***Welcome My Blog***

Sabtu, 26 Maret 2011

Memori Perang Aceh-Belanda

Sudah 138 tahun lalu, 26 Maret 1873, Komisari Pemerintah Hindia Belanda Nieuwenhuijzen berdasarkan kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, menyatakan perang terhadap Aceh. Pernyataan Nieuwenhuijzen inilah yang menyebabkan kehidupan rakyat Aceh menjadi tidak menentu hingga hari ini. Perlawanan dan pengkhianatan bercampur baru di sana. Belanda haru mendapat taktik khusus penaklukan Aceh, bahkan orientalis terkenal Prof DR Snouck Hurgronje dikirim ke Mekkah mempelajari watak dan karakter kaum muslimin Aceh. Teori Snouck ini tidak hanya dipakai di Indonesia

saat ini dalam penafsiran agama dan negara bahkan pemerintah Belanda masih memakainya dalam keterlibatannya di dunia muslim seperti dalam keikutsertaan ke Afghanistan, Belanda pelajari Perang Aceh (Republika, 28 Januari 2011) khususnya pengetahuan tentang Perang Aceh dan bagaimana Belanda berjibaku mencoba menjajah
Aceh. Kedatangan tentara Belanda di perairan Aceh pada saat itu, menyebabkan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1873) memanggil pembesar pembesar istana untuk bermusyawarah dan diputuskan bahwa Aceh tidak akan tunduk kepada ancaman Komisari Pemerintah Hindia Belanda Nieuwenhuijzen dan setiap serangan akan dibalas dengan serangan pula.

Tidak ada putusan kita yang lain, demikian titah Sultan Alaidin Mahmudsyah, kecuali menghadapi ancaman Belanda dengan semangat jihad, dan segenap lapisan rakyat diserukan ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kehormatan dan kedaulatan dari setiap serangan. Udep merde’ka, mate syahid; langet sihet awan
peutimang, bumoé’reunggang ujeuen peurata, salah narit peudeueng peuteupat, salah seunambat teupuro dumna.

Di pihak lain Belanda dengan kekuatan penuh telah berada di pantai pantai Aceh yang dipimpin oleh Jenderal Mayor J.H.R. Köhler, dibantu Kolonel C.E. van Daalen dan Kolonel A.W. Egter van Wisserkerke selaku Kepala Staf. Kekuatan ekspedisi ini terdiri dari batalyon kesatu Barisan Madura, satu detasemen cavaleri, barisan meriam, barisan Genie lengkap, staf tatausaha dan dinas kesehatan lengkap. Jumlah kekuatan angkatan darat seluruhnya terdiri dari 168 opsir, 3198 serdadu (1.098 Belanda dan 2.100 orang Indonesia asli) 31 ekor kuda perang untuk opsir, 149 ekor kuda untuk serdadu, 100.026 orang hukuman, 220 janda, 8 bersuami dan 300 buruh.

Penyerangan Belanda pada tanggal 26 Maret 1873 dihadapi dengan kekuatan penuh oleh rakyat Aceh. Dari seluruh pelosok Aceh menyahuti seruan Sultan Alaidin, akibanya 18 hari setelah proklamasi perang Belanda di Aceh, Belanda harus membayar mahal, banyak tentaranya yang mati bahkan pimpinan pasukannya Jenderal Mayor J.H.R. Köhler ditembak oleh tentara kerajaan Aceh Darussalam, di halaman Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, pada tanggal 14 April 1873. Dan berucap “O God, Ik ben getroffen” (ya Tuhan, Aku kena).

Itulah ucapan terakhir yang keluar dari mulut Jenderal Kohler ketika sebutir peluru menembus dadanya. Sang Jenderal itu pun terkapar dan tewas di depan Masjid Raya Baiturrahman. Akhirnya ekspedisi pertama ini gagal dan tentara Belanda ditarik pada tanggal 17 April 1873. Setelah Nieuwenhuijzen meminta persetujuan. Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Jakarta.

Belanda tidak mengira akan mendapatkan perlawanan setangguh ini di Aceh, satu-satunya wilayah di Netherland Hindi (Indonesia) yang belum tunduk pada Belanda, Aceh telah membuat Belanda gregetan. Armada Aceh dianggap sering mengganggu kapal Belanda yang mengangkut rempah-rempah di Selat Melaka.

Sementara itu, Belanda tak dapat membalas karena terikat Traktat London 1824 antara Ingris dan Belanda yang salah satu pasalnya tetap menghormati kedaulatan Aceh. Tak heran kalau Belanda giat berupaya mencari celah untuk mengadakan perjanjian baru dengan Inggris, dan itu terpenuhi dengan Traktak Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, setelah Belanda menyerahkan Gold Coast (Pantai Gading) di Afrika kepada Inggris dengan konpensasi

Wartawan Belanda Paul van’t Veer menulis bahwa perang Belanda di Aceh yang bermula pada tanggal 26 Maret 1873 berakhir pada tahun 1942. Ia membaginya dalam 4 babak pertama, perang 1873. Kedua, Perang yang terjadi, 1874-1880. Ketiga, perang 1884-1896. Keempat perang dari tahun 1898-1942. Dijelaskannya, bahwa Belanda hampir 69 tahun tak henti-hentinya berperang di Aceh. Aceh adalah negara yang paling akhir dimasukkan ke dalam pemerintahan Hindia Belanda (Indonesia), dan yang mula-mula sekali pula keluar daripadanya pada tahun 1942. Banyak pahlawan-pahlawan Aceh Kerajaan Islam Aceh Darussalam syahid kena peluru atau kelewang Marsose Belanda begitu terdapat pula dari tokoh tokoh Aceh yang berkhianat pada negerinya dan memihak Belanda. Dalam sejarah juga tercatat munculnya kaum wanita yang berdiri di depan melawan penjajahan negerinya.

Zentgraaf wartawan perang Belanda sangat kagum terhadap wanita Aceh. Katanya mereka gagah berani dan memendam rasa dendam. Di medan-medan perang mereka menjalankan tugas tempur dengan keberanian tak takut mati sehingga sering-sering  mengalahkan seorang pria. Sampai pada detik-detik darah penghabisan dan merenggut nyawanya, dengan perasaan jijik dan amarah, mereka masih meludahi muka musuhnya yang merampas kemerdekaan negerinya. 

Salah satu bukti korbannya tentera Belanda di Aceh sekarang masih dapat dilihat di kuburan Belanda Peutjoet, Blower, samping Blang Padang di mana lebih 2.200 tentera KNIL Belanda terbaring kaku di sana sehingga F V D Veen ketua Yayasan Peutjoet mengatakan pada tahun 1984 bahwa “The Royal Dutch Indies Army has had to fight a fierce battle for more than 40 years in order to get the area under Dutch rule. A war that cost many lives on both sides. About 2.200 members of the KNIL (Royal Dutch Indies Army) killed in action or otherwise, from soldier to general, lie buried in the Cemetery of Peutjoet at Banda Atjeh” (Peutjoet:1984). Maksudnya, lebih dari 40 tahun tentara kami harus berperang di Aceh demi mendapatkan negeri ini tunduk pada pemerintahan kami. Perang ini telah mengorbankan banyak jiwa. Dan lebih 2.200 tentera KNIL terbunuh di sini.

Pada tahun 1973, intelektual Aceh mengadakan seminar di Medan Sumatera Utara untuk mengenang perang 100 tahun perang Aceh Belanda. Hal serupa juga dilakukan oleh Hasan Tiro di New York dengan menulis artikel untuk memperingati 100 perang Aceh Belanda. Makna yang dapat dipetik dari perang yang telama pernah terjadi di dunia ini yakni kesetian dan pengkhianatan selalu hadir bersamaan. Teman pada masa perang bisa menjadi musuh pada masa damai. Ini bisa terjadi karena mereka mengutamakan logistik (pendapatan) dengan menghilangkan logika (pendapat). Memperingati perang Aceh Belanda ini pada hari ini, marilah kita sedekahkan doa dan al fatihah kepada para syuhada yang mendahulu kita demi berjuang untuk negeri dan agamanya. Bersatulah bangsaku dalam membangun negeri para syuhada ini.

* M Adli Abdullah anggota Subung Community Corner dan Fello pada Pusat Penyelidikan Dasar dan Kajian Antara Bangsa Universiti Sains Malaysia.

Minggu, 13 Maret 2011

Ganja, Sumber Energi Alternatif

Pada saat krisis minyak bumi melanda dunia pada 1970-an, pemerintah Brasil berhasil mengembangkan teknologi bahan bakar minyak (BBM) alternatif melalui pro-alcohol programme, yaitu program pemanfaatan tanaman tebu sebagai bahan dasar pengolahan alkohol dan etanol (biofuel).
Dua kebijakan subsidi dilakukan untuk mendukung program ini. Pertama, subsidi bagi petani yang menanam tebu untuk diolah menjadi etanol, sehingga mereka memperoleh pendapatan yang berimbang dengan petani yang tebunya diolah menjadi gula. Kedua, subsidi harga pada stasiun pengisian bahan bakar yang menyebabkan harga jual etanol menjadi lebih murah dari BBM yang berasal dari minyak bumi.
Lambat laun kebijakan tersebut membuahkan hasil. Pemakaian biofuel di Brasil dapat menggeser popularitas pemakaian minyak bumi. Hal ini berdampak pada peningkatan jumlah produksi kendaraan yang menggunakan bahan bakar etanol. Puncaknya terjadi pada tahun 1985 dan 1986 di mana sekitar 75% sepeda motor dan 90% mobil dirancang untuk bisa menggunakan campuran BBM-etanol (Wayan R Susila, 2007). Brasil mampu membuktikan pada dunia, jika ilmu pengetahuan dimanfaatkan secara positif oleh pemerintah, kebijakan itu dapat menyejahterakan kehidupan rakyat. Bagaimana halnya dengan Indonesia?

Indonesia merupakan salah satu negara pemilik hutan hujan tropis (rainforest) terbesar di dunia. Beragam jenis tanaman yang berpotensi untuk diolah menjadi biofuel, tumbuh berkembang di negara ini. Selain kelapa sawit dan tebu yang sudah lazim dijadikan biofuel, ada satu jenis tanaman lain di Indonesia yang berpotensi untuk diolah menjadi bahan bakar, yaitu ganja atau yang dikenal juga sebagai cannabis, marijuana, hemp atau hasish.Walaupun bukan tanaman asli Indonesia, ganja dapat tumbuh dengan baik di hampir seluruh wilayah perbukitan di Aceh. Kualitas ganja Aceh pun sangat terkenal di dunia. Sayangnya, ia diasosiasikan dengan tanaman yang dapat dihisap daunnya dan membuat mabuk penghisapnya. Ia dimasukkan ke dalam kategori narkotika dan penggunaannya dilarang di banyak negara di dunia, termasuk di Indonesia.
Batang Tanamannya
Padahal, dalam beberapa dekade terakhir, banyak peneliti di dunia yang telah mengembangkan penelitian tentang pengolahan ganja menjadi bahan bakar. Ayhan Demirbas, pakar energi dari Turki, dalam bukunya, Green Energy and Technology-Biofuels: Securing the Planet’s Future Energy Needs, memasukkan ganja ke dalam daftar oil species for biofuel production. Ia mengungkapkan bahwa senyawa organik yang terkandung di dalam tanaman ganja dapat digunakan untuk memproduksi biodiesel.
Peneliti lain, Claus Brodersen, Klaus Drescher dan Kevin McNamara, dalam bukunya Economics of Sustainable Energy in Agriculture mengungkapkan bahwa ganja merupakan salah satu tanaman penghasil biomass energy. Kemudian Michael Starks, dalam bukunya Marijuana Chemistry: Genetics, Processing and Potency, menerangkan dengan jelas senyawa organik yang terkandung dalam setiap bagian tanaman ganja. Salah satu bagian tanaman ganja yang berpotensi menghasilkan minyak adalah batang tanamannya.
Pada masa pemerintahan Soekarno, tanaman ganja hanya dianggap sebagai tanaman liar. Baru pada pemerintahan Soeharto, ganja dikategorikan sebagai salah satu jenis narkotika yang dilarang penggunaannya di Indonesia. Kebijakan kriminalisasi ganja yang diambil Soeharto, erat kaitannya dengan kondisi politik domestik dan internasional saat itu. Pemerintah juga aktif mendukung program-program internasional, seperti “war on drugs” yang dicetuskan Amerika Serikat (AS). Pemerintah AS menggunakan dua konvensi internasional sebagai dasar hukum untuk menekan negara-negara di dunia agar mendukung program tersebut. Pertama, single convention on narcotic drugs (1961) beserta protokol yang mengubahnya. Kedua, convention on psychotropic substances (1971). Keduanya mengatur tentang upaya penanganan peredaran narkotika dan psikotropika di dunia.
Pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi tunggal narkotika 1961 beserta protokol yang mengubahnya melalui UU No 8/1976. Dua puluh tahun kemudian, giliran Konvensi Psikotropika 1971 yang diratifikasi melalui UU No 8/1996.
Pemerintah pun memberlakukan dua peraturan hukum untuk memperkuat kedua konvensi tersebut, yaitu UU No 5/1997 tentang Psikotropika dan UU No 22/1997 tentang Narkotika. Namun, semenjak kedua pearaturan hukum tersebut diberlakukan oleh pemerintah, peredaran ilegal narkotika, psikotropika, dan zat-zat adiktif lainnya (NAPZA) semakin merebak di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Tindak pidana NAPZA yang terjadi di Indonesia turut pula meningkat jumlahnya. Pemerintah akhirnya merevisi UU No 22/1997 pada tahun 2005 untuk merespons situasi tersebut. Hingga saat ini, rancangan undang-undang narkotika masih terus dibahas oleh DPR.
Pembawa Berkah?
Ganja masih dikategorikan sebagai salah satu jenis narkotika golongan I di dalam RUU Narkotika, sehingga semua kegiatan masyarakat yang berhubungan dengan tanaman ganja, dikategorikan pemerintah sebagai suatu tindak pidana khusus (delict), karena sifatnya yang tidak memerlukan korban (crime without victim). Sebenarnya, penggunaan ganja masih dimungkinkan untuk tujuan medis dan ilmu pengetahuan. Namun, sampai dengan saat ini, pemerintah belum mempunyai niat untuk mengembangkan potensi tanaman ini.
Pada saat ini, Indonesia sedang dilanda krisis energi. Kelangkaan dan ketidakstabilan harga BBM merupakan persoalan yang selalu dihadapi rakyat miskin di Indonesia. Persoalan ini juga dirasakan oleh negara-negara lain di dunia. Berkurangnya cadangan minyak bumi dunia merupakan salah satu penyebab.
Dalam situasi sulit seperti itu, pemerintah Indonesia harus mengambil langkah konkret yang lebih jelas tujuannya, yaitu menyejahterakan rakyat. Tidak hanya menaikkan dan menurunkan harga BBM secara politis sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintahan saat ini. Kebijakan politis seperti itu tidak akan menyelesaikan persoalan bangsa.
Belajar dari pengalaman Brasil, sudah saatnya pemerintah Indonesia mengembangkan teknologi bahan bakar alternatif. Harapannya, ketergantungan Indonesia terhadap minyak bumi dapat teratasi. Tanaman ganja dapat menjadi pilihan.
Pertanyaannya, apakah pemerintah akan terus menganggap ganja sebagai tanaman pembawa malapetaka yang harus dimusnahkan? Atau justru sebaliknya, pemerintah akan menganggap ganja sebagai tanaman pembawa berkah yang harus dibudidayakan dan dikembangkan potensinya?
Penulis adalah peneliti di Indonesian Coalition for Drug Policy Reform (ICDPR), sebuah koalisi yang dibangun oleh Yayasan STIGMA, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, dan LBH Masyarakat.

Minggu, 06 Maret 2011

Spirit Teungku Lah

KETIKA saya mengunjungi Teungku Abdullah Syafi’e, Panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka, di Gampong Sarah Panyang, Jiem-jiem, Pidie, dalam liputan persiapan milad Gerakan Aceh Merdeka, awal Desember 2000, saya sempat mengajukan sebuah pertanyaan yang sangat personal kepada almarhum, “Apa maksud dan tujuan perjuangan yang sedang dilakukan Gerakan Aceh Merdeka”?  Teungku Lah, begitu sapaan akrab Abdullah Syafi’e, menjawab, “Hai nyak, hana lee that yang tapeureulee lam perjuangan nyoe, kecuali lhee boh peukara. Peukara nyang phon, Bansa Aceh beucarong, jeut bek ditipee lee gop. Keudua,  Bansa Aceh beukong, supaya bek dipoh lee gop, dan keu lhe, Bansa Aceh beukaya, jeut bek meugadee bak gop” (“Tidak banyak yang kita perlukan dalam perjuangan ini. Pertama, bangsa Aceh harus pintar, supaya tidak ditipu orang lain, Bangsa Aceh harus kuat supaya tidak dilecehkan orang lain, dan Bangsa Aceh harus kaya, supaya tidak mengemis pada orang lain”).

Apa yang disampaikan secara singkat oleh Tgk Lah tersebut, sangat visioner. Siapa pun yang berpikir bagi kemajuan Aceh, dapat menjabarkan lhee boh peukara itu ke dalam bahasa visi yang amat sangat mendasar untuk membuat Aceh lebih baik. Pertama, harus pintar (beucarong). Orang Aceh harus memiliki pengetahuan luas untuk menguasai ilmu dan teknologi, agar mampu bersaing dengan masyarakat Indonesia lainnya dan masyarakat internasional. Harus ada orang Aceh yang cakap menjadi guru, bukan sekadar guru karena tidak memiliki pilihan pekerjaan yang lain. Orang Aceh harus ada yang menjadi dokter yang hebat, dengan sepesialisasi khusus jantung, bedah, tulang, atau lainnya. Harus ada orang Aceh yang menjadi dokter hewan yang memiliki kemampuan mengembangkan vaksin-vaksin baru guna menyembuhkan ternak-ternak Aceh yang handal, membuat dan mengembangkan sistem peternakan, sehingga kita tidak mengonsumsi lagi daging dan telor impor dari luar Aceh.

Harus ada sarjana atau ahli agama kita yang bukan saja memiliki kehebatan dalam berdebat soal syariah, tetapi bisa diandalkan membuat sistem hukum syariah yang memiliki kekuatan pemberdayaan ekonomi Islam, perbankan Islam, yang membuat si miskin menjadi kaya. Ahli syariah yang berani mengatakan, bahwa sistem syariah yang cilet-cilet, akan membentuk masyarakat dan pemimpin munafik dan hal ini justru merusak dan melecehkan Islam untuk jangka waktu yang lama. Aceh harus memiliki insinyur-insinyur yang handal dalam teknologi, dan universitas tidak hanya bisa menghasilkan insinyur yang hanya berani menjadi pegawai negeri, untuk kemudian menjadi pimpinan proyek, kepala dinas, koruptor, dan akhirnya pensiun atau masuk penjara karena korupsi. Singkatnya, orang Aceh harus carong dan mampu menjadi pengelola sumberdaya yang luar biasa hebatnya di tanah Aceh, dan tentunya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatnya.

Sedangkan bagi kalangan yang memerintah, visi Abdullah Syafi’e ini semakin memperkuat kemauan memajukan pendidikan Aceh. Jika orang yang sekarang memimpin masih teringat pesan ini, pastilah dia malu ketika kualitas pendidikan kita sedemikian buruknya, dari kualitas pendidikan daerah-daerah lain yang kemampuan keuangan daerahnya miskin dan mereka bukanlah daerah otonomi khusus seperti Aceh. Kedua, harus kuat (beukong), ini sangat jelas, bahwa kita disuruh menambah kemampuan menjaga, memperkuat dan mempertahankan diri baik setiap orang maupun secara komunal. Kita harus memiliki waktu untuk berolahraga, dan handal dalam memenej tubuh supaya kuat. Gizi kita harus baik. Dan kita harus menghapus pantangan makan ikan di kalangan anak-anak kita, supaya otak mereka berisi dan mereka tidak mengantuk di sekolah.

Untuk yang lebih luas, kita memiliki kemampuan mengatur kekuatan gampong kita. Memiliki sistem yang kuat dalam menghadapi serangan provokator, dan kita memiliki kemampuan mengelola bencana, baik bencana alam maupun bencana dari para penjahat. Bagi orang yang memerintah, tentunya, sejak awal dilantik langsung berpikir, bagaimana mengelola warganya supaya kuat. Bagaimana membuat dan merancang standard etika baru, sehingga potensi-potensi yang ada bisa dihandalkan, bukan untuk bertinju di luar arena, tetapi memenangkan tinju di ring tinju. Bukan memenangkan debat kusir di warung kopi, tetapi debat ilmiah di forum-forum lobi, sidang parlemen atau sidang di ruang pengadilan.

Ketiga, orang Aceh harus kaya. Dengan kepintaran, dengan kekuatan, kita mampu memperkuat ekonomi kita untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Masyarakat Aceh, secara eksplisit dalam pesan Teungku Lah, mengharamkan diri menjadi masyarakat pengemis, peminta-minta, tangan di bawah, dan menjadi hina di hadapan orang yang korup dan bertindak bagai dermawan yang memandang pengemis dengan sinis dan jijik. Oleh karena itu, orang Aceh harus lebih keras bekerja, mengelola semua potensi yang ada untuk kemudian mengolahnya secara bertanggungjawab dan berkesinambungan. Setiap dalam diri orang Aceh, harus berpikir, bagaimana ia membangun rumah dengan tidak menebang pohon dan mengunduli hutan. Bagaimana ia membangun pelabuhan tetapi bukan dengan menghancurkan gunung, karena hal ini akan berdampak baik untuk ekonomi jangka pendek tetapi bencana bagi masa depan anak cucu kita.

Andai Pemerintah (orang) Aceh ingat pesan-pesan yang saya sebut sebagai visi Teungku Abdullah Syafi’e, saya memiliki keyakinan, dalam lima tahun pasca-Undang-undang Pemerintah Aceh, atau tiga tahun pasca-pilkada 2006, rakyat Aceh sudah terlihat memiliki kehidupan lebih baik, karena MoU Helsinki dan UU-PA dibuat dengan misi itu. Andai almarhum Teungku Lah masih hidup, tentu kita masih bisa melihat raut wajahnya. Apakah bahagia atau kecewa melihat situasi ini. 22 Januari 2011, Teungku Lah genap 9 tahun sudah meninggalkan kita. Beliau wafat di Gampông Sarah Panyang, Jiem-jiem, Pidie, bersama istri dan lima pengawalnya. Kita doakan Allah swt menerima segala amal kebajikan almarhum.

Wasiat almarhum yang masih saya ingat adalah, “Meunyo bak saboh uroe ka tadeungo lé gata nyang bahwa lôn ka syahid, bèk tapeuseudéh dan putôh asa. Lantaran jeueb-jeueb watee lôn meulakee bak Po teuh Allah Beuneubri lôn syahid watèë Nanggroë geutanyoë ka toë bak mardéhka, meuseubab hana peurelèë sipeuë jabatan pih meunyo Nanggroë ka mardeka, nyang lon peureulee pemimpin beuamanah rakyat beuseujahtra” (“Jika suatu hari nanti kau dengar aku telah tiada, jangan bersedih dan putus asa, sebab setiap waktu aku berdoa semoga Allah memanggilku saat negeri ini belum merdeka. Aku tak butuh jabatan saat negeri ini merdeka, yang kubutuhkan, para pemimpin menjaga amanah agar rakyat sejahtera”).

Pertanyaannya, siapa yang masih ingat wasiat Teungku Lah. Seberapa tergetarkah kita mendengar wasiat ini, sehingga berjuang keras agar Aceh menjadi lumbung orang carong, orang kuat, dan orang kaya. Merasakan kenyataan sekarang, sungguh saya merasa sedih. Sayup-sayup, dipojok warung kopi saya mendengarkan sindirin sekelompok anak muda yang resah dengan masa depan Aceh, seolah menyindir realita yang ada: “Ureung Aceh beubangai/beu jeut dipropaganda sabe/Ureung Aceh beuleumoh/beu jeut dipeutakot le ureung bangai/    Ureung Aceh beugasim/beujeut dipeulemoh ngen peng grik.”    

* J. Kamal Farza adalah Lawyer pada Farza Lawfirm, Banda Aceh. Founder Tengku Hasan Tiro Institute.

Sumber : http://m.serambinews.com/news/view/47687/spirit-teungku-lah

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Free Web Hosting