***Welcome My Blog***

Selasa, 26 April 2011

Sultan iskandar muda memancung anaknya sendiri

“Mate aneuk meupat jrat, mate adat pat tamita” (Mati anak jelas kuburan, mati adat-istiadat tak akan jelas keberadaannya). Itu ucapan Iskandar Muda, sambil berdiri di depan dewan hakim yang terhormat. Mukanya merah padam, ketika putra mahkotanya divonis telah melakukan perbuatan mesum dengan seorang istri pejabat istana. Sekiranya tahun 1629 itu, putranya terbukti berzina, tinggal menentukan hukuman apa.


Para hakim tentu binggung, menentukan dera sesudah vonis. Kali ini yang duduk di kursi pesakitan bukan hamba sahaya, tapi putra mahkota, kesayangan Raja Aceh yang berjuluk panjang: Seri Sultan Perkasa Alam Johan Berdaulat. Yang telah berhasil menaklukkan banyak wilayah, membawa Aceh kesohor di dunia dalam masanya memerintah, 1607 sampai 1636 Masehi. 

Binggung hakim terbaca sultan, “pancung,” serunya lantang. Semua terkesima, tak kuasa membantah titah. Meurah Pupok, sang putra mahkota ditahan, menunggu hari pelaksanaan. 
Para pejabat tinggi istana berusaha membujuk Iskandar, meminta keringanan hukuman, minimal sang putra tak perlu mati. Permaisuri Putroe Phang pun dipasang ikut membujuk. Sultan bergeming, katanya malu pada rakyat dan Tuhan. “Kalau rakyat dirajam, anak saya harus dipancung,” katanya kala itu. 

Begitulah, karena mesum. Sampai hari H, tak ada algojo yang berani menyentuh tubuh Meurah, Sang Sultan lah yang memancung anaknya sendiri di depan para rakyat yang berkumpul di alun-alun kerajaan, depan Masjid Raya Baiturahman. Meurah Pupok kemudian dikebumikan asing di sekitar itu, sampai sekarang jrat (kuburan)nya masih terlihat, di antara kuburan pasukan Belanda yang mati belakangan dalam perang mereka di Aceh. Kerkhoff.
Mesum memang kasus unik semenjak dulu. Gelar yang ditabalkan untuk pasangan yang berperilaku seks di luar nikah, sesudah ikatan itu ada, label itu tentu hilang. 

Hampir semua agama Tuhan melarangnya, lalu sebagian negara mentransfernya dalam hukum kenegaraan. Kendati banyak juga wilayah yang kemudian menganggapnya sebagai hak azasi, kalau pelakunya atas dasar cinta, atau sebagai profesi mencari uang, asal jangan mesum lewat jalur peksaan alias perkosaan. 

Di Aceh, mesum dipandang hina, tabu, terkutuk dan pelakunya sekarang bisa dihukum cambuk. Nah... itu pun kalau ketahuan, kalau tidak, maka si mesum bisa sebebasnya melenggang kangkung. Bagi yang ketahuan, bisa juga malu seumur hidup, puluhan gelar akan melekat bersamanya; Abang Cambuk, Si Cabul, Si Pajoh Mangat sampai Si Mesum. Kalau pejabat yang melakukannya maka akan digelar Pejabat Mesum, kalau masiswa dilabeli Mahasiswa Mesum. 

Begitulah... kadang yang menggelarinya atau yang sibuk krasak-krusuk juga pernah melanggar larangan itu, hanya saja belum ketahuan. Kalau ketahuan, dia juga akan bernasib sama. 

Liat saja ketika petugas Wilayatul Hisbah (Polisi Syariah) yang punya tugas memantau soal hukum Syariat Islam di Aceh, terkena kasus ini medio April lalu. Pangkatnya langsung saja disandangkan, ‘Si WH Mesum’. 

Soal ini, Belanda saat mencoba menaklukkan Aceh pernah melabeli orang-orang di negeri ini sebagai ‘orang yang bejat moral’. Nama ini terkait dengan tuduhan Belanda kepada orang Aceh yang sering melakukan mesum bahkan dengan anak di bawah umur, mengisap madat, dan memotong penis lawan-lawan mereka setelah mati. 

Aneh tuduhan itu dilakukan oleh orang yang juga bejat, menyimpan gundik-gundik dan berperilaku seks bebas bahkan pemaksaan dengan wanita-wanita pribumi. Tenyata ada ‘udang di balik batu’, Belanda ingin memecah-belahkan kaum ulama dan pemimpin di Aceh. Satu lagi, ingin menyemangati prajurit mereka untuk melawan pejuang Aceh yang jago perang. 

Naar Atchin, de kraton! Daar zetelt het kwaad. 
Schuilt ontrouw, broeit zeeroof en smeude verraad.
Roeit uit dat gebroedsel, verneder die klant.
Met Nederlands driekleur ‘beschaving’ geplant.
(Ke Aceh, ke dalam, di sana bercokol kejahatan. Bersembunyi kemunafikan, bersarang perampokan dan pengkhianatan. Enyahkan komplotan, hancurkan perampokan. Tanamkan ‘peradaban’ dengan si tiga warna)

Nukilan sastra karangan Haagsma pada 1877, saat Belanda terus mencari cara mengumpulkan tentara yang mau diberangkatkan ke Aceh. Hasutan itu sebagai kampanye bahwa orang-orang Aceh bejat dan perlu diperangi. 

Lama ‘bejat’ digelar dan dikampanyekan di benua lain. Sampai sebuah penelitian mendalam yang dilakukan Snouck Hurgronje pada tahun 1893 dalam bukunya ‘De Atjehers’ (orang-orang Aceh). Saat itu, belanda baru menyadari, musuh mereka adalah lawan terhormat. Tuduhan mesum dan penghisap madat terhapus.

“Akan tetapi pada waktu itu, ia (Aceh) pun sudah hampir kalah, sedang kita (Belanda) belum lagi sampai sejauh itu,” Paul Van’t Veer menulis dalam bukunya, De Atjeh Oorlog (perang Belanda di Aceh). 

Terlepas dari kisah itu, terlepas dari kepentingan apapun, kisah mesum di Aceh tak ada faktor X. Orang-orang Aceh diakui taat, memegang adat minimal dalam negerinya sendiri. Banyak kalangan mengakuinya, Aceh sebagai Serambi Mekkah, sebagai representasi Islam di Nusantara, sebagai nusantara yang telah lebih dulu mengenal peradaban Islam. 

Kalau ada moral yang bejat, orang tak ragu untuk melihat keturunannya. “Jangan-jangan itu bukan orang Aceh.” Kalau juga asli Aceh, keturunannya masih diperdebatkan. Dikaji berulang kali untuk tetap membuat Aceh terhormat. Fanatik yang telah ada sejak lampau. 

Seorang kawan pernah berkata tentang banyaknya pelaku hubungan terlarang ini di Aceh. “Ah... itu bukan orang Aceh, orang Aceh punya moral yang sangat tinggi, gak mungkin orang Aceh melakukan itu,” katanya. “Saya sendiri tidak berani mengaku orang Aceh,” sambungnya lagi. Aku sempat berpikir, ini sindiran atau kenyataan. Mari kita menilai...

Kita anggap saja kesilapan, dan pada taraf ini siapa yang tidak ingin pada surga dunia? Soal ini, tak pandang bulu: tua-muda, Aceh-non Aceh sama saja. 

Banyak buktinya, ketika pejabat mesum bukan dengan pasangannya, bahkan mengikuti trend merekam adegan. Ketahuan mereka sewot bahkan keluar Aceh. Mahasiswa juga ada yang ikut-ikutan perilaku mesum ini, sesama mereka atas kata cinta. WH pun tak bisa menahan diri, ketularan bapak polisi yang juga tertangkap basah di pojok senja. Banyak lagi dan banyak lagi.... 

‘Serambi Kita Ternyata Mesum Juga’, tulis Azhari, sahabat sastrawan di Komunitas Tikar Pandan. Tak salah, hanya saja kita terlambat mengakuinya dan sibuk mencari cara memadamkan mesum di bara yang panas menyala.

Kuasa mesum memang terlampau kelewat, dan hanya satu rekomendasi tentang ini; kesalahan manusiawi. Sekarang, Aceh makin marak dengan kasus ini. Atau memang dulu yang terlalu disembunyikan, karena dianggap sebagai aib?

Lalu siapa yang salah dalam perilaku mesum di Aceh: hukum cambuk, anak muda, orang tua, arus globalisasi, pendidikan, pejabat, pemerintah, pengangguran atau agama yang kelewat dangkal. Mungkin juga tak ada yang salah, semuanya manusiawi, ketika sebuah generasi mengikuti generasi sebelumnya, soal mesum. 

Soal hukum tunggu dulu, adakah orang tua yang berani memancung anaknya sendiri seperti Iskandar Muda? Kalau pun ternyata ada, pasti dia akan dihukum lagi bahkan dalam kerangkeng Rumah Sakit Jiwa.

Banda Aceh, Medio 2007 (acehkita.com)

Rabu, 20 April 2011

PERBEDAAN SYURA DENGAN DEMOKRASI

1. Syura adalah aturan Ilahi sedangkan demokrasi merupakan aturan orang-orang kafir.

2. Syura dipandang sebagai bagian dari agama sedangkan demokrasi adalah aturan tersendiri.

3. Di dalam syura ada orang-orang yang berakal yaitu Ahlul Halli wal ‘Aqdi (yang berhak bermusyawarah) dari kalangan ulama, ahli fiqih, dan orang-orang yang mempunyai kemampuan spesialisasi dan pengetahuan. Merekalah yang mempunyai kapabilitas untuk menentukan hukum yang disodorkan kepada mereka dengan hukum syariat Islam. Sedangkan aturan demokrasi meliputi orang-orang yang di dalamnya dari seluruh rakyat sampai yang bodoh dan pandir sekalipun.

4. Dalam aturan demokrasi semua orang sama posisinya, misalnya : Orang alim dan bertakwa sama posisinya dengan seorang pelacur, orang shalih sama derajatnya dengan orang yang bejat, dll. Sedangkan dalam syura maka itu terjadi akan tetapi semua diposisikan secara proporsional. Allah berfirman :

“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian), bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS. Al Qalam : 35-36)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama.” (QS. As Sajdah : 18)

KARTINI VS DATU BERU

TERNYATA...... SELAMA INI..... KITA TELAH MENYIMPAN INFO YANG SALAH TENTANG ICON WANITA INDONESIA....


Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?”

Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik 'pengkultusan' R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.

Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.

Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.

Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.

Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.

Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”

Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.

Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).

Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”

Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”

Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”

Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.

Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.

Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.
Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:

“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”
Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam.

Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!... Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).

Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’.

Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.

Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).

Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam.

Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).

Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24).

Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan. [Depok, 20 April 2009/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com


"Kekayaan Aceh Dinikmati Orang Luar"

FKMA (The Atjeh Post- BNA) --- Pemerintah Aceh menyatakan fokus membangun empat sektor ekonomi yakni pertanian, perkebunan, peternakan, kelautan dan perikanan sebagai program andalan untuk memandirikan provinsi ini dari ketergantungan terhadap minyak dan gas alam serta Pemerintah Pusat. Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar mengatakan, empat sektor itu kini sudah dimasukkan ke dalam master plan Aceh sekaligus mewujudkan program percepatan pembangunan perekonomian Indonesia menuju negara maju di 2025. “Empat sektor ini akan saya perjuangkan ke nasional dalam rapat bersama Presiden di Istana Bogor minggu depan, agar mendapat perhatian dari Pemerintah Pusat,” kata Nazar di ruang kerjanya, Selasa (12/4/).

Untuk menggarap empat sektor itu, kata Nazar, butuh dukungan dana dari pemerintah pusat. Apalagi, Aceh belum punya indutri pengolahan (processing) untuk mengolah bahan baku menjadi barang setengah jadi. "Potensinya sangat besar. Jika Pemerintah Aceh dan Pusat serius, saya yakin rakyat bisa sejahtera. Selama ini, dinikmati oleh orang luar, karena di Aceh belum memiliki industri pengolahan,” ujarnya. 

Nazar mencontohkan produksi gabah Aceh yang terus surplus setiap tahun, tapi justru mengalir ke Medan, Sumatera utara. Penyebabnya, harga jual yang lebih tinggi dan belum adanya pabrik pengolahan di Aceh. “Begitu juga dengan perikanan, tiap tahun nelayan luar menangkap berton-ton ikan di perairan Aceh tetapi Aceh tidak mendapat apa-apa,” kata dia.

Empat sektor  yang diajukan  ke Pusat, kata Nazar, jika disetujui maka masing-masing sektor akan mendapat anggaran sampai Rp1 triliyun tiap tahun. “Jika ini berhasil, tahun 2013 Aceh akan  menjadi daerah yang mandiri, tidak lagi tergantung sama luar, khususnya Medan,” ujarnya

Sabtu, 16 April 2011

Sekolah Obama di Menteng Dahulu Milik Freemasonry

Ada fakta unik mengenai jatidiri Obama yang tidak kita ketahui semua. “Buku Kenang-kenangan Freemasonry di Hindia Belanda 1767-1917” yang diterbitkan atas prakarsa tiga loge besar di Jawa menyatakan bahwa sekolah di Jalan Besuki (besukiweg) tempat Obama belajar dahulu dimiliki oleh freemasonry. SDN Menteng 01 atau akrab dengan sebutan SDN Besuki kala itu berada di bawah naungan Carpentier Alting Stiching, sebuah Yayasan miliki Freemason yang memiliki perhatian dalam bidang pendidikan.

Carpentier Alting Stiching: Yayasan Freemason

Menurut Arta Wijaya, dalam bukunya “Jaringan Yahudi di Nusantara” (Pustaka Al Kautsar: 2010) Albertus Samuel Carpentier Alting (1837-1915) adalah tokoh masonik yang berada dibalik pendirian sekolah tersebut pada tahun 1902. Kala itu AS. Alting masih melakukan inisiasi tentang pendidikan dengan mendirikan Sekolah Menengah khusus bagi wanita (Hoogere Burgere School/HBS), yang merupakan usaha pendidikan pertama di Hindia Belanda. Jenjang waktu tempuh pendidikan HBS kala itu masih tiga tahun dan sempat mengalami kendala karena kekosongan pendaftar.

Reputasi Alting sebagai seorang pendidik membuatnya terlibat dalam mendirikan berbagai sekolah di dataran Jawa. AS. Alting sendiri adalah alumnus teologi di Universitas Leiden dan memiliki pengaruh kuat dalam jajaran Freemasonry di Hindia Belanda. Selain sebagai pendidik, AS. Alting juga tersohor sebagai pendiri Majalah Mason Hindia dan Loge Agung Provinsial Hindia Belanda serta menjabat Wakil Suhu Agung untuk Hindia Belanda.

Seiring berjalannya waktu, AS. Alting kemudian mendirikan sebuah yayasan yang dinamakan Carpentier Alting Stiching atau disingkat CAS yang bernaung di bawah Ordo Freemasonry Hindia Belanda atau kala itu disebut Ordo van Vrijmetselaren Nederlansche Oost Indie. Lembaga-lembaga pendidikan dibawah yayasan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal sekolah tempat Obama mengenyam pendidikan, sekaligus menunjukkan bagaimana visi Alting ke depannya.

Bukti-bukti itu bisa kita lihat jika berkunjung ke situs CAS http://cas-reunisten.nl/index.htm. Ketika membuka situs tersebut, kita akan dihadapakan langsung pada gambar sekolah di Jalan Besuki tempo dulu. Pada sekolah-sekolah yang diangun AS. Calting diterapkan semngat inklusif dan pluralisme. Sekolah ini tidak mengenal perbedaan agama, semua masyarakat dari segala jenis agama dipersilahkan untuk menimba ilmu.

Lambat laun kerja keras Alting membumikan pendidikan Belanda yang kental nuansa masonik semakin menorehkan kesuksesan. Dalam buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat Hindia Belanda 1764-1962 (Sinar Harapan: 2004), T.H Stevens menyatakan bahwa CAS pada tahun 1952 telah mendapatkan reputasi besar di kalangan Freemasonry.

Yayasan Freemasonry ini mengoleksi lebih dari 1.500 murid yang terbagi dalam Lyceum dengan Middelbare Meisjes School (sekolah menengah untuk perempuan), sebuah Uitgebreid Lager Onderwijs (sekolah menengah pertama) dan tiga sekolah dasar. Para murid merasa senang mengunjung CAS salah satunya dikarenakan model sistem pendidikan modern dan sangat berkiblat ke Barat.

Nono Anwar Makarim, salah seorang pengacara senior pernah menceritakan bagaimana pengalamannya belajar di Carpentier Alting Stichting pada tahun 1958 yang amat bergaya Eropa. Sepeti dikutip Pusat dan Data Analisa Tempo, Nono mengatakan, ''Sejak kecil saya berdiri di dua kultur yang berbeda, satu kaki pada kultur Barat, satu lagi berpijak di kultur Timur.



AS. Carpenter Alting dan Perannya Menyebarkan Faham Freemason

Pengalaman Alting melanglang buana ke dataran Nusantara sebagai tokoh penting freemason tidak bisa dianggap sepele. Ia rajin berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya demi melebarkan sayap freemason. Menurut Arta Wijaya, AS. Alting pertama kali menginjakkan kaki di tanah nusantara di kota Padang. Ia kemudian bergabung menjadi anggota Loge matahari dan terlibat mendirikan Perkumpulan Pengurusan Yatim Piatu dan Padang Frobel School yang dibuka pada tahun 1889.

Dari Padang, AS. Alting kemudian dipindahkan ke Buitenzorg dan memegang peranan berpengaruh dalam tubuh Buitenzorg Maconniek Societiet (Perkumpulan Mason Bogor). Perkumpulan ini kemudian meretas berdirinya Loge Excelsior pada 1891 di kota tersebut.

Lama mengenyam diri di Bogor, selanjutnya AS. Alting masih melanjutkan pengembaraannya dengan hijrah ke Semarang pada kurun waktu 1895. Menurut catatan Wikipedia, nama AS. Alting tercatat sebagai pendeta di Gereja Blenduk yang kini terdapat di Jl. Letjend. Suprapto 32 Semarang dengan nama Gereja GPIB Immanuel. Gereja Kristen ini adalah gereja tertua di Jawa Tengah. Ia dibangun oleh masyarakat Belanda yang tinggal di kota itu pada tahun 1753. AS. Alting sendiri kemudian aktif berkhotbah di Gereja ini pada durasi 1895-1897.

Alumni CAS dan Riwayatnya kini

Kisah sukses CAS membumikan pendidikan Belanda, membuat para alumninya berinisiatif untuk mendirikan yayasan CAS-Relinisten untuk mengenang masa-masa mereka sekolah dulu. Bahkan tepat ketika pada tanggal 3 September 1977, telah sukses diadakan peringatan 75 tahun berdirinya cikal bakal CAS pada tahun 1902. Acara tersebut sendiri dilakukan dalam suatu pertemuan besar dengan melibatkan sejumlah alumni dan elemen-elemen terkait di Gedung Konser di Den Haag.

Hal yang patut dicatat adalah bahwa dalam reuni tersebut, Atase Militer kedutaan besar Indonesia meberikan kata sambutan dengan menekankan bahwa CAS di Indonesia telah menjalankan suatu fungsi yang amat penting. Dan hasil reuni itu kemudian dirumuskan dalam bentuk buku kenangan berjudul Gedenkboek 1902-1977 (Buku Peringatan 1902-1977) yang dilengkapi dokumentasi album foto sehingga memberikan kesan berarti.

Saat pemerintah Indonesia, mengeluarkan Keppres Nomor 264 tahun 1962 yang membubarkan dan melarang Freemasonry beserta segala organisasi derivatnya, nasib kegiatan di sekolah ini sempat terkatung-katung. Kehadiran CAS yang terendus kuat memiliki misi Freemasonry membuat mereka sibuk memutar kepala. Namun waktu tidak memberi mereka peluang banyak untuk bernafas hingga akhirnya kegiatan di sekolah ini tidak lagi aktif tak lama setelah Keppres itu dikeluarkan.

Sebenarnya Raden Said Soekanto, Kepala Kepolisian pertama RI sudah mengendus akan terjadinya pembubaran CAS pada tahun sebelum kepres itu dikeluarkan. Soekanto yang juga kader inti freemason telah mengatur strategi untuk meneruskan roda perjalanan sekolah ini dengan cara mengganti nama Yayasan Carpentier Alting menjadi Yayasan Raden Saleh pada tahun 1958.

Namun seperti yang sudah dikisahkan sebelumnya, sejarah CAS di bawah pimpinan Indonesia hanya berlangsung singkat. Kala itu Yayasan Raden Saleh mengambil alih anggaran dasar CAS dan memberlakukan peraturan bahwa mayoritas anggota pengurus haruslah merupakan kader freemason tulen. Akhirnya banyak anggota-anggota pengurus baru berasal dari loge Jakarta “Purwa Daksina”.

Ketua pengurus sendiri dipimpin oleh Soekanto. Sedangkan R. Sumitro Kolopaking dan R. Soerjo memangku jabatan wakil-wakil ketua. Adapun M. Soendoro, yang zaman itu memangku jabatan Sekretaris Agung Loge Agung Indonesia, diamanahkan untuk mengisi posisi sekretaris.

Dalam buku “Satu Tahun Pendidikan Nasional Jajasan Raden Saleh”, yang dikeluarkan pada bulan Juli 1959, kita bisa menengok segala kenangan yang tersimpan mengenai sekolah ini. Dari data laporan pada tahun 1958 sampai 1959, Yayasan Raden Saleh tercatat mengelola dua sekolah dasar, yakni Taman Kanak-Kanak, dan dua sekolah menengah, yaitu sebuah SMP dan sebuah SMA.

Namun pada tahun itu hanya tinggal sedikit murid Belanda ikut mengenyam pendidikan bersama Yayasan Raden Saleh. Tercatat dari sekitar 450 murid yang mengikuti pendidikan bersama Yayasan Raden Saleh alias jelmaan CAS pada kurun waktu 1958-1959 85 orang mempunyai nama keluarga Belanda dan sisanya berasal dari aseli Indonesia.

Th Stevens menjelaskan bahwa pada dasarnya Yayasan Raden Saleh kala itu tidak jauh berbeda dengan pendahulunya. Yayasan Raden Saleh sebagai penerus CAS, selalu menerapkan prinsip masonik tentang manusia dan masyarakat hingga akhirnya usaha ini terhenti oleh karena perkembangan politik pada awal tahun-tahun enam puluhan. 
Pada masa kini dapat disaksikan bahwa di tempat sekolah-sekolah Carpentier Alting dahulu, di Koningsplein Oust (sekarang Medan Merdeka Timur) terdapat lembaga dengan pendidikan Ianjutan.

Namun sekolah ini, menurut Th Stevens, tidak ada kaitannya dengan landasan semula. Terlebih saat ini sekolah yang didirikan freemason itu telah berubah fungsi menjadi Gedung Galeri Nasional Indonesia yang terletak di Jalan Medan Merdeka Timur No. 14. Jakarta Pusat lengkap dengan catatan kelam sejarahnya. (pz)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Free Web Hosting