SERAMBI Indonesia (21 Juni 2011), melansir sebuah pertemuan cerdas telah dilakukan oleh Komisi A DPRA. Dalam pertemuan yang berlangsung di Gedung Serbaguna DPRA itu dihasilkan tiga putusan, yaitu (1) meminta eksekutif menunda penyaluran dana pilkada ke Komisi Independen Pemilihan, (2) menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan calon independen untuk maju dalam Pilkada 2011, dan (3) meminta KIP dibubarkan karena komisi tersebut menetapkan sepihak tahapan pelaksanaan pilkada Aceh tanpa berkoordinasi dengan DPRA.
Bagi saya yang berlatarbelakang seorang akademisi banyak pertanyaan yang mucul di balik keputusan ini. Salah satu yang cukup menarik untuk dikupas adalah putusan kedua yang menolak putusan MK.
Sepertinya, logika berpikir saya belum mampu menjangkau logika hukum yang dipakai oleh DPRA untuk menolak putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010 yang telah melegalkan calon independen untuk maju dalam pilkada 2011 ini. Mungkin saja saya terlalu naif untuk memahami dunia politik ini. Sebagaimana sudah kita maklumi bahwa dalam sistem hukum tidak mungkin aturan yang lebih rendah bisa menganulir keputusan yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, tidak mungkin sebuah peraturan daerah bisa menganulir keputusan MK yang sudah berkekuatan hukum tetap. Semua kita sudah maklum bahwa putusan MK itu bersifat final dan tidak ada lagi upaya hukum yang bisa ditempuh untuk itu (Pasal 24C UUD 1945).
Untuk mengokohkan hal tersebut, Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan tegas menyebutkan bahwa putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum (Pasal 47). Ini artinya putusan MK yang membolehkan calon independen di Aceh sudah final dan mengikat semua pihak termasuk lembaga DPRA yang hari ini sedang membahas rancangan Qanun Pilkada 2011.
Kalau melihat dari segi logika hukum, seharusnya legislatif dan eksekutif hari ini hanya tinggal melaksanakan saja putusan MK tersebut karena perdebatan seputar calon independen sudah selesai dan final. Tentu bukan waktunya lagi untuk mempersoalkan materi yang terkandung dalam pasal 256 UUPA yang membolehkan calon independen untuk maju hanya sekali saja karena semuanya sudah terjawab dengan keputusan MK di atas. Namun kalau hari ini hal tersebut juga masih menjadi perdebatan, menurut hemat saya, sepertinya kita mengambil langkah mundur. Saya pikir sudah saatnya lembaga legislatif dan eksekutif mengimplementasi visi visionernya untuk pembangunan Aceh yang mampu meneropong jauh ke depan dengan tidak terlalu larut dalam memperdebatkan hal-hal yang seperti ini.
Intinya, calon independen siapa pun orangnya dan dari mana pun asalnya selama yang bersangkutan memenuhi persyaratan untuk itu perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi.
Ironis tentunya kalau kita menutup pintu bagi calon independen untuk maju. Hal itu sama saja dengan membendung nilai-nilai demokrasi yang ada. Bukankah dalam negara demokrasi ini semua orang berhak untuk memilih dan dipilih? Bahkan hukum nasional sekarang ini melalui UU No. 12 Tahun 2008 telah membolehkan calon independen untuk maju dalam pesta demokrasi. Bagi yang hasrat politiknya bisa tersalurkan lewat partai politik, silahkan maju dengan menggunakan kenderaan politik yang ada. Bagi yang tidak masuk partai politik tentu jalur independen menjadi pilihannya.
Ketentuan ini berlaku secara nasional tanpa terkecuali Aceh. Untuk kasus Aceh memang agak sedikit unik karena dulunya calon indepeden yang diatur dalam Pasal 256 UUPA hanya diperbolehkan untuk sekali saja. Namun dengan keluarnya putusan MK di atas ketentuan pasal tersebut menjadi tidak berlaku lagi. Dengan demikian calon independen tetap diperbolehkan maju dalam pesta demokrasi dengan mengacu pada ketentuan UU No. 12 Tahun 2008 di atas. Saya pikir sudah saatnya bagi legislatif dan eksekutif Aceh untuk duduk semeja dan sebahu memikirkan jalan yang terbaik untuk mengimplementasikan printah undang-undang ini dengan mengenyampingkan segala kepentingan yang ada.
Bisikan politik Vs hukum
Seringkali hampir setiap menjelang musim pemilu tiba, bisikan-bisikan politik bermunculan di mana-mana. Bisikan-bisikan tersebut kadangkala lebih dominan daripada ketentuan hukum yang ada. Dalam konteks Aceh hari ini, saya jadi bertanya apakah bisikan-bisikan politik dalam mengusung ide boleh tidaknya calon independen untuk maju dalam pilkada ke depan juga ikut mewarnai? Tentu jawabanya ada pada elite politik di sana. Perlu dicatat, masyarakat Aceh dari dulu hingga kini tidaklah buta politik. Walaupun tidak semua kita berperan sebagai pemain, namun kita tahu apa yang sedang terjadi di dunia legislatif hari ini.
Dalam dunia politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan belaka. Selama para pihak masih berada dalam lingkaran kepentingan yang sama, selama itu pula mereka tetap menjadi kawan. Manakala kepentingannya mulai berbeda, maka teman yang tadinya satu selimut dengan cepat berubah menjadi lawan. Tepat sekali rasanya apa yang dikatakan oleh Machiavelli yaitu homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya). Dalam dunia perpolitikan tidak jarang ucapan Machiavelli ini menjadi kenyataan dengan menempuh segala cara untuk mencapai tujuan. Bahkan menurut Machiavelli ketentuan hukumpun kadang kala dijadikan kenderaan politiknya bukan untuk dijalankan. Kita haqqul yakin bahwa para elite politik kita sama sekali tidak punya tendisi ke arah itu.
Harapan ke depan
Kita berharap para elite politik Aceh bisa berpikir lebih jernih dalam menyelesaikan kekisruhan politik ini demi berjalannya pesta demokrasi yang sangat dinantikan oleh rakyat Aceh. Kita berharap banyak kepada wakil rakyat untuk mengedepankan kepentingan rakyat Aceh yang lebih besar dalam setiap keputusannya dibandingkan kepentingan pribadi dan kelompok yang ada di sekitarnya.
* Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Unsyiah. Kandidat Doktor di Monash University Australia.(Azhari Yahya)
Sumber : Serambi Indonesia
Sabtu, 02 Juli 2011
DPRA Versus MK
09.42
Firdiansyah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
siapa yang menang
Posting Komentar