengan negara asing, memiliki mata uang sendiri, memiliki kebudayaan yang bemafaskan Islam, kesenian dan kesusastraan, dan Iskandar Muda sendiri sebagai seorang Sultan yang agung dan sangat berwibawa serta bijaksana.

Era keemasan “zaman Aceh” seperti itu bukanlah dongengan belaka seperti diungkapkan Snouck Hurgronje, “Zaman emas kerajaan Aceh, dalam waktu mana Hukum Islam berlaku atau Adat Meukuta Alam boleh jadi dianggap sebagai landasan peraturan Kerajaan, nyatanya telah menjadi sebuah dongeng” (buku The Achehnese).

Pernyataan Snouck Hurgronje tersebut, telah pula dibantah oleh W.C.Smith, seperti diungkapkan dalam bukunya Islam in Modern History (1959;45). Menurut Smith, kerajaan Aceh Darussalam da1am abad ke XVI merupakan salah satu negara Islam yang memiliki peradaban dan dikenal dunia, setelah Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara, Kerajaan Turki Usmani, Kerajaan Isfahan dan Kerajaan Agra di Anak benua India.
Wasiat Iskandar Muda

Menurut catatan sejarah, betapa indah dan damainya Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Seperti terungkap dalam delapan wasiat raja adil dan bijaksana;

Pertama, hendaklah semua orang tanpa kecuali supaya selalu ingat kepada Allah dan memenuhi janji-Nya. Taushiah pertama ini tidak hanya diperuntukkan kepada rakyat semata, tetapi juga diberlakukan untuk semua wazir, hulubalang, pegawai kerajaan, bahkan untuk keluarga istana. Melalui wasiat ini telah mendorong tumbuhnya girah keagamaan dan syiar Islam di seluruh wilayah kerajaan Aceh Darussalam.

Kedua, janganlah raja menghina para alim-ulama dan cendekiawan. Pesan kedua ini terutama ditujukan kepada raja (diri sendiri) sebelum ditujukan kepada rakyat. Ini mengandung filosofi, bahwa setiap pimpinan (kerajaan) tidak hanya pandai memberikan perintah, intruksi kepada orang lain, sedangkan untuk diri sendiri diabaikan. Pesan ini juga tercermin begitu baiknya hubungan umara (raja) dengan ulama dan pada masa itu. Ulama ditunjuk sebagai mufti kerajaan. Hal ini tidak terlepas dari pesan Rasulullah saw, “Ada dua golongan manusia, bila kedua golongan itu baik maka akan baiklah semua manusia. Dan bila keduanya tidak baik maka akan rusaklah kehidupan manusia ini, dua golongan itu ialah ulama dan umara”.

Ketiga, Raja janganlah cepat percaya bila ada informasi atau berita disampaikan kepadanya. Wasiat ini ada berkorelasi dengan isyarat Alquran (al-Hujarat:6), agar setiap ada berita atau informasi yang belum jelas, supaya dilakukan investigasi kebenarannya. Tujuan supaya tidak menimbulkan fitnah antar sesama.

Keempat, Raja hendaklah memperkuat pertahanan dan keamanan. Wasiat keempat ini merupakan hal yang penting, karena dengan kuatnya pertahanan negara, menjadikan negara itu berwibawa. Pertahanan keamanan negara ini tidak hanya ditujukan kepada prajurit-prajurit terlatih tetapi juga diserukan kepada rakyat untuk saling membantu bangsa, agama dan tanah airnya dari segala bentuk ancaman yang datang baik dari dalam maupun dari luar.

Kelima, Raja wajib merakyat, dan sering turun ke desa melihat keadaan rakyatnya. Ini pesan yang sangat simpatik dan seperti itulah jiwa dari seorang khalifah, tidak hanya duduk dan berdiam di istana dengan segala kesenangan dan kemewahan, tapi semua itu justru digunakan untuk kepentingan rakyatnya. Raja, tidak hanya ahli mendengar para pembisik dari wazir dan hulubalangnya, raja tidak hanya pandai menerima dan membaca laporan dari kurirnya, tetapi raja yang adil, arif dan bijaksana serta amanah menyaksikan langsung apa yang sedang terjadi dan dialami oleh penduduknya. Sifat semacam itu menjadi kebiasaan dari khalifah Umar bin Khattab saat beliau menjabat Khalifah. Raja sangat menghargai prestasi yang telah dibuat oleh rakyat, yang baik diberi penghargaan, sedangkan yang tidak baik diberi sanksi berupa teguran dan peringatan.

Keenam, Raja dalam melaksanakan tugasnya melaksanakan hukum Allah. Semua ketentuan Allah yang harus dijalankan termaktub dalam Qanun al-Asyi. Tentang sumber hukum dalam qanun al-asyi, dengan tegas dicantumkan, bahwa sumber hukum dari Kerajaan Aceh Darussalam, yaitu Alquran, al-Hadis Nabawi, Ijmak ulama, dan qiyas, hukum adat, qanun dan reusam.

Islamisasi semua aspek kehidupan rakyat Aceh disimbolkan oleh sebuah hadih maja yang menjadi filsafat hidup, politik dan hukum bagi rakyat dan Kerajaan Aceh Darussalam. Bunyinya: "Adat bak Poteumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana, hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut". Menyimak ungkapan tersebut, jelas sekali demikian kukuhnya pilar keislaman yang dilandasi syariat Islam kaffah di seluruh wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan ada riwayat yang menyebutkan Sultan Iskandar Muda, pernah menghukum putranya sendiri karena melakukan perbuatan mesum dengan perempuan yang bukan isterinya.

Ketujuh, Raja dilarang berhubungan dengan orang jahat. Pesan ini dipahami agar semua orang berkewajiban untuk menegakkan amar makruf dan membasmi segala bentuk kemungkaran. Kerajaan tidak memberikan kesempatan kepada siapapun untuk melakukan segala bentuk kemaksiatan yang menjurus kepada kefasidan. Namun berkenaan dengan syiar keagamaan kerajaan memberikan dukungan sepenuhnya untuk dijalankan.

Kedelapan, Raja wajib menjaga dan memelihara harta dan keselamatan rakyat dan dilarang bertindak zalim. Pesan ini dimaksudkan agar raja bertindak adil dalam semua aspek, dan tidak berlaku diskriminatif dalam penegakan hukum. Hak-hak rakyat dijaga, dan sama sekali tidak membebani rakyat dalam hal-hal yang tidak mampu dikerjakannya.




Dari AcehPedia
Langsung ke: navigasi, cari

Aceh pernah dijuluki "Serambi Mekkah", karena masyarakatnya religius, yang sangat mengenal nilai-nilai agama. Syariat Islam menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengamalan hidup sehari-hari. Keadaan itu pernah terealisir pada masa Sultan Iskandar Muda berkuasa (1016-1046 H atau 1607-1637 M).

Denys Lombat, seorang sejarawan Perancis melukiskan wajah Aceh pada zaman Iskandar Muda sudah berjalan dengan baik, meliputi tertibnya administrasi keuangan dalam negeri, adanya perundang-undangan dan tata pemerintahan yang teratur, memiliki angkatan bersenjata, memiliki komitmen di bidang politik perdagangan dalam negeri dan antar-negara lain, memiliki hubungan diplomatik dengan negara asing, memiliki mata uang sendiri, memiliki kebudayaan yang bemafaskan Islam, kesenian dan kesusastraan, dan Iskandar Muda sendiri sebagai seorang Sultan yang agung dan sangat berwibawa serta bijaksana.

Era keemasan “zaman Aceh” seperti itu bukanlah dongengan belaka seperti diungkapkan Snouck Hurgronje, “Zaman emas kerajaan Aceh, dalam waktu mana Hukum Islam berlaku atau Adat Meukuta Alam boleh jadi dianggap sebagai landasan peraturan Kerajaan, nyatanya telah menjadi sebuah dongeng” (buku The Achehnese).

Pernyataan Snouck Hurgronje tersebut, telah pula dibantah oleh W.C.Smith, seperti diungkapkan dalam bukunya Islam in Modern History (1959;45). Menurut Smith, kerajaan Aceh Darussalam da1am abad ke XVI merupakan salah satu negara Islam yang memiliki peradaban dan dikenal dunia, setelah Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara, Kerajaan Turki Usmani, Kerajaan Isfahan dan Kerajaan Agra di Anak benua India.
Wasiat Iskandar Muda

Menurut catatan sejarah, betapa indah dan damainya Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Seperti terungkap dalam delapan wasiat raja adil dan bijaksana;

Pertama, hendaklah semua orang tanpa kecuali supaya selalu ingat kepada Allah dan memenuhi janji-Nya. Taushiah pertama ini tidak hanya diperuntukkan kepada rakyat semata, tetapi juga diberlakukan untuk semua wazir, hulubalang, pegawai kerajaan, bahkan untuk keluarga istana. Melalui wasiat ini telah mendorong tumbuhnya girah keagamaan dan syiar Islam di seluruh wilayah kerajaan Aceh Darussalam.

Kedua, janganlah raja menghina para alim-ulama dan cendekiawan. Pesan kedua ini terutama ditujukan kepada raja (diri sendiri) sebelum ditujukan kepada rakyat. Ini mengandung filosofi, bahwa setiap pimpinan (kerajaan) tidak hanya pandai memberikan perintah, intruksi kepada orang lain, sedangkan untuk diri sendiri diabaikan. Pesan ini juga tercermin begitu baiknya hubungan umara (raja) dengan ulama dan pada masa itu. Ulama ditunjuk sebagai mufti kerajaan. Hal ini tidak terlepas dari pesan Rasulullah saw, “Ada dua golongan manusia, bila kedua golongan itu baik maka akan baiklah semua manusia. Dan bila keduanya tidak baik maka akan rusaklah kehidupan manusia ini, dua golongan itu ialah ulama dan umara”.

Ketiga, Raja janganlah cepat percaya bila ada informasi atau berita disampaikan kepadanya. Wasiat ini ada berkorelasi dengan isyarat Alquran (al-Hujarat:6), agar setiap ada berita atau informasi yang belum jelas, supaya dilakukan investigasi kebenarannya. Tujuan supaya tidak menimbulkan fitnah antar sesama.

Keempat, Raja hendaklah memperkuat pertahanan dan keamanan. Wasiat keempat ini merupakan hal yang penting, karena dengan kuatnya pertahanan negara, menjadikan negara itu berwibawa. Pertahanan keamanan negara ini tidak hanya ditujukan kepada prajurit-prajurit terlatih tetapi juga diserukan kepada rakyat untuk saling membantu bangsa, agama dan tanah airnya dari segala bentuk ancaman yang datang baik dari dalam maupun dari luar.

Kelima, Raja wajib merakyat, dan sering turun ke desa melihat keadaan rakyatnya. Ini pesan yang sangat simpatik dan seperti itulah jiwa dari seorang khalifah, tidak hanya duduk dan berdiam di istana dengan segala kesenangan dan kemewahan, tapi semua itu justru digunakan untuk kepentingan rakyatnya. Raja, tidak hanya ahli mendengar para pembisik dari wazir dan hulubalangnya, raja tidak hanya pandai menerima dan membaca laporan dari kurirnya, tetapi raja yang adil, arif dan bijaksana serta amanah menyaksikan langsung apa yang sedang terjadi dan dialami oleh penduduknya. Sifat semacam itu menjadi kebiasaan dari khalifah Umar bin Khattab saat beliau menjabat Khalifah. Raja sangat menghargai prestasi yang telah dibuat oleh rakyat, yang baik diberi penghargaan, sedangkan yang tidak baik diberi sanksi berupa teguran dan peringatan.

Keenam, Raja dalam melaksanakan tugasnya melaksanakan hukum Allah. Semua ketentuan Allah yang harus dijalankan termaktub dalam Qanun al-Asyi. Tentang sumber hukum dalam qanun al-asyi, dengan tegas dicantumkan, bahwa sumber hukum dari Kerajaan Aceh Darussalam, yaitu Alquran, al-Hadis Nabawi, Ijmak ulama, dan qiyas, hukum adat, qanun dan reusam.

Islamisasi semua aspek kehidupan rakyat Aceh disimbolkan oleh sebuah hadih maja yang menjadi filsafat hidup, politik dan hukum bagi rakyat dan Kerajaan Aceh Darussalam. Bunyinya: "Adat bak Poteumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana, hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut". Menyimak ungkapan tersebut, jelas sekali demikian kukuhnya pilar keislaman yang dilandasi syariat Islam kaffah di seluruh wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan ada riwayat yang menyebutkan Sultan Iskandar Muda, pernah menghukum putranya sendiri karena melakukan perbuatan mesum dengan perempuan yang bukan isterinya.

Ketujuh, Raja dilarang berhubungan dengan orang jahat. Pesan ini dipahami agar semua orang berkewajiban untuk menegakkan amar makruf dan membasmi segala bentuk kemungkaran. Kerajaan tidak memberikan kesempatan kepada siapapun untuk melakukan segala bentuk kemaksiatan yang menjurus kepada kefasidan. Namun berkenaan dengan syiar keagamaan kerajaan memberikan dukungan sepenuhnya untuk dijalankan.

Kedelapan, Raja wajib menjaga dan memelihara harta dan keselamatan rakyat dan dilarang bertindak zalim. Pesan ini dimaksudkan agar raja bertindak adil dalam semua aspek, dan tidak berlaku diskriminatif dalam penegakan hukum. Hak-hak rakyat dijaga, dan sama sekali tidak membebani rakyat dalam hal-hal yang tidak mampu dikerjakannya.



Sumber : www.acehpedia.com

Sejarah Aceh Dengan Negara Asing


Dalam abad ke XVI, Aceh memegang peranan yang sangat penting sebagai daerah transit barang-barang komoditi dari Timur ke Barat. Komoditi dagang dari nusantara seperti pala dan rempah-rempah dari Pulau Banda, cengkeh dari Maluku, kapur barus dari Barus dan lada dari Aceh dikumpul disini menunggu waktu untuk diberangkatkan ke luar negeni. Aceh sebagai bandar paling penting pada waktu itu yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara.

Aceh juga dikenal dengan daerah pertama masuknya agama Islam ke nusantara. Para pedagang dari Saudi Arabia, Turki, Gujarat dan India yang beragama Islam singgah di Aceh dalam perjalanan mereka mencari berbagai komoditi dagang dari nusantara. Aceh yang terletak di jalur pelayaran internasional merupakan daerah pertama yang mereka singgahi di Asia Tenggara. Kemudian sekitar akhir abad ke XIII di Aceh telah berdiri sebuah kerajaan besar yaitu Kerajaan Pasai yang bukan saja bandar paling penting bagi perdagangan, namun juga sebagai pusat penyebaran agama Islam baik ke Nusantara maupun luar negeri.

Portugis pertama sekali mendarat di Aceh dalam tahun 1509 mengunjungi Kerajaan Pedir (Pidie) dan Pasai untuk mencari sutra. Kemudian dalam tahun 1511 Portugis menaklukkan Malaka (sekarang Malaysia) yang menyebabkan Sultan Aceh marah. Kerajaan Aceh kemudian mengirim armadanya untuk membebaskan kembali Malaka dari tangan penjajah, namun tidak berhasil dan banyak tentara Kerajaan Aceh yang gugur dan dikebumikan disana. Menurut sumber yang dapat dipercaya Syech Syamsuddin Assumatrani yaitu salah seorang ulama besar Aceh tewas dalam suatu peperangan dengan Portugis di Malaka dan kuburannya ada disana.

Kemudian pada masa Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636), barulah Malaka bisa dibebaskan kembali dari cengkraman Portugis dan jalur perdagangan di Selat Malaka kembali dikuasai oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Pada saat itu Aceh dan Turki telah menjalin hubungan yang erat sehingga banyak ahli persenjataan dan perkapalan dari Turki datang serta menetap di Aceh. Bukti sejarah yang masih tersisa adalah mesjid, tugu dan batu nisan orang Turki yang ada di desa Bitai (± 3 km dari Banda Aceh).

Pada tanggal 21 Juni 1599 sebuah kapal dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis De Houteman dan adiknya Frederick De Houteman mendarat di Aceh. Namun karena orang Aceh mengira bahwa Belanda tersebut Portugis mereka menyerang kapal itu dan membunuh Cornelis De Houteman serta menawan Frederick De Houteman.

Selanjutnya tahun 1602 sebuah kapal dagang Belanda lain yang dipimpin oleh Gerald De Roy dikirim ke Aceh oleh Prince Mounsts dalam usaha menjalin hubungan kerjasama dengan Kerajaan Aceh. Utusan tersebut disambut balk oleh Sultan Aceh dan menanda tangani hubungan kerjasama itu. Ketika Gerald De Roy kembali pulang ke Belanda, Sultan Aceh mengirim dua orang duta ke Belanda. Salah satu dari duta tersebut yaitu Abdul Hamid (sumber lain menyebutkan Abdul Zamat) meninggal di Belanda dan kuburannya ada di Middleburg, Belanda.

Pada awal Juni 1602 saudagar-saudagar Inggris dikirim ke Aceh oleh Ratu Elizabeth untuk menjalin kerjasama dalam bidang perdagangan. Utusan tersebut juga disambut baik oleh sultan dan menandatangani hubungan kerjasama. Hubungan ini terns berlanjut sampai bertahun-tahun kemudian.

Namun demikian karena keserakahan V.O.C, Belanda memaklumkan perang atas Kerajaan Aceh Darussalam dan menyerangnya pada tanggal 14 April 1873. Perang antara Belanda dan Aceh merupakan yang terpanjang dalam sejarah dunia yaitu lebih kurang 69 tahun (1873 -1942) yang telah menelan jutaan nyawa.

Pada tahun 1942 Jepang mendarat di Aceh dan disambut baik oleh orang Aceh karena pada waktu itu antara Belanda dan Jepang sating bermusuhan, dan orang Aceh berharap kedatangan Jepang akan membantu mengusir Belanda dari tanah Aceh. Namun kenyataannya sebaliknya bahwa Jepang lebih ganas dari Belanda sehingga orang Aceh merasa ditipu oleh Jepang dan mengangkat senjata memerangi Jepang.

Jepang berada di Aceh hanya 2,5 tahun, namun banyak pertempuran yang terjadi antara Aceh dengan Jepang. Diantara sekian banyak perang yang terjadi, ada dua pertempuran yang sulit untuk dilupakan karena banyaknya korban jiwa yang berjatuhan yaitu di Pandrah (Aceh Utara) dan di Cot Plieng (Aceh Utara). Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sedikit banyaknya telah membebaskan Aceh dari belenggu perang yang mengenaskan.
Hubungan Aceh dengan Tiongkok

Pembangunan Masjid Raya Baiturrahman dilaksanakan oleh seorang pemborong atau kontraktor Tionghoa yang bernama Lie A Sie Catatan sejarah tertua dan yang pertama mengenai kerajaan kerajaan di Aceh, didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam catatan sejarah dinasti Liang (506-556), disebutkan adanya suatu kerajaan yang terletak di Sumatra Utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-Li dan beragama Budha. Pada abad ke-13 teks-teks Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam bukunya Zhu-fan zhi) menyebutkan Lan-wu-li (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun 1282, diketahui bahwa raja Samudra-Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan Shamsuddin) utusan ke Tiongkok. Didalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya bersama dengan Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap mengenai kota kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li (Lamuri). Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah catatan terperinci mengenai Aceh modern.

Samudra-Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Timur Tengah, India sampai Tiongkok pada abad ke 13 -16. Samudra Pasai ini terletak pada jalur sutera laut yang menghubungi Tiongkok dengan negara-negara Timur Tengah, dimana para pedagang dari berbagai negara mampir dahulu /transit sebelum melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok atau Timur Tengah, India. Kota Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad 13) dan Ibnu Batuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/ dari Tiongkok. Barang dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai ini adalah lada dan banyak diekspor ke Tiongkok, sebaliknya banyak barang-barang Tiongkok seperti Sutera, Keramik, dll. diimpor ke Pasai ini. Pada abad ke 15, armada Cheng Ho juga mampir dalam pelayarannya ke Pasai dan memberikan Lonceng besar yang tertanggal 1409 (Cakra Donya) kepada raja Pasai pada waktu itu. Samudra Pasai juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan Islam (dan Perlak) yang pertama di Indonesia dan pusat penyebaraan Islam keseluruh Nusantara pada waktu itu. Ajaran-ajaran Islam ini disebarkan oleh para pedagang dari Arab (Timur Tengah) atau Gujarat (India), yang singgah atau menetap di Pasai. Dikota Samudra Pasai ini banyak tinggal komunitas Tionghoa, seperti adanya "kampung Cina", seperti ditulis dalam Hikayat Raja-raja Pasai. Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri,komunitas Tionghoa telah berada di Aceh sejak abad ke-13. Karena Samudra Pasai ini terletak dalam jalur perdagangan dan pelayaran internasional serta menjadi pusat perniagaan internasional, maka berbagai bangsa asing lainnya menetap dan tinggal disana yang berkarakter kosmopolitan

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Free Web Hosting