***Welcome My Blog***

Rabu, 06 Juli 2011

Menemukan Kembali, Istana Sultan Aceh

Sebuah kota mencerminkan value dan tingkat peradaban masyarakat di wilayah tersebut. Tingkat peradaban dalam pembangunan kota antara lain ditentukan oleh penggunaan teknologi dalam perencanaan pembangunan kota tersebut. Membaca dan mendengar kebesaran sejarah Aceh, rasanya sulit menemukan bukti-bukti kebesaran peradaban Aceh masa lalu.

Diskusi tentang peradaban manusia dari primitive, modern, postmodern dan seterusnya menimbulkan pertanyaan besar tentang apa dan siapa sebenarnya Aceh. Apakah kebesaran peradaban Aceh adalah benar adanya ? Atau pendahulu negeri itu hanya membesar-besarkan cerita kepahlawanan dan kepemimpinannya tanpa ada bukti? Apa alasan untuk membantah bahwa Aceh baru mengenal modernisasi dan sedang dalam proses meninggalkan budaya primitif? Apa tidak mungkin sebaliknya? Apa pun jawabannya, istana adalah salah satu simbol peradaban yang akan memberi input terhadap value, ethic dan prinsip yang dipakai dalam pembangunan Aceh pada masa lalu dan sekarang.

Pertanyaan umum yang muncul adalah: Jika Aceh pernah besar, dimana bukti-bukti kebesaran peradaban Aceh pada masa lalu? Berbicara tentang kebesaran peradaban pada masa kerajaan, pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah: "Istana dan lingkungan sekitarnya seharusnya merupakan tolok ukur bagaimana perencanaan fisik kota pada masa lalu pernah diterapkan di Aceh. Pertanyaan itu terjawab oleh sebuah foto istana Aceh yang dibuat Belanda dengan detil, sesaat setelah istana direbut oleh pasukan Belanda saat agressi militer ke-2.
                                                         Peta Istana Sultan Aceh Darussalam
Dari foto istana Aceh, istana Aceh tersebut secara fisik dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, karakteristik umumnya adalah :

   1. Memiliki batas yang jelas antara kawasan dalam dan luar istana,
   2. Terbagi atas kawasan inti dan pendukungnya,
   3. Memiliki fungsi sebagai benteng, pusat administrasi pemerintahan dan simbol kemajuandalam bidang arsitektur, seni dan perencanaan kota, dan
   4. Bangunan fisik bukan hanya kombinasi bangunan permanen dan tidak permanen, tetapi juga dengan attribut landscape seperti pemandangan sungai, gunung, pepohonan yang dipilih dengan sengaja (misalnya karena warna daun, aroma, fungsi peneduh , dsb).

Kedua, batas komplek istana istana. Berdasarkan peta, kawasan diperkirakan memiliki batas sebagai berikut :

    * Depan kanan : pertemuan Krueng Daroy dan Krueng Aceh.
    * Kiri depan : Pintu Masuk Mesjid Baiturrahman, atau sudut kiri ex halaman Hotel Aceh
    * Samping Kanan : dibatasi oleh dinding di sekitar samping Kandang Meuh (Sekarang Komplek BAPERIS)
    * Samping Kiri memiliki dinding pembatas yang diperkirakan memisahkan halaman taman Gunongan dan Pinto Khop dengan kawasan luar.
    * Batas belakang kanan adalah sudut kanan lapangan Neusu, dulunya lapangan itu disebutkan difungsikan sebagai tempat menambat gajah. Menurut Peter Mundy, jumlah Gajah kerajaan sekitar 800 ekor, sehingga wajar jika panjang kawasannya lebih kurang sama dengan lebar kawasan istana.
    * Batas belakang kiri adalah sudut kiri lapangan Neusu.
    * Seluruh kawasan ini dipagari oleh dinding.

Ketiga, kawasan makam. Sebelah kanan sungai Kr. Daroy adalah wilayah makam raja-raja dan pos pengawas. Sebelah kiri Kr. Daroy dapat diklasifikasikan atas kawasan inti (dalam), taman, bangunan pendukung pusat pemerintahan.

Keempat, kawasan inti. Kawasan ini merupakan tempat tinggal Sultan, sekarang adalah kawasan pendopo (lihat no. 1 di peta) sebelum dipisah oleh jalan di samping anjong Mon Mata. Hampir berbentuk segi empat dengan ketinggian yang tidak sama dengan daerah bawahan. Peta menunjukkan adanya batas antara kawasan inti dengan kawasan pendukung. Bukti sejarah hanya menyatakan kawasan inti memilki dinding pemisah dengan kawasan pendukung.

Foto-foto saat kawasan istana baru ditaklukkan menunjukkan adanya kawasan dengan tanah yang lebih tinggi dan lebih rendah. Dengan mengasumsikan bangunan istana Aceh mengambil inspirasi dari bangunan istana negara sahabatnya yang meninggikan kawasan inti, diperkirakan kawasan ini lebih tinggi agar bangunan istana pun menjadi bangunan tertinggi sesudah Mesjid Raya Baiturrahman. Halaman depan istana disebutkan oleh Bustanussalatin sebagai hamparan padang rumput untuk pacuan kuda keluarga raja.

Bukti pendukung bahwa kawasan ini sengaja ditinggikan dapat dilihat dari perbedaan tinggi kawasan Taman Putroe Phang dengan rumah militer yang sejajar dengan Kawasan Pendopo.

    * Batas Kanan Depan : sebelum jembatan pertama dari dua jembatan penghubung antara sebelah kanan dan kiri sungai. Bersebelahan dengan pintu masuk kawasan Dalam
    * Batas Kiri Depan : wilayah kiri depan adalah wilayah kemiliteran dengan bangunan yang tidak terlalu berbeda dengan istana. Hal ini disebabkan karena jika raja memiliki lebih dari satu putra mahkota, mereka akan menjadi pemimpin di kawasan kemiliteran. Bentuk arsitektur istana seperti ini juga yang menyebabkan pasukan Kohler bingung menentukan lokasi bangunan istana. Menurut Aceh Sepanjang Abad, pasukan Belanda terjebak dalam pertempuran karena gagal membedakan antara lokasi istana, Makam Poteujemaloy (sekarang jadi lokasi dapur dan tempat jemuran Bakso Hendra Hendri), dan Komplek taman dan makam 12 Sultan pendiri Kerajaan Aceh (Kandang XII
    * Batas kanan belakang adalah pertemuan Krueng Aceh dan Kr. Daroy.
    * Batas Kiri Belakang berhadapan dengan pintu masuk kawasan taman (Pinto Khop)

Kelima, rumah keluarga Sultan. Kawasan Neusu adalah rumah keluarga Sultan Aceh yang diambil seluruhnya oleh Serdadu Belanda sebagai komplek tentara mereka. Selanjutnya, Belanda menggunakannya untuk perumahan pegawai Kereta Api. Mengherankan, mengapa denah istana di kawasan inti ada pada arsitek Itali yang melukiskan dengan detail ruang raja, rumah pangeran, lokasi tiang bendera, dsb.

Keenam, Kawasan Taman. Bustanussalatin karangan Syiah Kuala melukiskan Taman Darul Isky memiliki banyak bangunan pendukung (pagoda cina, air mancur, , tiga buah tempat cui rambut putri, patung bejana yang menumpahkan air ke sungai krueng daroydll). Makam di sebelah gunongan adalah makam raja turunan Melayu dengan peti emas. Emas tersebut sebagian masih di Museum Aceh dan sisanya di bawa ke Jakarta awal 1990-an.

Taman ini pernah difungsikan sebagai tempat rekreasi bagi para tamu terhormat kerajaan yang mengunjungi Aceh dan para pedagang besar yang ingin membeli lada di Aceh. Misalnya Admiral De Bealieau dari Perancis, yang memberi deskripsi detil tentang bangunan dan taman istana. Sangat disayangkan, dokumen Bustanussalatin tidak memiliki lagi lembaran yang menunjukkan kawasan penyimpanan harta kerajaan.

Bangunan atap pinto khop secara sengaja atau tak sengaja hampir sama dengan bangunan istana Cina, Korea, Jepang yang memiliki dasar arsitektur yang sama. Lihat:


Atap Bangunan Pinto Khop
Ketujuh, dinding istana. Belum ada bukti kuat tentang tinggi dinding istana. Namun, peta yang dibuat pedagang spanyol di bawah mengindikasikan dinding lebih tinggi dari gajah, atau sekitar 3-4 meter, sedangkan untuk gerbang lebih tinggi. Arsitektur gerbang dan penggunaan gajah di Aceh tidak lepas dari pengaruh kebudayaan Mughal. Sehingga, bukan tidak mungkin jika gerbang istana Aceh mengikuti gaya gerbang Mughal. Asumsi itu didukung oleh foto dibawah.
Source: Tampak Luar Istana Aceh, Lukisan Pedagang Spanyol abad 16.

Foto yang dibuat Peter Mundy juga menunjukkan bahwa bangunan dalam istana sudah mengenal penggabungan bangunan permanen dan tidak permanen. Misalnya, bangunan untuk menonton adu gajah, ada bangunan berbentuk benteng yang di atasnya memiliki tiang-tiang tanpa dinding untuk tempat duduk raja dan dayang-dayangnya.

 
Source: the Early of Indonesian Modern History
Untuk dinding Mesjid raya, foto ini mengisyaratkan bahwa dinding kompleks mesjid raya lebih tinggi dari gajah, sehingga pelukisnya Peter Mundy hanya bisa membuat sketch atap Mesjid Raya saja.

Kedelapan, sungai sebagai bagian dari istana dan benteng. Banyak ahli sejarah sudah memberikan bukti adanya kaitan antara kebudayaa Aceh dengan Mughal di India. Keberadaan sungai sebagai bagian dari benteng dan istana juga ditemukan dalam pembangunan Taj Mahal dan Benteng Agra di India.

 
Source: the Early of Indonesian Modern History

Mungkin mengaitkan bangunan Taj Mahal dengan istana Aceh terdengar berlebihan. Namun, pembangunan Makam Emas untuk Sultan Iskandar Tsani sangat bernuansa kisah dibalik Taj Mahal. Bedanya, Tajmahal adalah bangunan persembahan raja untuk permaisuri, sedangkan bangunan makam dan taman disamping gunongan adalah persembahan sang permaisuri, Tajul Alam Safiatuddin, kepada suaminya. Makam itu diyakini telah dijarah habis-habisan namun lokasinya tepat di pinggir Krueng Daroy. Tidak jauh beda dengan ide pembangunan Taj Mahal tepat di pinggir Sungai Agra.

Diskusi :

   1. Istana Aceh mengenal zona inti dan pendukung, yang dipisahkan dengan bangunan permanen, non permanen, sungai dan tumbuh-tumbuhan.
   2. Kawasan istana ikut memberi kontribusi terhadap kesehatan lingkungan kawasan pendukungnya, dan luar kawasan istana. Penderita pertama dari pencemaran sungai Krueng Daroy yang bermuara Mata Ie adalah keluarga kerajaan. Sehingga, kebersihan sungai menjadi concern kesultanan. ini menarik mengingat lingkungan sehat sudah menjadi concern di Aceh sejak abad XVI.
   3. Fasilitas kerajaan banyak yang didirikan di sepanjang sungai yang mengalir ke komplek istana. Mempertimbangkan pentingnya pengamanan sungai, misalnya untuk antisipasi banjir dan racun yang ditebarkan musuh, tidak mungkin jika sungai ini tidak diawasi oleh aparatur kerajaan. Situasi ini mengindikasikan bahwa konsep one river one management tidak mungkin belum dipraktikkan dalam management kota di Aceh tempo dulu. [FJ, Aceh Initiative]

Referensi:

    * 1. A. Hasymi (1994) Kebudayaan Aceh dalam Sejarah
    * 2. Reid, Anthony (1996) Indonesian Heritage; Early of Modern History
    * 3. Aceh Sepanjang Abad

Sumber : atjehcyber.tk

"Si Mata Birun " Di Lamno Jaya , Aceh

    “...Jika jalan-jalan ke Aceh Barat, Jangan lupa singgah sejenak di Lamno Jaya. Di sana dapat kita lihat dara Portugis, Si Dara Barat yang biru mata....”


Kurang lebih seperti itu terjemahan sebait lagu Sabirin Lamno yang diberinya judul Dara Portugis. Lagu itu dikumpulkan dalam sebuah kaset yang diluncurkan oleh Kasgarecord. Oleh karena lagu itu, keberadaan dara Portugis di Lamno, Aceh Jaya (dulu masih bergabung den­gan Aceh Besar) menjadi makin populer, baik di masyarakat Aceh maupun Indonesia. Bahkan, orang asing yang datang pascatsunami ke Aceh juga bertanya tentang keberadaan keturunan Eropa itu di Aceh Jaya. Apalagi, setelah mengeta­hui Aceh Jaya adalah daerah terparah kena imbas ie beuna atau Tsunami.

Sebelum menelusuri lebih lanjut jejak si mata biru, kita mengingat dulu sejarah Aceh. Seperti halnya bangsa lain yang mendatangi Aceh, Portugis bertujuan menjalin kerja sama di bidang rempah-rempah. Ketika itu Aceh me­mang terkenal dengan kekayaan rempah-rempahnya. Na­mun, lambat-laun negeri berjulukan ‘Seramoe Makkah’ ini jadi jajahan. Lantas, apa yang dapat kita petik dari pening­galan sejarah jajahan tersebut setelah Aceh merdeka?

Sebelum sampai ke jawaban dari pertanyaan itu, tanpa bermaksud mengungkit perih, duka-lara, dan dendam yang tercerabut-berpagut hingga kini, saya mencoba memapar­kan sebuah sifat keacehan yang dimiliki orang Aceh hingga kini. Karakteristik keacehan itu kerap disematkan pada na­rit maja Aceh. Salah satunya, sipeut ureueng Aceh hanjeut teupeh. Meunyo teupèh, bu leubèh hana meuteumè rasa; meunyo hana teupèh, boh krèh jeut taraba. Apabila di-In­donesiakan, lebih kurang memiliki makna orang Aceh tidak boleh disinggung (hatinya). Kalau tersinggung, nasi basi pun tak diberikan; kalau tidak disinggung, kelamin pun boleh diraba.

Mungkin, karena sifat itu, orang Aceh gampang di­jajah, karena orang Aceh begitu mudah akrab dengan orang asing saat hatinya sudah disentuh lembut. Bermula menyentuh dengan sangat lembut hati orang Aceh, bang­sa-bangsa pendatang mencoba menjalin ikatan kerja sama perdagangan dengan bangsa Aceh. Kemudian, orang Aceh yang sudah tersentuh hatinya, dengan gampang dan gam­blang menyerahkan yang dia punya kepada bangsa pen­datang tadi. Saat itu, tanpa disadari Aceh telah dijajah. Maka, ketika telah sadar dirinya dijajah, orang Aceh yang lebih senang menyebut dirinya ureung Aceh akan bangkit dengan segala daya dan upaya.

Saat seperti inilah, keace­han itu timbul kembali, yakni daripada hidup di bawah kaki penjajah meski diberi pangkat dan harta berlimpah lebih baik mati bersimbah darah atau mati berkalang tanah. Hal ini juga dinukilkan dalam narit maja Aceh: daripada juléng göt buta; daripada capiek göt patah, daripada singèt göt rhô meubalék (daripada juling lebih baik buta, daripada pin­cang lebih baik patah, daripada miring lebih baik tumpah semua). Yang lebih tegas lagi, daripada na göt hana (dari­pada ada, lebih baik tidak ada). Maka dari itu, perjuangan dengan gencar melawan penjajah dilakukan ureueng Aceh hingga akhirnya penjajah lari pulang tunggang-langgang ke asalnya, mengakui keperkasaan Aceh. Lantas, setelah pen­jajah itu pulang ke asalnya, apa yang tersisa dari sebuah peninggalannya?

Sebut saja salah satu penjajah Aceh adalah bangsa Portugis. Menurut catatan sejarah, bangsa Eropa itu men­jajah Aceh terutama di pantai barat Aceh, tepatnya Lamno. Seperti bangsa Eropa penjajah lainnya (Belanda dan Ing­gris), Portugis juga memainkan taktiknya dengan mencoba merebut hati orang Aceh. Pembauran kedua etnis ini pun terjadi. Orang Aceh ada yang dinikahi oleh orang Portugis, lalu mempunyai keturunan. Setelah Portugis berhasil dika­lahkan Aceh hingga kembali ke asalnya, yakni Eropa, ketu­runan Portugis itu ada yang tertinggal di Aceh. Kendati ada orang Aceh yang dinikahi oleh bangsa Barat itu atas nama cinta, istri dan keturunannya tetap ditinggalkan di Aceh. Peninggalan inilah yang membuat Lamno atau disebut juga dengan Nanggroe Daya, terkenal dengan si mata biru atau dara Portugis. Tak ayal, sebagian orang berpendapat, jika in­gin melihat bangsa Barat turunan, datang saja ke Lamno, di samping ada pantai dan pemandangan yang indah di situ.

Umumnya, orang-orang mata biru ini sangat mirip dengan orang Eropa. Bukan hanya matanya yang biru, kulit­nya juga putih serupa kulit orang Barat. Seiring waktu yang terus berjalan, perkawinan antarsuku semakin meluas. Keturunan si mata biru pun menikah dengan orang Aceh dari daerah lain dan mungkin dengan bukan orang Aceh. Pertanyaannya sekarang, masihkah ada keturunan Portugis tersebut di Aceh?

Beberapa waktu lalu, saya dan teman pergi ke Lamno, ke tempat keturunan Portugis itu menetap. Di sana, saya mencoba mengamati sekeliling, baik orang yang melintas maupun yang duduk di rumah atau di warung kopi. Heran! Tiga puluh menit menelusuri Lamno, belum saya temukan juga si mata biru.

Imeum mukim Lamno, Teungku Tantawi, menunjuk sebuah rumah. “Rumah itu ada mata birunya,” kata Tan­tawi.

Saya menoleh ke arah yang ditunjuk. Di serambi de­pan rumah itu terlihat empat orang anak kecil. Kalau boleh ditaksir, usia mereka masih Balita (di bawah lima tahun). “Lihat saja keempat anak itu. Yang nomor dua dan nomor tiga berkulit putih, rambutnya juga seperti bule. Matanya biru. Sementara anak tertua dan terbungsu, persis seperti keturunan Aceh asli kan?” tutur Tantawi.

Menurut lelaki 70 tahun itu, keturunan mata biru di Lamno banyak hilang saat musibah tsunami. Pasalnya, tem­pat tinggal mereka persis di tepi laut. Di samping itu, perkaw­inan antara keturunan mata biru dengan orang-orang pen­datang semisal orang Aceh dari daerah lain, juga menjadi salah satu penyebab keturunan Portugis ini berkurang.

Tempat-tempat yang banyak dihuni komunitas mata biru, seperti daerah Kuala Onga, Kuala Daya, Lambeuso, dan Keuluang, merupakan tempat yang disebutkan oleh Tan­tawi sebagai kawasan imbas tsunami paling parah. “Nyan ke nyan nyang tinggai, ka hana asli lé. Kadang-kadang na aneuk mata biru, ôkjih itam. Leuh nyan, na cit nyang hi ure­ueng Aceh mamandum rupajih,” katanya.

“Saya ingat, ada satu orang yang tinggal di Minisaweu. Di sana ada seorang lelaki tua yang kerap disapa Haji Tet, satu lagi di Lamme. Hanya itu yang tersisa. Ya, itu yang saya ketahui,” ujar Tantawi. “Lainnya, habis diambil tsunami.”

Hampir senada dengan Tantawi, camat Lamno, Jaddal Husaini, menuturkan bahwa keturunan bangsa Eropa itu sebelum tsunami dapat ditemui di beberapa wilayah, yakni desa Lambeuso, Alue Mie, Jeumarem, Janggot, Ujong Uloh, Kuala Ongan, dan Mukhan. Namun, setelah tsunami, kata Jaddal, keturunan itu mulai sulit ditemukan. Kendati de­mikian, katanya, pihak kecamatan tidak tinggal diam demi menjaga dan melindungi mereka. Jaddal mulai melakukan pendataan penduduk pascatsunami. Hanya saja, menurut Husaini, sulit melakukan pendataan terhadap si mata biru.

“Masalahnya adalah ketika kita masuk ke kampung-kampung tempat keturunan Portugis itu, mereka lari. Entah mengapa mereka selalu menghindar saat hendak didata,” tutur Husaini, setengah bertanya.


Selepas berbincang-bincang dengan Jaddal, saya dan Erwin kembali melanjutkan perjalanan. Matahari nyaris te­pat di atas kepala kala itu. Kami menyusuri jalan setapak dengan berjalan kaki. Dari kejauhan terlihat sebuah jambô (gubuk) kupi. Kami mendekatinya. Jambo itu berarsitek kayu, beratap daun rumbia. Di warung kopi kecil itu ada sekitar delapan orang, tiga di antaranya saya taksir sudah uzur. Ke­pada bapak-bapak itu saya bertanya tentang keberadaan si mata biru. Jawabannya persis sama seperti apa yang sudah dikatakan imeum mukim dan camat. “Kurang tahu, nyaris hilang setelah tsunami,” itulah jawaban mereka.

Saat kami sedang asyik menikmati angin lembut siang itu sambil berbincang ringan, dari kejauhan terlihat seorang lelaki jangkung mendekat. “Sama dia saja kalian tanya kalau memang mau mendapatkan informasi lebih banyak tentang keturunan Portugis,” kata Saleh, salah seorang pengunjung warung tersebut.

Saya memperhatikan dengan saksama lelaki yang di­tunjuk Saleh. Samakin lama, lelaki itu semakin mendekat.

Agaknya dia juga hendak singgah di warung ini. Dia kemu­dian duduk dengan menghadap ke arah laut. Namanya Ja­maluddin. Dia mengatakan memiliki tinggi badan 185 senti­meter. Umurnya belum terlalu tua, “Baru empat puluhan,” katanya, sembari tersenyum.

Bagian hitam matanya terlihat kebiru-biruan, sedan­gkan yang bagian putihnya terlihat agak coklat. Sekilas dia seperti Jose Maurinho, mantan Manajer Klub kaya di Ing­gris, Chelsea. Sungguh, kulitnya yang putih kemerah-mer­ahan memperlihatkan dengan jelas bulu-bulu di tangan Ja­maluddin. Entah karena kulitnya yang putih itu, dia disapa akrab dengan sebutan “Bang Puteh”.

Bang Puteh adalah salah seorang keturunan Portugis. Kendati dia merupakan keturunan bangsa Eropa itu, dia mengaku tidak tahu benar tentang silsilah keluarganya. Dia juga tak hapal kebiasaan Portugis. “Saya hanya memegang adat-istiadat Aceh sebagai pegangan saya di sini,” ucapnya.

Bang Puteh juga mengatakan bahwa tidak semua anaknya memiliki ciri sama. Kata dia, dua mirip orang Aceh asli, dua di antaranya mirip bangsa Portugis. “Hal ini sama saja dengan empat orang anak yang kalian katakan sudah melihatnya di Desa Leupe. Anak saya, Rauzatul Jannah, enam tahun, dan Nurul Khamiran yang masih 2,5 tahun, sangat mirip dengan orang Barat. Tapi, dua lagi, yang tertu­anya, sangat kental dengan karakter orang Aceh pada um­umnya,” ujar Bang Puteh.

Dari Bang Puteh, saya mengetahui bahwa keturunan Portugis yang lari saat didata seperti kata camat tadi sebe­narnya bukan karena takut. “Mereka hanya malu. Masalah malu, tidak jelas, apakah karena mereka tidak mirip dengan orang Aceh kebanyakan atau karena apa,” kata Bang Puteh, menggeleng-gelengkan kepalanya.

Saya teringat komentar seorang mahasiswa di Fakul­tas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, yang saya jumpai belum lama ini. “Orang-orang keturunan Portugis itu terkesan hanya mau bergaul dengan dia dia aja. Itu makanya susah menelusuri tentang mereka,” kata Farah Fitriah, mahasiswa angkatan 2005 di Jurusan Bahasa Indo­nesia itu, saat saya tanya tentang mata biru di kampung­nya.

Lain Farah, lain pula pendapat Teungku M. Yahya Wa­hab. Dia adalah salah seorang Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh Jaya. Saya bertemu dengan Yahya saat dia mengunjungi pengungsi koran tsunami di Lamno tahun 2005 lalu. Yahya juga asal Lamno. “Dara Portugis di Lamno pada umumnya berparas cantik. Namun, mereka pemalu. Jika bertemu dengan orang di luar komunitas mereka, apal­agi yang belum mereka kenal sama sekali, mereka cend­erung sembunyi.”

Menurut Yahya, karena sifat pemalu itulah membuat mereka terkesan eksklusif. Hal ini pula, kata dia, yang me­nyebabkan komunitas Portugis di Lamno itu lebih senang menikah dengan sesama komunitas mereka. “Namun, be­lakangan sudah ada juga di antara mereka yang mau diper­sunting orang luar,” lanjut Yahya.


Sumber : atjehcyber.tk

"Bangsa Aceh" di Paraguay

Agaknya kegemaran 'bangsa' Aceh 'menaklukkan' dunia sepertinya bukan isapan jempol belaka. Di Paraguay, misalnya, anda bisa melihat langsung suku Aceh ini beranak pinak di benua Amerika Latin itu.

Tentu saja fakta ini mengejutkan. Soalnya, selama ini tidak ada informasi tentang adanya komunitas 'bangsa' Aceh, tinggal dan menetap berjarak ribuan mil dari tanoh Aceh.

Publik hanya tahu komunitas suku Aceh, berdiam di sejumlah negara bagian di Malaysia. Saking familiarnya, ada sejumlah daerah yang diberi nama sama seperti di Aceh. Misalnya Kampung Keudah dan lainnya. Kecuali itu, tidak sedikit orang Aceh yang lama sekali menjadi warga negara Malaysia, menjadi pejabat tinggi pula di negeri jiran itu.

Hubungan suku Aceh dan Malaysia ibarat sebuah keluarga. Benar saja, saat gempa dan tsunami melumat bumi Aceh, Pemerintah Malaysia, membuka "pintu" bagi warga Aceh tinggal menetap di Malaysia, walau hanya dengan "cap jempol", tanpa mengantongi identitas yang lazim.

Selain Malaysia, komunitas 'bangsa' Aceh banyak menetap dan menjadi warga negara Swedia. Di negeri ini, T. Hasan Di Tiro, tokoh yang paling dicari semasa rezim represif berkuasa, mengibarkan perlawanan hampir 30 tahun dengan Pemerintah Indonesia.

Kini cucu pejuang nasional T. Chik Di Tiro itu mulai sepuh termakan usia. Ia tinggal di sebuah flat di sebuah kawasan yang dihuni oleh 'bangsa' Aceh di sana.

Bagaimana di Paraguay? Andai saja Gubernur Pemerintahan Aceh yang baru, Irwandi Yusuf tidak melawat ke negeri itu, maka tidak diketahui kalau di Paraguay ada suku Aceh yang berdomisili di negara itu.
Boleh dibilang, Senin (19/7) hari bersejarah. Pada hari itu, Gubernur Irwandi Yusuf bertemu dengan pimpinan suku Aceh Paraguay di Kantor Kementerian Luar Negeri Paraguay.

Rupanya, pertemuan itu diakui Dr. Augusto Fagel Pedrozo, ahli antropologi budaya yang juga Presiden Del Indi, telah lama diimpikannya saat bersama rekan lainnya melakukan penelitian mendalam tentang keberadaan suku Aceh di Paraguay.

"Selama ini kami telah berupaya untuk mempertemukan suku Aceh di Paraguay dengan Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam," ungkap Augusto Fagel.

Untuk memujudkan pertemuan dibuat skenario. Langkah awal yang ditempuh menyampaikan niat itu kepada pihak Kementerian Luar Negeri Paraguay. Kemudian rencana itu disampaikan kepada Kepala Perwakilan Pemerintahan RI di Argentina.

Momen Pagelaran Seni Budaya Aceh di Asuncion, semakin mendekatkan impian Dr Augusto Figer cs. "Kami menilai langkah untuk mempertemukan dua kelompok bersaudara sangat tepat seperti yang terjadi hari ini," kata Dr. Augusto dalam bahasa Spanyol yang didampingi Wakil Menlu Paraguay Bidang Politik Bilateral, Ceferino Valdez Peralta dan Direktur Asia dan Afrika, Gustavo Lopez Bello.

Sementara itu Gubernur NAD, Irwandi Yusuf dalam acara pertemuan itu mengatakan, "dengan senang hati kami telah bertemu dengan pimpinan suku Aceh di Paraguay menyambut antusiasme tinggi bertemu saudaranya di negeri jauh. "Tapi, Irwandi tadinya tidak mengetahui tentang keberadaan suku Aceh di Paraguay. "Kami baru diberi tahu oleh pihak KBRI Argentina menjelang keberangkatan ke sini, ada suku Aceh di Paraguay," kata Irwandi Yusuf.

Gubernur di sela pertemuan tak lupa mengundang para pimpinan suku Aceh di Paraguay untuk datang ke Nanggroe Aceh Darussalam meninjau negeri asal, yang telah diting galkan dalam waktu yang sudah cukup lama.

Irwandi Yusuf berharap kepada tim peneliti yang telah melakukan pengkajian tentang keberadaan suku Aceh di Paraguay untuk meneliti lebih jauh lagi tentang kesamaan-kesamaan budaya antara suku Aceh di sini dengan masyarakat Aceh di Sumatera.

"Pertemuan hari ini kami tidak merasa asing. Seolah-olah berada di kampung sendiri. Saya perhatikan sosok tubuh suku Aceh di sini banyak kesamaan dengan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam," sebut Gubernur Aceh ini.

Misalnya, dari segi dialeg bahasa, wanita suka memakai cincin dan aksesoris lainnya. Kalau boleh saya mengatakan pertemuan hari ini adalah pertemuan antara adik dan kakak yang sudah lama terpisah dari kampung halaman, katanya.

Gubernur NAD dalam pertemuan itu didampingi Kadis Kebudayaan Provinsi NAD, Drs. Adnan Majid, Dirjen Deplu RI Amerika dan Eropa Eddy Hariadhi serta Kepala Perwakilan RI untuk Argentina dan Paraguay, Sunten Z.Manurung.

Juru bicara suku Aceh, Paraguay Maria Luisa Duarte, mengakui suku Aceh di Paraguay berasal dari Aceh, Sumatera. Soal kapan persisnya dan kenapa menetap di Paraguay, kata Maria akan dilakukan penelitian lebih jauh lagi. "Pertemuan hari ini dengan pihak Pemerintah Nanggroe Aceh akan lebih terjalin hubungan yang lebih mendalam lagi," pintanya.

Setelah ini diharapkan ada tindaklanjut untuk lebih mempererat hubungan kedua komponen masyarakat Aceh ini. Maria menambahkan, "informasi tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam 2004 lalu selalu menjadi ingatan kami walaupun kami belum melihat langsung bagaimana dahsyatnya musibah yang terjadi kepada saudara-saudara kami di Aceh, Sumatera."

Sekretaris Tim Promosi Seni Budaya Aceh, Aidi Kamal melalui e-mailnya kepada Waspada dari Asuncion, Paraguay melaporkan, pimpinan suku Aceh di Paraguay yang hadir dalam pertemuan itu antara lain, Maria Luisa Duarte dan Alba Portillo Maximo dari Propinsi Central, Margarita Mbywangi, Antonio Pepagi dan Roberto Achepurangi dari Provinsi Canindeyu dan Ramona Takuarangi dari Provinsi Caazapa.

Aidi Kamal yang juga Staf Biro Keistimewaan Aceh Setda NAD menambahkan, suku Aceh di Paraguay sekarang berjumlah 1.300 orang yang tersebar di tiga provinsi di Paraguay, yaitu Provinsi Central, Provinsi Canindeyu dan Provinsi Caazapa. "Mereka sebagian besar berprofesi sebagai pedagang dan petani," kata Aidi Kamal.

Di akhir pertemuan, Gubernur NAD menyerahkan cenderamata berupa rencong kepada pimpinan suku Aceh di Paraguay yang diterima Maria Luisa Duarte. Sedangkan pimpinan suku Aceh menyerahkan cenderamata pada Gubernur NAD hasil kerajinan mereka berupa ikan yang terukir dari kayu.

Sumber : acehpedia.org

Sabtu, 02 Juli 2011

Anak Terlantar di Aceh Utara 3.778 Jiwa

Lhokseumawe, (ANTARA) - Jumlah anak terlantar di Aceh Utara, Provinsi Aceh, saat ini mencapai 3.778 jiwa, akibat kepedulian orang tua yang minim.

Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Kabupaten Aceh Utara, Murthada, di Lhokseumawe, Juma,t menyebutkan, sebagian besar anak terlantar tersebut terdapat di Kecamatan Lhoksukon dan Baktiya Barat.

Ia menyatakan, begitu banyak anak terlantar di Aceh Utara, selain disebabkan minim perhatian orang tua, juga dipengaruhi faktor lingkungan dan berasal dari keluarga broken home.

Dikatakan, sejumlah anak terlantar di Aceh Utara, tidak mesti tidur di terminal bus ataupun di emperan toko, bahkan sebagian besar ada yang pulang ke rumah, namun sudah tidak dihiraukan lagi oleh orang tuanya.

Aktifitas pendidikan sekolah maupun pendidikan agama sudah tidak dijalani lagi oleh anak terlantar tersebut.

Bahkan, katanya lagi, sebagian anak terlantar tersebut ada yang dieksploitasi pihak-pihak tertentu untuk dijadikan pengemis atau lainnya sebagainya.

"Kami ada menerima informasi bahwa anak-anak terlantar tersebut, ada yang mengkoordinirnya untuk dijadikan pengemis," ungkap Murtadha.

Terhadap upaya penanganan sejumlah anak terlantar tersebut, ia menyatakan, pihaknya mengaku tidak bisa berbuat banyak, karena sudah tiga tahun berlalu, anggaran yang diusulkan untuk penanganan masalah penyandang sosial tersebut tidak ada realisasi.

"Padahal, program penanganan anak terlantar dan pengemis sudah kami buat dan diajukan ke Bappeda dan DPRK Aceh Utara. Namun, sudah tiga tahun kami ajukan tak ada realisasinya. Makanya kami tidak bisa berbuat banyak untuk penanganan masalah sosial ini," katanya.




Sumber : Antaranews

DPRA Versus MK

SERAMBI Indonesia (21 Juni 2011), melansir sebuah pertemuan cerdas telah dilakukan oleh Komisi A DPRA. Dalam pertemuan yang berlangsung di Gedung Serbaguna DPRA itu dihasilkan tiga putusan, yaitu (1) meminta eksekutif menunda penyaluran dana pilkada ke Komisi Independen Pemilihan, (2) menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan calon independen untuk maju dalam Pilkada 2011, dan (3) meminta KIP dibubarkan karena komisi tersebut menetapkan sepihak tahapan pelaksanaan pilkada Aceh tanpa berkoordinasi dengan DPRA.

Bagi saya yang berlatarbelakang seorang akademisi banyak pertanyaan yang mucul di balik keputusan ini. Salah satu yang cukup menarik untuk dikupas adalah putusan kedua yang menolak putusan MK.

Sepertinya, logika berpikir saya belum mampu menjangkau logika hukum yang dipakai oleh DPRA untuk menolak putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010 yang telah melegalkan calon independen untuk maju dalam pilkada 2011 ini. Mungkin saja saya terlalu naif untuk memahami dunia politik ini. Sebagaimana sudah kita maklumi bahwa dalam sistem hukum tidak mungkin aturan yang lebih rendah bisa menganulir keputusan yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, tidak mungkin sebuah peraturan daerah bisa menganulir keputusan MK yang sudah berkekuatan hukum tetap. Semua kita sudah maklum bahwa putusan MK itu bersifat final dan tidak ada lagi upaya hukum yang bisa ditempuh untuk itu (Pasal 24C UUD 1945).

Untuk mengokohkan hal tersebut, Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan tegas menyebutkan bahwa putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum (Pasal 47). Ini artinya putusan MK yang membolehkan calon independen di Aceh sudah final dan mengikat semua pihak termasuk lembaga DPRA yang hari ini sedang membahas rancangan Qanun Pilkada 2011.

Kalau melihat dari segi logika hukum, seharusnya legislatif dan eksekutif hari ini hanya tinggal melaksanakan saja putusan MK tersebut karena perdebatan seputar calon independen sudah selesai dan final. Tentu bukan waktunya lagi untuk mempersoalkan materi yang terkandung dalam pasal 256 UUPA yang membolehkan calon independen untuk maju hanya sekali saja karena semuanya sudah terjawab dengan keputusan MK di atas. Namun kalau hari ini hal tersebut juga masih menjadi perdebatan, menurut hemat saya, sepertinya kita mengambil langkah mundur. Saya pikir sudah saatnya lembaga legislatif dan eksekutif mengimplementasi visi visionernya untuk pembangunan Aceh yang mampu meneropong jauh ke depan dengan tidak terlalu larut dalam memperdebatkan hal-hal yang seperti ini.

Intinya, calon independen siapa pun orangnya dan dari mana pun asalnya selama yang bersangkutan memenuhi persyaratan untuk itu perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi.

Ironis tentunya kalau kita menutup pintu bagi calon independen untuk maju. Hal itu sama saja dengan membendung nilai-nilai demokrasi yang ada. Bukankah dalam negara demokrasi ini semua orang berhak untuk memilih dan dipilih? Bahkan hukum nasional sekarang ini melalui UU No. 12 Tahun 2008 telah membolehkan calon independen untuk maju dalam pesta demokrasi. Bagi yang hasrat politiknya bisa tersalurkan lewat partai politik, silahkan maju dengan menggunakan kenderaan politik yang ada. Bagi yang tidak masuk partai politik tentu jalur independen menjadi pilihannya.

Ketentuan ini berlaku secara nasional tanpa terkecuali Aceh. Untuk kasus Aceh memang agak sedikit unik karena dulunya calon indepeden yang diatur dalam Pasal 256 UUPA hanya diperbolehkan untuk sekali saja. Namun dengan keluarnya putusan MK di atas ketentuan pasal tersebut menjadi tidak berlaku lagi. Dengan demikian calon independen tetap diperbolehkan maju dalam pesta demokrasi dengan mengacu pada ketentuan UU No. 12 Tahun 2008 di atas. Saya pikir sudah saatnya bagi legislatif dan eksekutif Aceh untuk duduk semeja dan sebahu memikirkan jalan yang terbaik untuk mengimplementasikan printah undang-undang ini dengan mengenyampingkan segala kepentingan yang ada. 

Bisikan politik Vs hukum
Seringkali hampir setiap menjelang musim pemilu tiba, bisikan-bisikan politik bermunculan di mana-mana. Bisikan-bisikan tersebut kadangkala lebih dominan daripada ketentuan hukum yang ada. Dalam konteks Aceh hari ini, saya jadi bertanya apakah bisikan-bisikan politik dalam mengusung ide boleh tidaknya calon independen untuk maju dalam pilkada ke depan juga ikut mewarnai? Tentu jawabanya ada pada elite politik di sana. Perlu dicatat, masyarakat Aceh dari dulu hingga kini tidaklah buta politik. Walaupun tidak semua kita  berperan sebagai pemain, namun kita tahu apa yang sedang terjadi di dunia legislatif hari ini.

Dalam dunia politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan belaka. Selama para pihak masih berada dalam lingkaran kepentingan yang sama, selama itu pula mereka tetap menjadi kawan. Manakala kepentingannya mulai berbeda, maka teman yang tadinya satu selimut dengan cepat berubah menjadi lawan. Tepat sekali rasanya apa yang dikatakan oleh Machiavelli yaitu homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya). Dalam dunia perpolitikan tidak jarang ucapan Machiavelli ini menjadi kenyataan dengan menempuh segala cara untuk mencapai tujuan. Bahkan menurut Machiavelli ketentuan hukumpun kadang kala dijadikan kenderaan politiknya bukan untuk dijalankan. Kita haqqul yakin bahwa para elite politik kita sama sekali tidak punya tendisi ke arah itu.

Harapan ke depan
Kita berharap para elite politik Aceh bisa berpikir lebih jernih dalam menyelesaikan kekisruhan politik ini demi berjalannya pesta demokrasi yang sangat dinantikan oleh rakyat Aceh. Kita berharap banyak kepada wakil rakyat untuk mengedepankan kepentingan rakyat Aceh yang lebih besar dalam setiap keputusannya dibandingkan kepentingan pribadi dan kelompok yang ada di sekitarnya.

* Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Unsyiah. Kandidat Doktor di Monash University Australia.(Azhari Yahya)


Sumber : Serambi Indonesia

Jumat, 01 Juli 2011

Hukum Memakai Kalung Bagi Laki-Laki

Pertanyaan : Bagaimana hukum memakai kalung bagi laki-laki?

Jawaban: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam telah mengaharamkan dan melaknat kaum laki-laki memekai kalung yang merupakan asesoris kaum wanita, dan merupakan penyerupaan terhadap kaum wanita. Pengharaman dan dosanya bertambah berat, jika kalung itu terbuat dari emas, karena PERTAMA, berdasarkan Ijma' (Haram bagi laki-laki memakai kalung emas) dan yang KEDUA, karena ia menyerupai kaum wanita. Kemudian kejelekannya akan semakin bertambah lagi jika kalung itu berbentuk bintang atau raja, apalabi berbentuk salib atau terdapat gambar salib didalamnya, sehingga kalung tersebut diharamkan, baikb laki maupun perempuan.


(Fatawa Mu'ashirah Syaikh Ibnu Utsaimin-fatawa terkini hal.24 jilid 3)

Hubungi Saya

Alamat   : Atjeh Darussalam
Email     :  firdy.aceh@gmail.com

Kamis, 30 Juni 2011

Sudah Final (Muzakir Manaf:)


BANDA ACEH - Ketua Umum Dewan Pimpinan Aceh (DPA) Partai Aceh Muzakir Manaf mengatakan, Qanun Pilkada yang dihasilkan DPRA melalui sidang paripurna, Selasa (28/6), adalah hasil kesepakatan bersama dalam lembaga politik, yaitu legislatif dan eksekutif. Karenanya, tidak ada alasan bagi pihak eksekutif untuk tidak mengesahkan qanun ini.

Melalui siaran pers kepada Serambi Rabu (29/6), Muzakir Manaf yang akrab disapa Mualim ini mengatakan, keputusan tidak adanya calon independen sudah final ditetapkan oleh DPRA, melalui proses yang berlangsung demokratis.

“Jelas hasil sidang rakyat kemarin menunjukkan bahwa tidak ada satu pun yang menginginkan adanya calon independen dari anggota dewan, sebagai wakil rakyat yang merupakan representasi dari rakyat Aceh, baik dari partai nasional maupun partai lokal,” tulis Mualim dalam siaran pers yang dikirim Jubir PA Pusat, Fachrul Razi.

DPA PA, kata Mualim, menyampaikan terima kasih kepada seluruh anggota DPRA, khususnya dari Partai Aceh atas amanah rakyat dan tanggung jawab perjuangan yang diemban sebagai wakil rakyat di DPRA.

“Kami juga mengucapkan terima kasih atas pelaksanaan aksi menolak independen oleh adik-adik mahasiswa yang didukung oleh rakyat pada saat paripurna berlangsung. Tidak ada insiden yang terjadi, dan semua berjalan secara aman dan sukses. Demikian juga kepada pihak keamanan yang senantiasa menjaga keamanan pada aksi yang dilakukan oleh rakyat dan mahasiswa kemarin,” kata dia.

Ditegaskan, Partai Aceh tetap berkomitmen untuk menjaga perdamaian dan memperjuangkan MoU Helsinki untuk masa depan Aceh, sesuai dengan aturan hukum dan konstitusi yang sudah disepakati oleh pihak Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. “Berbagai aturan hukum yang telah dikeluarkan oleh pusat sangat kami junjung tinggi sejauh tidak mengurangi kewenangan dan kekhususan Aceh,” demikian Muzakir Manaf.(nal)

Selasa, 10 Mei 2011

Ulasan Percakapan Soekarno - Daud Beureueh

Jauh sebelum NKRI berdiri, Aceh Darussalam telah berdaulat sebagai sebuah kerajaan merdeka dan bahkan menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Hal ini sungguh-sungguh disadari Soekarno sehingga dia mengajak dan membujuk Muslim Aceh untuk mau bergabung dengan rakyat Indonesia guna melawan penjajah Belanda.

Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno dengan sengaja menemui tokoh Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan sebutan “Kakanda (kakak)” dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik dalam catatan sejarah :

auh sebelum NKRI berdiri, Aceh Darussalam telah berdaulat sebagai sebuah kerajaan merdeka dan bahkan menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Hal ini sungguh-sungguh disadari Soekarno sehingga dia mengajak dan membujuk Muslim Aceh untuk mau bergabung dengan rakyat Indonesia guna melawan penjajah Belanda.

Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno dengan sengaja menemui tokoh Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan sebutan “Kakanda (kakak)” dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik dalam catatan sejarah :


Soekarno

Presiden Soekarno : “Saya minta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.”

Daud Beureueh : “Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid.”

Presiden Soekarno : “Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Teungku Cik Di Tiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau syahid.”

Daud Beureueh : “Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan Syariat Islam di dalam daerahnya.”

Presiden Soekarno : “Mengenai hal itu Kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam.”

Daud Beureueh : “Maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden.”

Presiden Soekarno : “Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan Kakak itu.”

Daud Beureueh : “Alhamdulillah. Atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon (sambil menyodorkan secarik kertas kepada presiden) sudi kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas ini.”


Daud Beureu'eh

Mendengar ucapan Daud Beureueh itu Bung Karno langsung menangis terisak-isak. Airmata yang mengalir telah membasahi bajunya. Dalam keadaan sesenggukan,

Soekarno berkata, : “Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden. Apa gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya.” Dengan tetap tenang, Daud Beureueh menjawab, “Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang.”

Sambil menyeka airmatanya, Bung Karno mengucap janji dan bersumpah,

Bung Karno bersumpah : “Waallah Billah (Demi Allah), kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam. Dan Waallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syariat Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?”

Daud Beureueh menjawab, : “Saya tidak ragu Saudara Presiden. Sekali lagi, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Saudara Presiden.”

Dalam suatu wawancara yang dilakukan M. Nur El Ibrahimy dengan Daud Beureueh, Daud Beureueh menyatakan bahwa melihat Bung Karno menangis terisak-isak, dirinya tidak sampai hati lagi untuk bersikeras meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji presiden itu.

Soekarno mengucapkan janji tersebut pada tahun 1948. Setahun kemudian Acehbersedia dijadikan satu provinsi sebagai bagian dari NKRI. Namun pada tahun 1951, belum kering bibir mengucap, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara.

Jelas, ini menimbulkan sakit hati rakyat Aceh. Aceh yang porak-poranda setelah berperang cukup lama melawan Belanda dan kemudian Jepang, lalu menguras dan menghibahkan seluruh kekayaannya demi mempertahankan keberadaan Republik Indonesia tanpa pamrih, oleh pemerintah pusat bukannya dibangun dan ditata kembali malah dibiarkan terbengkalai.

Bukan itu saja, hak untuk mengurus diri sendiri pun akhirnya dicabut. Rumah-rumah rakyat, dayah-dayah, meunasah-meunasah, dan sebagainya yang hancur karena peperangan melawan penjajah dibiarkan porak-poranda. Bung Karno telahmenjilat ludahnya sendiri dan mengkhianati janji yang telah diucapkannyaatas nama Allah. Kenyataan ini oleh rakyat Aceh dianggap sebagai kesalahan yang tidak pernah termaafkan.


Mohammad Said, Pengarang Buku "Aceh Sepanjang Abad Jilid Ke Dua"

Selasa, 26 April 2011

Sultan iskandar muda memancung anaknya sendiri

“Mate aneuk meupat jrat, mate adat pat tamita” (Mati anak jelas kuburan, mati adat-istiadat tak akan jelas keberadaannya). Itu ucapan Iskandar Muda, sambil berdiri di depan dewan hakim yang terhormat. Mukanya merah padam, ketika putra mahkotanya divonis telah melakukan perbuatan mesum dengan seorang istri pejabat istana. Sekiranya tahun 1629 itu, putranya terbukti berzina, tinggal menentukan hukuman apa.


Para hakim tentu binggung, menentukan dera sesudah vonis. Kali ini yang duduk di kursi pesakitan bukan hamba sahaya, tapi putra mahkota, kesayangan Raja Aceh yang berjuluk panjang: Seri Sultan Perkasa Alam Johan Berdaulat. Yang telah berhasil menaklukkan banyak wilayah, membawa Aceh kesohor di dunia dalam masanya memerintah, 1607 sampai 1636 Masehi. 

Binggung hakim terbaca sultan, “pancung,” serunya lantang. Semua terkesima, tak kuasa membantah titah. Meurah Pupok, sang putra mahkota ditahan, menunggu hari pelaksanaan. 
Para pejabat tinggi istana berusaha membujuk Iskandar, meminta keringanan hukuman, minimal sang putra tak perlu mati. Permaisuri Putroe Phang pun dipasang ikut membujuk. Sultan bergeming, katanya malu pada rakyat dan Tuhan. “Kalau rakyat dirajam, anak saya harus dipancung,” katanya kala itu. 

Begitulah, karena mesum. Sampai hari H, tak ada algojo yang berani menyentuh tubuh Meurah, Sang Sultan lah yang memancung anaknya sendiri di depan para rakyat yang berkumpul di alun-alun kerajaan, depan Masjid Raya Baiturahman. Meurah Pupok kemudian dikebumikan asing di sekitar itu, sampai sekarang jrat (kuburan)nya masih terlihat, di antara kuburan pasukan Belanda yang mati belakangan dalam perang mereka di Aceh. Kerkhoff.
Mesum memang kasus unik semenjak dulu. Gelar yang ditabalkan untuk pasangan yang berperilaku seks di luar nikah, sesudah ikatan itu ada, label itu tentu hilang. 

Hampir semua agama Tuhan melarangnya, lalu sebagian negara mentransfernya dalam hukum kenegaraan. Kendati banyak juga wilayah yang kemudian menganggapnya sebagai hak azasi, kalau pelakunya atas dasar cinta, atau sebagai profesi mencari uang, asal jangan mesum lewat jalur peksaan alias perkosaan. 

Di Aceh, mesum dipandang hina, tabu, terkutuk dan pelakunya sekarang bisa dihukum cambuk. Nah... itu pun kalau ketahuan, kalau tidak, maka si mesum bisa sebebasnya melenggang kangkung. Bagi yang ketahuan, bisa juga malu seumur hidup, puluhan gelar akan melekat bersamanya; Abang Cambuk, Si Cabul, Si Pajoh Mangat sampai Si Mesum. Kalau pejabat yang melakukannya maka akan digelar Pejabat Mesum, kalau masiswa dilabeli Mahasiswa Mesum. 

Begitulah... kadang yang menggelarinya atau yang sibuk krasak-krusuk juga pernah melanggar larangan itu, hanya saja belum ketahuan. Kalau ketahuan, dia juga akan bernasib sama. 

Liat saja ketika petugas Wilayatul Hisbah (Polisi Syariah) yang punya tugas memantau soal hukum Syariat Islam di Aceh, terkena kasus ini medio April lalu. Pangkatnya langsung saja disandangkan, ‘Si WH Mesum’. 

Soal ini, Belanda saat mencoba menaklukkan Aceh pernah melabeli orang-orang di negeri ini sebagai ‘orang yang bejat moral’. Nama ini terkait dengan tuduhan Belanda kepada orang Aceh yang sering melakukan mesum bahkan dengan anak di bawah umur, mengisap madat, dan memotong penis lawan-lawan mereka setelah mati. 

Aneh tuduhan itu dilakukan oleh orang yang juga bejat, menyimpan gundik-gundik dan berperilaku seks bebas bahkan pemaksaan dengan wanita-wanita pribumi. Tenyata ada ‘udang di balik batu’, Belanda ingin memecah-belahkan kaum ulama dan pemimpin di Aceh. Satu lagi, ingin menyemangati prajurit mereka untuk melawan pejuang Aceh yang jago perang. 

Naar Atchin, de kraton! Daar zetelt het kwaad. 
Schuilt ontrouw, broeit zeeroof en smeude verraad.
Roeit uit dat gebroedsel, verneder die klant.
Met Nederlands driekleur ‘beschaving’ geplant.
(Ke Aceh, ke dalam, di sana bercokol kejahatan. Bersembunyi kemunafikan, bersarang perampokan dan pengkhianatan. Enyahkan komplotan, hancurkan perampokan. Tanamkan ‘peradaban’ dengan si tiga warna)

Nukilan sastra karangan Haagsma pada 1877, saat Belanda terus mencari cara mengumpulkan tentara yang mau diberangkatkan ke Aceh. Hasutan itu sebagai kampanye bahwa orang-orang Aceh bejat dan perlu diperangi. 

Lama ‘bejat’ digelar dan dikampanyekan di benua lain. Sampai sebuah penelitian mendalam yang dilakukan Snouck Hurgronje pada tahun 1893 dalam bukunya ‘De Atjehers’ (orang-orang Aceh). Saat itu, belanda baru menyadari, musuh mereka adalah lawan terhormat. Tuduhan mesum dan penghisap madat terhapus.

“Akan tetapi pada waktu itu, ia (Aceh) pun sudah hampir kalah, sedang kita (Belanda) belum lagi sampai sejauh itu,” Paul Van’t Veer menulis dalam bukunya, De Atjeh Oorlog (perang Belanda di Aceh). 

Terlepas dari kisah itu, terlepas dari kepentingan apapun, kisah mesum di Aceh tak ada faktor X. Orang-orang Aceh diakui taat, memegang adat minimal dalam negerinya sendiri. Banyak kalangan mengakuinya, Aceh sebagai Serambi Mekkah, sebagai representasi Islam di Nusantara, sebagai nusantara yang telah lebih dulu mengenal peradaban Islam. 

Kalau ada moral yang bejat, orang tak ragu untuk melihat keturunannya. “Jangan-jangan itu bukan orang Aceh.” Kalau juga asli Aceh, keturunannya masih diperdebatkan. Dikaji berulang kali untuk tetap membuat Aceh terhormat. Fanatik yang telah ada sejak lampau. 

Seorang kawan pernah berkata tentang banyaknya pelaku hubungan terlarang ini di Aceh. “Ah... itu bukan orang Aceh, orang Aceh punya moral yang sangat tinggi, gak mungkin orang Aceh melakukan itu,” katanya. “Saya sendiri tidak berani mengaku orang Aceh,” sambungnya lagi. Aku sempat berpikir, ini sindiran atau kenyataan. Mari kita menilai...

Kita anggap saja kesilapan, dan pada taraf ini siapa yang tidak ingin pada surga dunia? Soal ini, tak pandang bulu: tua-muda, Aceh-non Aceh sama saja. 

Banyak buktinya, ketika pejabat mesum bukan dengan pasangannya, bahkan mengikuti trend merekam adegan. Ketahuan mereka sewot bahkan keluar Aceh. Mahasiswa juga ada yang ikut-ikutan perilaku mesum ini, sesama mereka atas kata cinta. WH pun tak bisa menahan diri, ketularan bapak polisi yang juga tertangkap basah di pojok senja. Banyak lagi dan banyak lagi.... 

‘Serambi Kita Ternyata Mesum Juga’, tulis Azhari, sahabat sastrawan di Komunitas Tikar Pandan. Tak salah, hanya saja kita terlambat mengakuinya dan sibuk mencari cara memadamkan mesum di bara yang panas menyala.

Kuasa mesum memang terlampau kelewat, dan hanya satu rekomendasi tentang ini; kesalahan manusiawi. Sekarang, Aceh makin marak dengan kasus ini. Atau memang dulu yang terlalu disembunyikan, karena dianggap sebagai aib?

Lalu siapa yang salah dalam perilaku mesum di Aceh: hukum cambuk, anak muda, orang tua, arus globalisasi, pendidikan, pejabat, pemerintah, pengangguran atau agama yang kelewat dangkal. Mungkin juga tak ada yang salah, semuanya manusiawi, ketika sebuah generasi mengikuti generasi sebelumnya, soal mesum. 

Soal hukum tunggu dulu, adakah orang tua yang berani memancung anaknya sendiri seperti Iskandar Muda? Kalau pun ternyata ada, pasti dia akan dihukum lagi bahkan dalam kerangkeng Rumah Sakit Jiwa.

Banda Aceh, Medio 2007 (acehkita.com)

Rabu, 20 April 2011

PERBEDAAN SYURA DENGAN DEMOKRASI

1. Syura adalah aturan Ilahi sedangkan demokrasi merupakan aturan orang-orang kafir.

2. Syura dipandang sebagai bagian dari agama sedangkan demokrasi adalah aturan tersendiri.

3. Di dalam syura ada orang-orang yang berakal yaitu Ahlul Halli wal ‘Aqdi (yang berhak bermusyawarah) dari kalangan ulama, ahli fiqih, dan orang-orang yang mempunyai kemampuan spesialisasi dan pengetahuan. Merekalah yang mempunyai kapabilitas untuk menentukan hukum yang disodorkan kepada mereka dengan hukum syariat Islam. Sedangkan aturan demokrasi meliputi orang-orang yang di dalamnya dari seluruh rakyat sampai yang bodoh dan pandir sekalipun.

4. Dalam aturan demokrasi semua orang sama posisinya, misalnya : Orang alim dan bertakwa sama posisinya dengan seorang pelacur, orang shalih sama derajatnya dengan orang yang bejat, dll. Sedangkan dalam syura maka itu terjadi akan tetapi semua diposisikan secara proporsional. Allah berfirman :

“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian), bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS. Al Qalam : 35-36)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama.” (QS. As Sajdah : 18)

KARTINI VS DATU BERU

TERNYATA...... SELAMA INI..... KITA TELAH MENYIMPAN INFO YANG SALAH TENTANG ICON WANITA INDONESIA....


Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?”

Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik 'pengkultusan' R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.

Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.

Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.

Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.

Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.

Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”

Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.

Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).

Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”

Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”

Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”

Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.

Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.

Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.
Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:

“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”
Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam.

Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!... Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).

Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’.

Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.

Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).

Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam.

Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).

Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24).

Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan. [Depok, 20 April 2009/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com


"Kekayaan Aceh Dinikmati Orang Luar"

FKMA (The Atjeh Post- BNA) --- Pemerintah Aceh menyatakan fokus membangun empat sektor ekonomi yakni pertanian, perkebunan, peternakan, kelautan dan perikanan sebagai program andalan untuk memandirikan provinsi ini dari ketergantungan terhadap minyak dan gas alam serta Pemerintah Pusat. Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar mengatakan, empat sektor itu kini sudah dimasukkan ke dalam master plan Aceh sekaligus mewujudkan program percepatan pembangunan perekonomian Indonesia menuju negara maju di 2025. “Empat sektor ini akan saya perjuangkan ke nasional dalam rapat bersama Presiden di Istana Bogor minggu depan, agar mendapat perhatian dari Pemerintah Pusat,” kata Nazar di ruang kerjanya, Selasa (12/4/).

Untuk menggarap empat sektor itu, kata Nazar, butuh dukungan dana dari pemerintah pusat. Apalagi, Aceh belum punya indutri pengolahan (processing) untuk mengolah bahan baku menjadi barang setengah jadi. "Potensinya sangat besar. Jika Pemerintah Aceh dan Pusat serius, saya yakin rakyat bisa sejahtera. Selama ini, dinikmati oleh orang luar, karena di Aceh belum memiliki industri pengolahan,” ujarnya. 

Nazar mencontohkan produksi gabah Aceh yang terus surplus setiap tahun, tapi justru mengalir ke Medan, Sumatera utara. Penyebabnya, harga jual yang lebih tinggi dan belum adanya pabrik pengolahan di Aceh. “Begitu juga dengan perikanan, tiap tahun nelayan luar menangkap berton-ton ikan di perairan Aceh tetapi Aceh tidak mendapat apa-apa,” kata dia.

Empat sektor  yang diajukan  ke Pusat, kata Nazar, jika disetujui maka masing-masing sektor akan mendapat anggaran sampai Rp1 triliyun tiap tahun. “Jika ini berhasil, tahun 2013 Aceh akan  menjadi daerah yang mandiri, tidak lagi tergantung sama luar, khususnya Medan,” ujarnya

Sabtu, 16 April 2011

Sekolah Obama di Menteng Dahulu Milik Freemasonry

Ada fakta unik mengenai jatidiri Obama yang tidak kita ketahui semua. “Buku Kenang-kenangan Freemasonry di Hindia Belanda 1767-1917” yang diterbitkan atas prakarsa tiga loge besar di Jawa menyatakan bahwa sekolah di Jalan Besuki (besukiweg) tempat Obama belajar dahulu dimiliki oleh freemasonry. SDN Menteng 01 atau akrab dengan sebutan SDN Besuki kala itu berada di bawah naungan Carpentier Alting Stiching, sebuah Yayasan miliki Freemason yang memiliki perhatian dalam bidang pendidikan.

Carpentier Alting Stiching: Yayasan Freemason

Menurut Arta Wijaya, dalam bukunya “Jaringan Yahudi di Nusantara” (Pustaka Al Kautsar: 2010) Albertus Samuel Carpentier Alting (1837-1915) adalah tokoh masonik yang berada dibalik pendirian sekolah tersebut pada tahun 1902. Kala itu AS. Alting masih melakukan inisiasi tentang pendidikan dengan mendirikan Sekolah Menengah khusus bagi wanita (Hoogere Burgere School/HBS), yang merupakan usaha pendidikan pertama di Hindia Belanda. Jenjang waktu tempuh pendidikan HBS kala itu masih tiga tahun dan sempat mengalami kendala karena kekosongan pendaftar.

Reputasi Alting sebagai seorang pendidik membuatnya terlibat dalam mendirikan berbagai sekolah di dataran Jawa. AS. Alting sendiri adalah alumnus teologi di Universitas Leiden dan memiliki pengaruh kuat dalam jajaran Freemasonry di Hindia Belanda. Selain sebagai pendidik, AS. Alting juga tersohor sebagai pendiri Majalah Mason Hindia dan Loge Agung Provinsial Hindia Belanda serta menjabat Wakil Suhu Agung untuk Hindia Belanda.

Seiring berjalannya waktu, AS. Alting kemudian mendirikan sebuah yayasan yang dinamakan Carpentier Alting Stiching atau disingkat CAS yang bernaung di bawah Ordo Freemasonry Hindia Belanda atau kala itu disebut Ordo van Vrijmetselaren Nederlansche Oost Indie. Lembaga-lembaga pendidikan dibawah yayasan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal sekolah tempat Obama mengenyam pendidikan, sekaligus menunjukkan bagaimana visi Alting ke depannya.

Bukti-bukti itu bisa kita lihat jika berkunjung ke situs CAS http://cas-reunisten.nl/index.htm. Ketika membuka situs tersebut, kita akan dihadapakan langsung pada gambar sekolah di Jalan Besuki tempo dulu. Pada sekolah-sekolah yang diangun AS. Calting diterapkan semngat inklusif dan pluralisme. Sekolah ini tidak mengenal perbedaan agama, semua masyarakat dari segala jenis agama dipersilahkan untuk menimba ilmu.

Lambat laun kerja keras Alting membumikan pendidikan Belanda yang kental nuansa masonik semakin menorehkan kesuksesan. Dalam buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat Hindia Belanda 1764-1962 (Sinar Harapan: 2004), T.H Stevens menyatakan bahwa CAS pada tahun 1952 telah mendapatkan reputasi besar di kalangan Freemasonry.

Yayasan Freemasonry ini mengoleksi lebih dari 1.500 murid yang terbagi dalam Lyceum dengan Middelbare Meisjes School (sekolah menengah untuk perempuan), sebuah Uitgebreid Lager Onderwijs (sekolah menengah pertama) dan tiga sekolah dasar. Para murid merasa senang mengunjung CAS salah satunya dikarenakan model sistem pendidikan modern dan sangat berkiblat ke Barat.

Nono Anwar Makarim, salah seorang pengacara senior pernah menceritakan bagaimana pengalamannya belajar di Carpentier Alting Stichting pada tahun 1958 yang amat bergaya Eropa. Sepeti dikutip Pusat dan Data Analisa Tempo, Nono mengatakan, ''Sejak kecil saya berdiri di dua kultur yang berbeda, satu kaki pada kultur Barat, satu lagi berpijak di kultur Timur.



AS. Carpenter Alting dan Perannya Menyebarkan Faham Freemason

Pengalaman Alting melanglang buana ke dataran Nusantara sebagai tokoh penting freemason tidak bisa dianggap sepele. Ia rajin berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya demi melebarkan sayap freemason. Menurut Arta Wijaya, AS. Alting pertama kali menginjakkan kaki di tanah nusantara di kota Padang. Ia kemudian bergabung menjadi anggota Loge matahari dan terlibat mendirikan Perkumpulan Pengurusan Yatim Piatu dan Padang Frobel School yang dibuka pada tahun 1889.

Dari Padang, AS. Alting kemudian dipindahkan ke Buitenzorg dan memegang peranan berpengaruh dalam tubuh Buitenzorg Maconniek Societiet (Perkumpulan Mason Bogor). Perkumpulan ini kemudian meretas berdirinya Loge Excelsior pada 1891 di kota tersebut.

Lama mengenyam diri di Bogor, selanjutnya AS. Alting masih melanjutkan pengembaraannya dengan hijrah ke Semarang pada kurun waktu 1895. Menurut catatan Wikipedia, nama AS. Alting tercatat sebagai pendeta di Gereja Blenduk yang kini terdapat di Jl. Letjend. Suprapto 32 Semarang dengan nama Gereja GPIB Immanuel. Gereja Kristen ini adalah gereja tertua di Jawa Tengah. Ia dibangun oleh masyarakat Belanda yang tinggal di kota itu pada tahun 1753. AS. Alting sendiri kemudian aktif berkhotbah di Gereja ini pada durasi 1895-1897.

Alumni CAS dan Riwayatnya kini

Kisah sukses CAS membumikan pendidikan Belanda, membuat para alumninya berinisiatif untuk mendirikan yayasan CAS-Relinisten untuk mengenang masa-masa mereka sekolah dulu. Bahkan tepat ketika pada tanggal 3 September 1977, telah sukses diadakan peringatan 75 tahun berdirinya cikal bakal CAS pada tahun 1902. Acara tersebut sendiri dilakukan dalam suatu pertemuan besar dengan melibatkan sejumlah alumni dan elemen-elemen terkait di Gedung Konser di Den Haag.

Hal yang patut dicatat adalah bahwa dalam reuni tersebut, Atase Militer kedutaan besar Indonesia meberikan kata sambutan dengan menekankan bahwa CAS di Indonesia telah menjalankan suatu fungsi yang amat penting. Dan hasil reuni itu kemudian dirumuskan dalam bentuk buku kenangan berjudul Gedenkboek 1902-1977 (Buku Peringatan 1902-1977) yang dilengkapi dokumentasi album foto sehingga memberikan kesan berarti.

Saat pemerintah Indonesia, mengeluarkan Keppres Nomor 264 tahun 1962 yang membubarkan dan melarang Freemasonry beserta segala organisasi derivatnya, nasib kegiatan di sekolah ini sempat terkatung-katung. Kehadiran CAS yang terendus kuat memiliki misi Freemasonry membuat mereka sibuk memutar kepala. Namun waktu tidak memberi mereka peluang banyak untuk bernafas hingga akhirnya kegiatan di sekolah ini tidak lagi aktif tak lama setelah Keppres itu dikeluarkan.

Sebenarnya Raden Said Soekanto, Kepala Kepolisian pertama RI sudah mengendus akan terjadinya pembubaran CAS pada tahun sebelum kepres itu dikeluarkan. Soekanto yang juga kader inti freemason telah mengatur strategi untuk meneruskan roda perjalanan sekolah ini dengan cara mengganti nama Yayasan Carpentier Alting menjadi Yayasan Raden Saleh pada tahun 1958.

Namun seperti yang sudah dikisahkan sebelumnya, sejarah CAS di bawah pimpinan Indonesia hanya berlangsung singkat. Kala itu Yayasan Raden Saleh mengambil alih anggaran dasar CAS dan memberlakukan peraturan bahwa mayoritas anggota pengurus haruslah merupakan kader freemason tulen. Akhirnya banyak anggota-anggota pengurus baru berasal dari loge Jakarta “Purwa Daksina”.

Ketua pengurus sendiri dipimpin oleh Soekanto. Sedangkan R. Sumitro Kolopaking dan R. Soerjo memangku jabatan wakil-wakil ketua. Adapun M. Soendoro, yang zaman itu memangku jabatan Sekretaris Agung Loge Agung Indonesia, diamanahkan untuk mengisi posisi sekretaris.

Dalam buku “Satu Tahun Pendidikan Nasional Jajasan Raden Saleh”, yang dikeluarkan pada bulan Juli 1959, kita bisa menengok segala kenangan yang tersimpan mengenai sekolah ini. Dari data laporan pada tahun 1958 sampai 1959, Yayasan Raden Saleh tercatat mengelola dua sekolah dasar, yakni Taman Kanak-Kanak, dan dua sekolah menengah, yaitu sebuah SMP dan sebuah SMA.

Namun pada tahun itu hanya tinggal sedikit murid Belanda ikut mengenyam pendidikan bersama Yayasan Raden Saleh. Tercatat dari sekitar 450 murid yang mengikuti pendidikan bersama Yayasan Raden Saleh alias jelmaan CAS pada kurun waktu 1958-1959 85 orang mempunyai nama keluarga Belanda dan sisanya berasal dari aseli Indonesia.

Th Stevens menjelaskan bahwa pada dasarnya Yayasan Raden Saleh kala itu tidak jauh berbeda dengan pendahulunya. Yayasan Raden Saleh sebagai penerus CAS, selalu menerapkan prinsip masonik tentang manusia dan masyarakat hingga akhirnya usaha ini terhenti oleh karena perkembangan politik pada awal tahun-tahun enam puluhan. 
Pada masa kini dapat disaksikan bahwa di tempat sekolah-sekolah Carpentier Alting dahulu, di Koningsplein Oust (sekarang Medan Merdeka Timur) terdapat lembaga dengan pendidikan Ianjutan.

Namun sekolah ini, menurut Th Stevens, tidak ada kaitannya dengan landasan semula. Terlebih saat ini sekolah yang didirikan freemason itu telah berubah fungsi menjadi Gedung Galeri Nasional Indonesia yang terletak di Jalan Medan Merdeka Timur No. 14. Jakarta Pusat lengkap dengan catatan kelam sejarahnya. (pz)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Free Web Hosting