***Welcome My Blog***

Senin, 31 Januari 2011

Selama 2010, Hampir Tiap Hari Berlangsung Pilkada

Indonesia boleh jadi adalah negara yang punya kehebohan sendiri di banding negara-negara lain di dunia. Siapa sangka kalau pilkada di negeri ini merupakan yang terbanyak dan terepot di negeri mana pun yang melakukan sejenis pilkada.

Di tahun 2010 kemarin, tidak kurang dari 227 pilkada berlangsung di tingkat propinsi maupun kabupaten dan walikota. Belum lagi jika terjadi sengketa, pilkada pun akhirnya diulang. Ini berarti, hampir setiap hari berlangsung pilkada.

Menariknya, dari ratusan pilkada itu, 74 persennya bermasalah. Artinya, sebanyak 74 persen itu pilkada berujung ke pengadilan Mahkamah Konstitusi. Ada yang diputus tanpa pilkada ulang, ada juga yang akhirnya diulang.

Pertanyaannya, berapa besar anggaran negara tersedot buat pilkada yang terbanyak di dunia itu?

Kalkulasi yang didapat dari KPU, untuk tahun 2010 saja, tidak kurang dari 4,2 trilyun rupiah mengucur buat pilkada. Hitung-hitungan itu berbunyi: 50 sampai 70 milyar buat provinsi dan 7 sampai 10 milyar buat tingkat kabupaten dan walikota. Itu pun hitung-hitungan yang paling minimal. Karena kenyataannya, biaya pilkada membengkak hampir dua kali lipat.

Dan uang yang mesti keluar itu hanya dari kantong negara dalam hal ini APBD. Sementara, dari masing-masing calon punya hitung-hitungan sendiri.

Untuk tingkat provinsi, seperti yang diperkirakan Mendagri Gamawan Fauzi, setiap calon minimal sudah siap dengan uang sebesar 20 milyar rupiah. Itu pun tergantung daerah pemilihan. Untuk provinsi-provinsi besar seperti Jakarta, Jawa Barat, dan lain-lain; tentu tiap calon harus menyiapkan uang yang jauh lebih besar.

Lalu, buat apa uang sebesar itu dalam proses pilkada? Nah, inilah yang lebih menarik lagi. Dan mungkin, hanya di Indonesia yang berlangsung seperti ini.

Uang dari calon peserta pilkada itu dialokasikan buat kampanye, atribut, dan satu lagi: transaksi dengan parpol pendukung. Karena umumnya, para calon peserta bukan berasal dari orang parpol.

Menariknya lagi, di kebanyakan proses pilkada, para parpol pendukung lebih cocok melakukan kesepakatan kerjasama dengan calon-calon yang bukan kader partainya sendiri. Dan incaran parpol yang paling utama adalah calon yang masih menjabat sebagai kepala daerah atau incumbent.

Kalau saja di satu pilkada, parpol dapat uang 20 persen dari alokasi anggaran calon, bisa dibayangkan, berapa penghasilan parpol untuk 227 pilkada di tahun 2010 kemarin. Wow, luar biasa!

Mungkin, apa yang saat ini selalu dipikirkan tentang pilkada oleh para pimpinan parpol adalah kalau saja kaderku tahu betapa nikmatnya proyek pilkada, mungkin mereka akan berdoa agar selalu ada pilkada setiap hari. mnh

foto: gendingan


Minggu, 30 Januari 2011

Siapa Zine al-Abidine Ben Ali?

Pada Jumat, 14 Januari 2011, Zine al-Abidine Ben Ali meninggalkan negaranya Tunisia, setelah protes besar-besaran; yang membuatnya ia mengakhiri pemerintahannya yang berlangsung selama 23 tahun.

Lahir tahun 1936 di kota Sousse dari sebuah keluarga sederhana, Ben Ali menyelesaikan pendidikannya di Prancis dan AS.

Ia dibesarkan dalam hirarki keamanan Tunisia dan menjabat sebagai duta besar Tunisia untuk Polandia pada awal tahun 1980.

Pada tahun 1987, ia diangkat sebagai perdana menteri. Setelah Habib Bourguiba, Ben Ali langsung menjadi presiden, dan memimpin Tunisia dalam proses transisi bertahap menuju demokrasi.

Pada tahun 1999, ia mengizinkan pemilihan presiden multi-partai, di mana ia menang telak. Ben Ali memenangkan pemilu terakhirnya pada tahun 2009, namun suaranya turun di bawah 90 persen.

Ben Ali mengubah konstitusi dua kali untuk memungkinkan dirinya menjadi presiden selama mungkin. Meskipun ia dipuji karena pencapaian stabilitas dan kemakmuran ekonomi di Tunisia, Ben Ali dikritik karena menekan kebebasan politik.

Di bawah pemerintahannya, Tunisia memasuki pertumbuhan ekonomi yang mantap dan reformasi ekonomi. Negara Afrika Utara ini juga menjadi tujuan utama bagi wisatawan Eropa. Tapi pengangguran di kalangan rakyatnya membengkak, dan sebagian besar rakyat Tunisia tetap miskin.

Dalam gaya penguasa Arab kebanyakan, wajah Ben Ali wajib hadir di Tunisia, dengan poster-poster raksasa sang presiden terlihat di ruang publik di seluruh negeri.
Tetapi di bawah kekuasaan Ben Ali, kebebasan politik dibatasi ketat.

Protes politik tidak ditolerir dan kelompok hak asasi manusia menuduh rezim Ben Ali menangkapi dan memperlakukan para pembangkang politik dengan begitu buruk.
Elit penguasa Ben Ali juga menghadapi tuduhan korupsi berulang-ulang.

Ben Ali menikah dua kali dengan enam orang anak. Istri keduanya, Leila Trabelsi, memainkan peran penting dalam kehidupan publik Tunisia dan diduga membantu mengumpulkan kepemilikan ekonomi yang besar untuk keluarga besarnya. Pemerintahan Ben Ali mulai retak di bawah protes besar-besaran atas meningkatnya pengangguran di negara ini.

Dia awalnya menyalahkan demonstrasi pinggiran "ekstremis." Tapi dia mengubah taktik pada tanggal 13 Januari, menyatakan penyesalan mendalam atas kematian para pengunjuk rasa, berjanji untuk memperkenalkan kebebasan media, juga serta menjanjikan untuk turun pada tahun 2014.

Sehari kemudian ia mengundurkan diri, setelah tawaran konsesi gagal memadamkan kerusuhan. (sa/onislam)

 Sumber : http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/siapa-zine-al-abidine-ben-ali.htm

Mengenal Lebih Dekat dengan "Thoghut" Hosni Mubarak

Muḥammad Ḥusnī Mubārak, juga dikenal dengan Hosni Mubarak, lahir di Kafr-El Meselha, Al Monufiyah, 4 Mei 1928; dan saat ini berumur 82 tahun adalah presiden Mesir sejak 14 Oktober 1981.

Mubarak ditunjuk sebagai wakil presiden setelah pangkatnya naik di jajaran Angkatan Udara Mesir. Kemudian, ia menjadi presiden untuk menggantikan presiden Anwar Al Sadat yang terbunuh pada 6 Oktober 1981 oleh kelompok Islam 'radikal'. Ia merupakan Presiden Mesir kelima untuk masa jabatan lebih dari 30 tahun sejak menjabat pada tahun 1981. Sebagai Presiden Mesir, ia dianggap sebagai pemimpin yang paling berkuasa di wilayahnya.

Mubarak lahir pada 4 Mei 1928 di "Kafr El-Meselha", Governorat Al Monufiyah (Mesir). Saat masih belajar di perguruan tinggi, ia bergabung dengan Akademi Militer Mesir hingga meraih gelar Bachelor's Degree dalam Pengetahuan Militer pada tahun 1949. Pada tahun 1950, ia bergabung dengan Akademi Angkatan Udara dan kembali meraih gelar Bachelor's Degree untuk Pengetahuan Aviation serta Ia mengajar di Akademi Angkatan Udara pada periode 1952-1959. Pada tahun 1964, ia diangkat sebagai Kepala Delegasi Militer Mesir untuk USSR.

Di bawah Konstitusi Mesir 1971, Presiden Mubarak memiliki kuasa yang luas atas Mesir. Bahkan, dia dianggap banyak orang sebagai seorang diktator, meskipun moderat. Ia dikenal karena posisinya yang 'netral' dalam Konflik Israel-Palestina dan sering terlibat dalam negosiasi antar kedua pihak.

Bagi kalangan Islamis baik yang 'moderat' maupun yang 'radikal', Mubarak tidak lebih merupakan sosok yang mirip dengan Anwar Saddat yang tewas terbunuh. Meski dinilai cukup moderat, namun banyak kebijakan-kebijakan era pemerintahannya justru 'menekan' Islam yang merupakan dasar negara resmi Mesir.

Mulai dari melanjutkan kebijakan pendahulunya yang bermesra-mesraan dengan zionis Israel, membuat tembok penghalang di perbatasan Mesir, tidak mendukung perjuangan rakyat Palestina dalam melawan Israel, hingga penangkapan dan pembunuhan terhadap para aktivis Islam khususnya musuh 'abadi' nya, Ikhwanul Muslimin.

Di era pemerintahannya, polisi telah menjadi monster yang sangat menakutkan. Tidak hanya satu korban tewas oleh aparat penegak hukum itu di kantor mereka. Bahkan seorang dai salafi dari gerakan ansharus sunnah Muhammadiyah, harus tewas mengalami siksaan polisinya Mubarak hanya karena sang dai dituduh terlibat dalam pengeboman malam tahun baru.

Meski gerakan Salafi Mesir bisa dikatakan non politis bahkan sempat dikabarkan salah seorang ulama mereka mewajibkan "bai'at" terhadap kepemimpinan Mubarak hingga mengeluarkan fatwa hukuman mati terhadap orang yang berani 'menentang' Mubarak, dan ini menimpa tokoh oposisi Elbaradei yang menyerukan unjuk rasa massal menentang rezim Mubarak. Namun bagi Mubarak hal tersebut tidak berlaku.

Saking 'kejamnya' polisi Mesir dan intelijennya, mahasiswa Al-Azhar di Kairo sampai takut untuk menuliskan nama mereka atau organisasi mereka jika menulis artikel tentang "Mesir" di situs eramuslim. Mungkin mereka lebih tahu bagaimana perilaku aparat keamanan Mesir, hal ini terbukti dengan kasus penyiksaan beberapa mahasiswa Indonesia yang ada di Kairo oleh polisi Mesir. Yang lucunya, penangkapan para mahasiswa tersebut salah satu alasannya, karena salah seorang mahasiswa menempel poster Hamas dan Syaikh Ahmad Yassin di kamar mereka.

Bagi kalangan Jihadis, sosok Mubarak tidak lebih merupakan seorang "thaghut" yang harus disingkirkan sebagaimana yang menimpa pendahulunya Anwar Saddat. Mubarak meski secara zhahir seorang muslim, namun bagi kalangan Jihadis, Mubarak telah 'murtad' dari Islam dengan banyaknya alasan kemurtadan yang menimpa dirinya.

Walaupun Mesir dasar negara berlandaskan Islam (al-Quran dan Sunnah), hingga kini Mesir di bawah Mubarak sangat anti dengan namanya Syariat Islam. Bahkan musim pemilu parlemen baru-baru lalu, lewat antek-anteknya di KPU Mesir, menerapkan pelarangan penggunaan slogan-slogan keIslaman dalam kampanye - sebuah langkah yang bertujuan untuk menjegal kelompok oposisi utama Islam Ikhwanul Muslimin dari kancah politik Mesir, yang memiliki slogan "Al-Islam Huwal Hal" Islam adalah Solusi.

Mengcopy paste sikap presidennya, pejabat-pejabat pemerintahan Mubarak pun tidak jauh bedanya dengan Mubarak sendiri yang "anti-Islam". Menteri pendidikan Mesir, Faruk Husni berkali-kali menghina syariat Islam khususnya Jilbab. Muslimah yang bercadar juga dilarang mengikuti ujian di kampus-kampus Mesir.

Di era pemerintahan Mubarak, tidak ada pertumbuhan ekonomi yang signifikan yang dialami oleh Mesir, meski didukung oleh AS tetap saja ekonomi Mesir terpuruk ditambah lagi dengan banyaknya pengangguran. Penjualan gas Mesir kepada Israel sekutunya, juga tidak otomatis membuat pendapatan perkapita penduduk negara tersebut meningkat. Jadi apa yang mesti dipertahankan dari pemerintahannya??

Sempat dikabarkan 'sekarat' dan menjalani operasi di luar negeri, Mubarak menjelang pemilu parlemen lalu kembali ke depan publik Mesir untuk memperkuat posisinya sebagai penguasa Mesir.


Aksi unjuk rasa yang berbuntut kerusuhan di Mesir yang menuntut pengunduran dirinya, tidak membuat Mubarak goyah dengan pendiriannya bahwa dirinya merupakan Presiden Mesir yang 'kuat'. Mungkin Mubarak ingin menjadi Fir'aun baru yang berkuasa atas segala sesuatu yang berada dibawah kepmimpinannya.(fq)

Selasa, 18 Januari 2011

Pengakuan Korban yang Selamat

[Pengakuan Yusuf Abdul Jalil, Kèm Lenggeng].
USUL Abdul Gani (Apa Gani) dan Abu Makam untuk tidak makan malam, diterima secara aklamasi. Ternyata benar, tahanan asal Pakistan, Ruhingya dan Bangladesh di blok A dan B, yang lebih awal mendapat jatah makan malam, semua pingsan karena makanan dibubuh racun. Mukhtar, satu-satunya orang Aceh yang diam-diam ikut makan malam, turut pingsan. Beberapa menit sebelum dinding kawat berduri diterobos [jam: 21.00], Blok C terbakar, tapi berhasil dipadamkan oleh tahanan lain. Mukhtar, yang masih dalam keadaan setengah sadar, terpaksa dipanggul oleh Usman Tiro untuk melewati kawat berduri dan Abu Bakar (72 tahun) tersangkut di kawat, setelah ditarik beberapa orang baru selamat. Ratusan orang dalam rimba Karèt Lenggeng, masing-masing membentuk group.

Misalnya: ”Kompi” Yusuf Abdul Jalil [sekarang menetap di USA] beranggota: Muhammad, Salman, Hamid, Bustami dan Mukhlis, sampai pagi berputar-putar di kawasan kebun Karét. Pagi harinya (27/03/1998), hendak merapat ke perkampungan, tetapi dari semak-belukar nampak militer Malaysia dengan senjata berjaga-jaga. Akhirnya mereka berselimut lumut gambut tebal selama setengah hari. Kemudian, Yusuf berkata: “Biasanya antara jam: 12.00-13.30 aparat keamanan isterahat makan siang. Masa ini kita manfaatkan untuk merambah masuk bandar Lenggeng.” Semua anggota meng-amiiini! Mereka coba masuk. Di persimpangan jalan, mereka berjumpa dengan seorang anak berusia antara (8-9 tahun), keturunan India. Katanya: ”Jangan masuk ke bandar Lenggeng, sebab ada 3 truck militer sedang meronda kota ini”. Sang komandan (yusuf) mempercaya dan mengajak kawannya berbalik arah semula ke kawasan hutan Karèt dan sembunyi sampai malam hari tanpa makanan.

Menjelang magrib, pasukan ini coba lagi menerobos kampung. Lagi-lagi mereka sesat –berputar-putar– sepanjang malam dalam kawasan kebun Karèt. Pada 28/03/1998, sepanjang hari dalam rimba, makan buah Nangka mentah dan Gelima, sambil terus meredah belantara. Tanpa disadari, jam: 21.00 sudah tiba di Berandang. Di sinilah berjumpa dengan seorang pemuda asal Flores, bekerja sebagai buruh bangunan.
Pemuda tadi mengisahkan bahwa ada orang Aceh bernama Marzuki di kampung ini. Mereka pun bergegas menjumpainya. Gayung bersambut: Marzuki ternyata mendapat tugas menyelamatkan orang Aceh dari kèm Lenggeng.

Setelah bermalam di sini, keesokan harinya, Marzuki menghubungi Muzakkir Manaf dan Sulaiman Langsa untuk datang menjemput. Waktu itu Muzakkir barkata: ”Situasi di jalan raya yang masih ketat operasi, tidak mungkin kami selamatkan saudara siang ini. Kami akan datang lagi malam hari nanti.” Ternyata yang muncul, bukan Muzakkir Manaf, melainkan Sulaiman Langsa dan Zakarya (Zèk) dari bt-6 Gombak membawa truck. Malam itu mereka diangkut dan menginap di kediaman Zèk dan besoknya dipindahkan ke rumah Wan botak di bt-7 Gombak).

[Pengakuan Murtala Ismail, Kèm Lenggeng].
”Kompi” Murtala, yang beranggota: Abu Bakar, Iskandar, Agus, Syukri, Yusuf, Zul, Jhonny dan Din tidak kurang getirya. ”Kami, beberapa kali terserempak dengan pasukan militer Malaysia dan anjing pelacak yang memaksa kami terpencar. Malam pertama berada dalam kebun Karèt dan keesokan harinya meredah hutan. Tidak ada kompas penunjuk arah, hingga kami berputar-putar dalam kawasan hutan ini selama 5 hari. Yang lebih membebankan lagi ialah: Syukri, yang terlalu banyak makan cacing tanah menderita sakit perut. Atas alasan ini, anggota ”Kompi” dirampingkan. Murtala diberi tanggungjawab menyelamatkan Syukri.

Suatu hari, kami kepergok dengan militer Malaysia yang sedang melakukan operasi. Waktu itulah Iskandar tertembak dan sampai sekarang tidak diketahui di mana rimbanya. Beruntung, saya dan Syukri bersembunyi di bawah gambut lumut tebal. Militer Malaysia menginjak tubuh kami. Alhamdulillah, anjing pelacak gagal mencium posisi kami yang tertimbun gambut, tapi berhasil mengejar kawan-kawan yang melarikan diri. Selama sehari semalam terlena kami di bawah gambut ini, sampai dipastikan kawasan ini sudah merdeka.

Antara hari ke enam sampai duabelas, kami keluar hutan masuk kampung. Ketika tercium oleh penduduk, kami keluar kampung masuk hutan dan masuk ke kampung lain. Hari ke 12, kami sudah dekat dengan kota Kajang. Ketika itulah, saya terpaksa memaksa seorang Melayu memberi sedikit uang, demi menyambung hidup hari itu. Semoga Allah maklum dan mengampuni! Setelah kejadian itu kami menghindar ke kawasan hutan. Malamnya, kira-kira jam: 19:30 kami masuk perkampungan. Ketika itulah, saya menggaet sepasang pakaian lelaki yang dijemur di belakang rumahnya untuk persiapan pakaian menuju Kuala Lumpur esok. Hari ke-13, kami menuju Kajang dengan pakaian ”baru”. Dari Kajang naik bus menuju Kuala Lumpur dan terus ke bt-7, Sungai Cincin Gombak.” 

Setelah berpeluk cium dengan kawan-kawan. Wan botak nyeletuk: ”Hai Tala, pakon bajèë droëneuh na pangkat?” Astaghfirullah, rupanya pakaian yang saya curi tadi adalah pakaian Dinas seragam Polisi Malaysia. Apakah karena tuah mengenakan pakaian Polisi hingga selamat dalam perjalanan. Hanya Allah Yang Maha Tahu.” [Hasil wawancara dengan Murtala, 16/03/2009. Jam: 19.00-20.00 waktu Scandinavia]

”Kompi” Abdul Gani (Apa Gani) dkk. Lain lagi ceritanya. Berbekal naluri yang tajam dalam perang grilya dalam hutan Aceh, mereka meredah hutan belantara Lenggeng hingga terdampar pada hari ke-empat di negeri Perak, Malaysia dan disambut hangat oleh Tengku Razak di Tiro.
  
[Pengakuan Mukhtar, Kèm Semenyeh]
”Sesudah blok A terbakar, kami pindah ke blok B. Situasinya sudah berubah, semua penghuni kèm bebas masuk ke semua Blok, sebab kawat penghalang antara blok sudah dirobohkan sampai ke blok penempatan tahanan wanita. Di pagi buta itu, masuk beberapa anggota pasukan FRU (Pasukan Anti Huru-hara). Terjadi perkelahian sengit satu lawan satu. Kali ini, pasukan FRU berhasil dipatahkan oleh pasukan Aceh dengan senjata alakadarnya. Kemudian disusul pasukan kedua. Saat itulah seorang anggota FRU yang berpakain besi disergap hingga meninggal. Karena kondisinya sudah tidak terkontrol, maka meletus tembakan yang menewaskan: Junaidi, Jakfar, Sofyan Tjut Malim dan Mhd. Nasir.

Setelah pasukan barani mati Aceh gugur dan bergelimpangan, barulah masuk pasukan lain memberangus pelarian Aceh. Terjadi kejar mengajar selama beberapa jam [jam: 06:00-11:00], sebab orang Aceh sudah bercampur aduk dengan tahanan non Aceh: Sabah, Bangladesh, Pakistan dan Indonesia. Apalagi wajah mereka tidak jauh berbeda. Bahkan kemudian diketahui, seorang warga Sabah turut menjadi korban penganiayaan dan diangkut sampai ke Aceh. Saya, terkena pukulan FRU di kepala bagian belakang, langsung tersungkur. Saya heran, ternyata saya masih hidup. Saya tidak tahu persis apa yang terjadi di sekeliling saya. Saat saya sadar kembali pada jam: 11: 30, keadaan kèm sudah sepi, yang terlihat Petinggi Polisi (Rahim Noor, Ketua Polis Negara Malaysia) dan pegawai pemadam kebakaran yang membersihan darah merah yang mengalir. Sebuah truck kecil menunggu. Pada jam: 12:00 tengah hari, kami: Mukhtar, Amni Ahmad Marzuki, Bukhari, Rafi, Nurdin Rasyid, Zailani, Junaidi (bukan Junaidi yang ditembak) dan beberapa orang lagi yang namanya lupa, diborgol dan baru tiba di Pelabuhan Lumut, Perak pada jam: 19: 00 soré. Rombongan kami yang terakhir sampai di sana.

Dalam kapal perang Angkatan Laut RI itu, kami lihat bang Yusuf Tjubo dkk. dari Kèm Juru, semua dalam keadaan kaki dan tangan diikat dengan rantai besi. Yang rada anèh, nampak Tengku Usman Kuta Kreung dan Adnan PM Toh (Seniman kondang Aceh). Entah untuk apa, saya tak paham. Yang satunya buat kocak, yang satu lagi baca do’a, mungkin!
Amni Ahmad Marzuki dan Yatim Usman, keduanya merintih kesakitan, akibat luka tembak di lutut yang tidak diberi pengobatan. Hanya saja Amni berhasil dipulihkan, sementara Yatim Usman terpaksa diamputasi di Rumah Sakit Lhok Seumawé.”[wawancara dengan Mukhtar, pada 17/03/2009 jam: 20:00-21:00 waktu Scandinavia]

Sumber : www.acehvision.com

Dakota RI-001 Seulawah

Dakota RI-001 Seulawah adalah pesawat angkut pertama milik Republik Indonesia yang dibeli dari uang sumbangan rakyat Aceh. Pesawat Dakota RI-001 Seulawah ini adalah cikal bakal berdirinya perusahaan penerbangan niaga pertama, Indonesian Airways. Pesawat ini sangat besar jasanya dalam perjuangan awal pembentukan negara Indonesia.

Pesawat Dakota DC-3 Seulawah ini memiliki panjang badan 19,66 meter dan rentang sayap 28.96 meter, ditenagai dua mesin Pratt & Whitney berbobot 8.030 kg serta mampu terbang dengan kecepatan maksimum 346 km/jam.

Sejarah
KSAU Komodor Udara Suryadarma memprakarsai pembelian pesawat angkut. Biro Rencana dan Propaganda TNI-AU yang dipimpin oleh OU II Wiweko Supono dan dibantu oleh OMU II Nurtanio Pringgoadisuryo dipercaya sebagai pelaksana ide tersebut.


Biro tersebut kemudian menyiapkan sekira 25 model pesawat Dakota. Kemudian, Kepala Biro Propaganda TNI AU, OMU I J. Salatun ditugaskan mengikuti Presiden Soekarno ke Sumatra dalam rangka mencari dana.

Pada tanggal 16 Juni 1948 di Hotel Kutaraja, Presiden Soekarno berhasil membangkitkan patriotisme rakyat Aceh. Melalui sebuah kepanitiaan yang diketuai Djuned Yusuf dan Said Muhammad Alhabsji, berhasil dikumpulkan sumbangan dari rakyat Aceh setara dengan 20 kg emas.

Dana tersebut kemudian digunakan untuk membeli sebuah pesawat Dakota dan menjadi pesawat angkut pertama yang dimiliki bangsa Indonesia. Pesawat Dakota sumbangan dari rakyat Aceh itu kemudian diberi nama Dakota RI-001 Seulawah. Seulawah sendiri berarti "Gunung Emas".

Kehadiran Dakota RI-001 Seulawah mendorong dibukanya jalur penerbangan Jawa-Sumatra, bahkan hingga ke luar negeri. Pada bulan November 1948, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengadakan perjalanan keliling Sumatra dengan rute Maguwo-Jambi-Payakumbuh-Kutaraja-Payakumbuh-Maguwo.

Di Kutaraja, pesawat tersebut digunakan joy flight bagi para pemuka rakyat Aceh dan penyebaran pamflet. Pada tanggal 4 Desember 1948 pesawat digunakan untuk mengangkut kadet ALRI dari Payakumbuh ke Kutaraja, serta untuk pemotretan udara di atas Gunung Merapi.

Pada awal Desember 1948 pesawat Dakota RI-001 Seulawah bertolak dari Lanud Maguwo-Kutaraja dan pada tanggal 6 Desember 1948 bertolak menuju Kalkuta, India. Pesawat diawaki Kapten Pilot J. Maupin, Kopilot OU III Sutardjo Sigit, juru radio Adisumarmo, dan juru mesin Caesselberry. Perjalanan ke Kalkuta adalah untuk melakukan perawatan berkala. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, Dakota RI-001 Seulawah tidak bisa kembali ke tanah air. Atas prakarsa Wiweko Supono, dengan modal Dakota RI-001 Seulawah itulah, maka didirikanlah perusahaan penerbangan niaga pertama, Indonesian Airways, dengan kantor di Birma (kini Myanmar).

Monumen
Seiring dengan perkembangan teknologi, khususnya di bidang kedirgantaraan, beberapa jenis pesawat terbang generasi tua pun dinyatakan berakhir masa operasinya. Salah satunya adalah jenis Dakota.

Namun, karena jasanya yang dinilai besar bagi cikal bakal berdirinya sebuah maskapai penerbangan komersial di tanah air, TNI AU memprakarsai berdirinya sebuah monumen perjuangan pesawat Dakota RI-001 Seulawah di Banda Aceh.

Pada tanggal 30 Juli 1984, Panglima ABRI Jenderal L.B. Moerdani pun meresmikan monumen yang terletak di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh.

Monumen ini menjadi lambang bahwa sumbangan rakyat Aceh sangatlah besar bagi perjuangan Republik Indonesia di awal berdirinya.

Sumber : historyofaceh.blogspot.com

Sejarah Pengkhianatan Panglima Tibang

Ia datang sebagai pesulap yang mampu menarik simpati kalangan istana kerajaan Aceh. Karena kepiawannya ia dipercayakah sebagai syahbandar. Guna menghadapi serangan Belanda, ia diutus untuk melakukan perjalanan diplomasi ke luar negeri. Tapi di luar negeri ia balik menyerang Aceh bersama Belanda. Seumur masa ia dicap pengkhianat.

Ramasamy, seorang pemuda dari India selatan, suatu ketika singgah di pelabuhan kerajaan Aceh. Ia hanya seorang perantau yang punya keahlian sebagai pesulap. Berbekal keahliannya itu pula, ia mampu menarik simpati masyarakat Aceh di pelabuhan. Keahliannya main sulap akhirnya sampai juga ke istana kerajaan Aceh Darussalam. Dalam sebuah perhelatan ia pun diundang untuk menunjukkan kebolehannya itu.

Pemuda pengembara itu pun tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Melalui pertunjukan sulapnya, ia berhasil masuk istana. Kesempatan itu pula yang digunakannya untuk menarik simpati raja Aceh. Hal itu pun dituainya, setelah ia memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Muhammad. Sebagai mualaf, biaya hidupnya ditanggung kerajaan.

Ia pun semakin mantap menancapkan pengaruhnya di istana, setelah Sultan Mahmud Alauddin Syah (1871-1874) mengangkatnya sebagai syahbandar di pelabuhan Aceh. Karena jabatan itu, ia pun diberi gelar kehormatan, layaknya seorang bangsawan, Teuku Panglima Maha Raja Tibang Muhammad, yang sepanjang masa dikenang oleh bangsa Aceh sebagai pengkhianat, yang menggunting dalam lipatan.

Pengkhianatan Panglima Tibang, bermula ketika ia ditunjuk oleh Sultan Aceh, untuk memimpin utusan kerajaan Aceh yang akan berunding dengan Belanda di Riau, agar pihak Belanda sebaiknya datang ke Aceh pada Desember 1872. Hal itu merupakan upaya kerajaan Aceh untuk mengulur-ngulur waktu, sambil mempersiapkan kerja sama dengan Amerika dan Italia dalam menghadapi Belanda.

Setelah utusan sultan pulang dari Turki di bawah pimpinan Perdana Menteri Kerajaan Aceh merangkap Mangkubumi Habib Abdurrahman el Zahir. Persaingan politik pun terjadi. Panglima Tibang bermaksud menancapkan pengaruhnya kepada sultan untuk mengalahkan Habib. Untuk itu ia menuju Singapura. Dalam perjalanan pulang, ia menghubungi utusan Amerika dan Italia, guna memperoleh bantuan untuk menghadapi peperangan melawan Belanda. Armada Amerika yang berada di Hongkong, di bawah pimpinan Laksamana Jenkis pun setuju untuk membantu Aceh berperang dengan Belanda.

Namun informasi itu akhirnya diketahui oleh pihak Belanda. Memahami akibat yang lebih jauh andaikata perjanjian antara Aceh dengan Amerika dan Italia terwujud, maka Belanda pun mendahuluinya. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, James Loudon, pada Pertengahan Februari 1873 pun mengirimkan armadanya ke Aceh. Apalagi setelah Belanda mendapat informasi bahwa armada Amerika di bawah pimpinan Laksamana Jenkins akan berangkat dari Hongkong menuju Aceh pada Maret 1873.

Menghadapi situasi seperti itu, para diplomat Aceh di Pulau Penang, Malaysia pun membentuk Dewan Delapan, yang terdiri dari empat orang bangsawan Aceh, dua orang Arab dan dua orang keling kelahiran Pulau Pinang. Dewan Delapan tersebut bertindak mewakili kepentingan Aceh di luar negeri. Di antaranya, menjalin diplomasi dengan negara-negara asing, mencari perbekalan perang dan mengangkutnya ke Aceh dengan menembus blokade angkatan laut Belanda yang sudah menguasai Selat Malaka.

Akhirnya pada Rabu 26 Maret 1873, bertepatan dengan 26 Muharam 1290 Hijriah, dari geladak kapal perang Citadel van Antwerpen, yang berlabuh antara Pulau Sabang dan daratan Aceh, Belanda menyatakan maklumat perangnya dengan Aceh, karena Aceh menolak mengakui kedaulatan Belanda. Maklumat perang itu diumumkan oleh Komisaris Pemerintah, merangkap Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda, F.N Nieuwenhuijzen.

Tindak lanjut dari maklumat perang tersebut, pada Senin 6 April 1873, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R Kohler, dengan kekuatan enam kapal perang, dua kapal angkutan laut, lima barkas, delapan kapal peronda, satu kapal komado, dan lima kapal layar, melakukan pendaratan di Pante Ceureumen, yang disambut dengan perlawanan rakyat Aceh. Maka perang pun berkecamuk.

Tak tanggung-tanggung, dalam agresi pertama itu, Belanda mengerahkan 168 perwira, 3.198 pasukan, 31 ekor perwira berkuda, 149 pasukan berkuda, 1.000 orang pekerja paksa, 50 orang mandor, 220 orang wanita, 300 orang pelayan. Perang dengan Belanda pun terus berlanjut.

Namun di tengah usaha Aceh melawan agresi Belanda tersebut, pada tahun 1879, Panglima Tibang yang dipercayakan sultan untuk menggalang diplomasi di luar negeri, berbalik arah. Ia meninggalkan rekan seperjuangannya, bergabung dengan Belanda untuk kemudian menyerang Aceh. Kepercayaan yang diberikan raja Aceh kepadanya pun dibalas dengan pengkhianatan. Tak pelak, nama Panglima Tibang sampai kini tertoreh di sanubari rakyat Aceh sebagai pengkhianat yang tak terampuni.

Pelabelan nama Panglima Tibang sebagai pengkhianat nomor wahid pun terus berlanjut sampai kini. Dalam sejarah konflik Aceh, tak terkecuali ditubuh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) nama Panglima Tibang selalu diberikan kepada orang-orang yang berkhianat atau menyerah kepada pemerintah. Sebuah label yang nilai kebenciannya melebihi cap cuak, sipil yang menjadi informan terhadap tentara. Kisah pengkhianatan Panglima Tibang itu, kini menjadi catatan kelam sejarah Aceh. ***

Referensi:

1. Prof. Dr Aboe Bakar Atjeh, dalam “Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah” Panitia PKA II, Agustus 1972

2. M Nur El Ibrahimi dalam “Selayang Pandang Diplomasi Kerajaan Aceh”

Sumber : historyofaceh.blogspot.com

Kontribusi Masyarakat Aceh terhadap kemerdekaan RI

Aceh kemudian berhasil berperan menjadi ”daerah modal” bagi bangsa Indonesia untuk melanjutkan perjuangan, ketika hampir seluruh wilayah Indonesia kembali dikuasai Belanda. Dengan cara ”barter”, keperluan perlengkapan tentara dan pemerintah RI diselundupkan ke Aceh dari Penang dan Thailand, antara lain senjata, amunisi, obat-obatan dan lain-lainnya Selain itu, Aceh juga membiayai kegiatan duta-duta dan perwakilan RI di luar negeri dan perwakilan di PBB pada masa perang kemerdekaan, di samping membiayai misi perjalanan Menteri Muda Luar Negeri RI, H Agus Salim ke Timur Tengah, dan mengikuti Konferensi Asia di New Delhi, Aceh juga membiayai pemerintah pusat di Yogyakarta ketika dalam keadaan vakum. Bantuan lain dari daerah Serambi Mekkah dalam usaha dapat mempertahankan kemerdekaan kita adalah dua pesawat jenis dakota dari rakyat Aceh kepada pemerintah RI, yakni Seulawah RI-001 dan Dakota RI-002, ditambah dengan sebuah pesawat jenis Avro Anson RI-004 dari pengusaha-pengusaha Aceh yang dibeli di Thailand, dengan pembayaran dalam bentuk emas murni. Pesawat RI-004 ini diserahkan sebagai sumbangan dari CTC (Central Trading Corporation) di Bukit tinggi kepada Angkatan Udara RI. Tiga buah pesawat sumbangan dari rakyat dan pengusaha Aceh itu merupakan armada pertama milik RI yang digunakan untuk menembus blokade udara Belanda. Sedangkan kepada Angkatan Laut RI disumbangkan oleh pengusaha-pengusaha Aceh (melalui CTC) sebuah kapal berbobot mati 100 ton yang terkenal dengan nomor registrasi PPB 58 LB di bawah Komando Mayor (Laut) John Lie, untuk menembus blokade laut Belanda. (T.M. Syahrul Azwar; Jasa Tanah Rencong bagi Indonesia).
Radio Rimba Raya di Takengon, Aceh Tengah, yang berkekuatan 350 watt telegrafi dan 300 watt telefoni, memiliki jangkauan pancaran sampai ke luar negeri. Radio yang kadang-kadang menamakan dirinya Suara Indonesia Merdeka itu, menyiarkan berita-berita perjuangan serta membantah isapan jempol Radio Batavia dan Radio Hilversum di Belanda, yang menyatakan Republik Indonesia lumpuh ketika Ibukota Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda dan pimpinan perjuangan Soekarno-Hatta ditahan dan diasingkan ke Bangka. Ketika hampir seluruh wilayah Indonesia kembali dikuasai Belanda, sejumlah pimpinan dan kesatuan TNI dari Jawa dan daerah lain hijrah ke Aceh. Di sana mereka mempersiapkan gerakan rakyat dalam bentuk perlawanan rakyat semesta, dan untuk mengantisipasi segala kemungkinan, Banda Aceh dipersiapkan bila diperlukan untuk menjadi ”ibu kota darurat” II bagi Republik Indonesia.
Namun dalam perkembangannya Belanda tidak sanggup lagi melanjutkan nafsu perangnya. Belanda terpaksa menerima penyelesaian melalui perundingan Konferensi Meja Bundar, 23 Agustus 1949 di Den Haag. Sebagai rasa memiliki komitmen terhadap tegaknya proklamasi kemerdekaan Indonesia, rakyat Aceh melakukan long march ke front ”Medan Area” ketika kota Medan (Sumatra Timur) jatuh ke tangan Belanda. Pada masa perang kemerdekaan di antara daerah-daerah di Sumatra, Aceh terkenal memiliki barisan pertahanan yang kokoh dan persenjataan yang kuat. Kegigihan dan keberanian yang sudah menjadi ciri khas masyarakat Aceh mendasari alasan mengapa rakyat Aceh gigih dalam setiap perjuangan mengusir penjajah. Sifat dasar masyarakat Aceh ini juga diakui pemerintah Jepang, sehingga Aceh menjadi basis pertahanan tentara terkuat di Sumatra untuk menghadapi kemungkinan serangan Sekutu dari utara. Hal ini membawa dampak, persenjataan tentara Jepang sebagian besar disimpan di Aceh. Dua faktor inilah yang membuat Aceh memiliki barisan pertahanan yang kukuh dan kuat pada masa awal Kemerdekaan RI tahun 1945. Aceh mampu membentuk sebuah Komando Resimen Istimewa Medan Area atau RIMA. Dari hasil rampasan senjata tentara Jepang, pejuang Aceh melakukan long march ke front Medan Area, untuk membantu saudara-saudaranya sebangsa ketika kota Medan kembali dikuasai Belanda/NICA. Pengiriman pasukan ke Medan Area, yang bermarkas besar di kota Binjai, juga didasari adanya radiogram Panglima Komando Tertinggi Sumatra kepada pemimpin-pemimpin Aceh pada masa itu.
Paradoks Kontribusi
Dengan berperan sebagai Daerah Modal, Aceh telah menjadi bidan bagi perjuangan bangsa Indonesia setelah kemerdekaannya diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta. Namun, yang sangat mengherankan manakala peranan Aceh yang tidak kecil dalam menegakkan, mempertahankan dan mengamankan proklamasi kemerdekaan Indonesia dalam berbagai buku sejarah hampir tidak mendapat tempat yang proporsional dan tidak tercatat secuil pun dalam buku sejarah yang disusun Sekretariat Negara berjudul 30 Tahun Indonesia Merdeka periode 1945-1975. Sesungguhnya dalam sejarah masa lalu, jiwa rakyat di Aceh ada di Indonesia. Jiwa rakyat Aceh mewujudkan komitmen tegaknya negara Republik Indonesia telah dibuktikan pada masa-masa kemerdekaan.
Janji Soekarno yang telah meluluhkan hati seluruh rakyat Aceh pun tak kunjung ditepati. Padahal, Presiden Soekarno, sambil menyeka air mata, berulang-ulang bersumpah. “Wallahi, Billahi, demi Allah, kepada daerah Aceh akan diberikan hak menyusun rumah tangganya sesuai dengan syariat Islam. Wallahi, saya akan mempergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan syariat Islam di daerahnya.”
Di lain kesempatan Soekarno memuji rakyat Aceh “…rakyat Aceh adalah pahlawan. Rakyat Aceh adalah contoh perjuangan kemerdekaan seluruh rakyat Indonesia, seluruh rakyat menjadi obor perjuangan rakyat Indonesia…’
Namun, janji dan pujian menjadi kenangan. setelah hampir 64 tahun kertas itu ditanda tangani, keinginan rakyat Aceh masih terganjal berkat kelihaian politik Soekarno.
Hingga sekarang pemberlakuan syariat Islam di Aceh terkesan merupakan “barang lama dengan bungkusan baru”. Artinya, penerapan syariat Islam di Aceh hanya menyangkut masalah-masalah yang tidak krusial. Pencantuman bismillah di awal surat pemerintahan, penanggalan hijriah, dan kantor pemerintahan ditulis dengan bahasa Arab sudah dianggap menerapkan syariat Islam. Juga hukuman cambuk ringan bagi pencuri, penjudi dan pezina, serta merazia wanita tak berjilbab. Namun, mengapa hukum Islam dibidang pemerintahan, pidana, perdata, ekonomi, atau keuangan tidak dimasukkan. Apakah rakyat Aceh “tertipu” lagi? Atau rakyat Aceh sendiri yang telah lupa dengan niat dan tujuan awalnya?
Wallahu ‘alam bi shawab
Sumber : wahyuehsan.wordpress.com

Senin, 17 Januari 2011

Antara Baghdad dan Kutaraja

Perang adalah seni hidup bernilai mahal dan universal. Betapa tidak? Dalam perang terjadi pergumulan antara rasa benci dan cinta; ... darah, air mata dan nyawa; keangkuhan dan rendah hati; ... keberanian dan ketakutan; ... ingin hidup dan mati; ... rasa ke-kami-an dan harga diri; ... kesetiaan dengan pengkhianatan; ... kepatuhan dan keingkaran; ... kehidupan dan kematian; ... keserakahan dan dermawan; ... alat perang convensional berhadapan dengan alat perang tradisional; ... bengis dan kasih sayang; ... moral dan inhumane, ... kemunafikan dengan keikhlasan; ... pihak yang merebut dan mempertahankan hak; ... agressor dan pihak yang dihabisi; ... munajat orang yang membunuh dengan do’a orang yang dibunuh [di Australia, John Howard menghadiri acara do’a bersama dalam sebuah Gereja agar serdadu yang dikirim untuk membunuh bangsa Iraq selamat, sementara di Masjid-Masjid di kota Baghdad dan kota-kota lainnya, kaum muslimin bertakbir dan berdo’a agar Allah menyelamatkan hidup mereka dari prilaku sang agresor]; ... propaganda dengan realitas dalam medan perang. Semuanya larut dalam perang.
Perang benar-benar mengandung multi dimensi kemanusiaan yang amat paradox. Manusia bisa belajar untuk memahami betapa mahalnya nilai-nilai kemanusiaan yang dilahirkan dari perang itu sendiri. Ya, perang tak ubahnya seperti sebuah lukisan ekpresionisme, sarat dengan warna-warna kontras dan paradoxi yang masing-masing bertarung mengatas namakan manusia, kemanusiaan, kekuasaan dan perdamaian. Bahkan perang yang ditakuti dan dibenci manusia itu dikatakan: ”Si vis pacem, para bellum” (Jika anda inginkan keamanan, bersiaplah untuk perang)
Dalam konteks ini, masyarakat dunia sedang menyaksikan adu kekuatan antara Iraq melawan tentara sekutu . Yang hebat propaganda-lah nantinya tampil sebagai pemenang. Orang Aceh blang: ”Talo prang kareuna taki.“ 
Sesudah mengikuti jalannya perang lewat layar TV, mengingatkan saya kepada kisah perang Aceh, yakni: ketika Belanda melancarkan agresi ke dua ke atas Acheh, pada 25. Desember 1783 yang dipimpin oleh General Van Sweten dan Genderal Van Spijck dengan kekuatan 8.000 serdadu yang didatangkan dari Jawa-Madura menyerang Istana Sultan Acheh. ”Pada 6. Januari 1784, Belanda masuk ke Pante Pirak, dengan demikian, setelah satu bulan lebih lamanya baru Belanda bisa merambah maju sejauh 4 batu. Perang tidak berhenti siang malam. Pada 12. Januari, Belanda masuk ke kawasan Kuta Gunongan, artinya bisa maju hanya kira-kira 750 meter, itupun setelah berperang selama satu minggu. Dari Kuta Gunongan ke Istana Sultan Acheh berjarak 100 meter saja. Namun begitu, tentara Acheh tetap mampu bertahan dan setelah berperang selama 12 hari 12 malam barulah Belanda bisa memasuki kawasan Istana Sultan Acheh. Itupun karena diputuskan supaya mengosongkan Istana, sebab ketika masa itu sudah merebak penyakit kolera, akibat banyaknya korban dalam peperangan. Pada 24. Januari 1874, setelah berperang dua bulan lamanya, dalam jarak 5 batu, barulah Belanda masuk Istana dan serdadu Belanda tidak menjumpai seorangpun di dalamnya.” Baca: Perang Acheh.
Tujuan perang ini hanya satu, yaitu: Surat menyerah dari Sultan Acheh! Sebab inilah syarat utama dalam perang yang sekaligus menentukan: siapa yang kalah dan siapa yang memang perang. Ketika surat menyerah tidak didapat, perangpun berlanjut sampai tahun 1942. Ketika itu, Van Sweten mempropagandakan kepada masyarakat dunia bahwa: Acheh telah ditawan dan takluk. Kebohongan Van Sweten kemudian terbukti, bahwa ternyata bangsa Acheh terus memberi perlawanan, sampai hengkangnya Belanda dari Acheh. Di penghujung karier Van Sweten, dia berkata: ”Acheh tidak bisa dikalahkan, meski kita tanami biyonet diatas rumput seluruh bumi Acheh”. 
Masuknya pasukan Van Sweten bersama ribuan serdadunya ke dalam Istana Sultan Acheh, mengingatkan kita kepada kisah masuknya Napoleon bersama ribuan serdadu Perancis ke dalam Istana Presiden Rusia tahun 1912, dimana beberapa hari sebelumnya, Istana tersebut sudah dikosongkan terlebih dahulu dan Napoleon tidak menemukan seorang pun dalam Istana, konon lagi mendapat sehelai kertas dari pemimpin Rusia. Apa akibat daripada perang yang dilancarkan Napoleon ke atas Rusia? Perang ternyata bersambung, hingga meletusnya perang Dunia I dari tahun 1914- 1918, dan tidak terkira kerugian harta benda dan kemusnahan bangunan-bangunan bernilai seni. 
Apa akibat perang antara Acheh-Belanda 1873-1942? 250.000 pejuang Acheh gugur dalam medan perang. Kerugian harta benda di pihak Acheh tidak terhingga dan yang menderita gangguan jiwa sakit saraf 1500 orang. Mereka dipindahkan oleh Jepang tahun 1942 dari penjara Aceh ke Pusat penampungan orang gila di Tanjung Rambutan, Perak Malaysia. Sementara di pihak Belanda, mengaku 150.000 mati. [angka ini berdasarkan data militer Belanda]
Kini, pada Kamis, 20. Maret 2003, Iraq , negeri bersejarah dengan kisah seribu satu malam, tokoh Abu Nawas dan keagungan tamadun manusia; untuk kedua kalinya mesti berhadapan dengan kekuatan tentara sekutu. Presiden USA memperhitungkan perang ini hanya memerlukan masa tiga hari, Baghdad akan ditawan dan takluk. Tetapi berselang satu hari kemudian, Bush berkata: ”perang melawan Irak tidak semudah yang diperkirakan”. Pasukan tentara sekutu diberitakan telah masuk secara merathon melewati satu demi satu kota dari arah perbatasan Kuwait menuju Umm Qasr terus merambah masuk ke kota Basra. Untuk menggambarkan situasi sebenarnya di medan perang, Menteri Penerangan Irak, Mohammed Sahef berkata: "Para pejuang Iraq berjuang dengan heroik dan mengajarkan bagaimana cara-cara perang kepada penjajah. Para pejuang Iraq akan menampar muka-muka gengster dari AS dan Inggris itu agar mereka terbirit-birit kembali ke kampung halamannya. Pasukan Iraq berhasil membuat keok tentara sekutu di selatan Iraq," Para agresor ini akan menarik mundur pasukannya setelah mereka menerima 'pelajaran' dan mengalami banyak kehilangan”
Media Barat menyiarkan bahwa kota Basrah telah ditawan, tetapi realita di medan perang sesudah memasuki hari ke lima, peperangan antara serdadu sekutu melawan tenatra Iraq yang disokong penduduk Basrah masih saja berlangsung sengit. 
Kemudian, pasukan sekutu dikabarkan juga telah mara ke Nasiriyah, untuk selanjutnya menuju Najaf, ke kota Al-Hillah dan Karbala (kota bersejarah, dimana cucu Rasulullah . Karbala berdrah. 
Kota-kota di bagian tengah Iraq ini, sarat dengan nilai sejarah yang perlu dikenang dan dipahami dalam konteks perang melawan kejahilan. Sebenarnya, tidak saja kota-kota di bagain tengah saja yang menjadi perbincangan, pertarung politik dan militer, melainkan juga kota Mosul, Kirkuk dan Kurdis yang terletak di bagian Utara Iraq, penuh dengan peristiwa-peristiwa bersejarah, terutama semasa daulah Osmaniyah Turki berkuasa di sana. Tidak perlu heran, kalau tentara sekutu bernafsu menakluki kota Mosul dan Kirkuk dan tentara Turkipun memancing di air keruh untuk memasuki wilayah Kurdis. Mengapa?

Pertama, bagi bangsa Kurdis, yang terjepit oleh politik Turki selama beberapa abad, ingin memanfaatkan serangan serdadu sekutu ini sebagai peluang menuntut negara merdeka. Oleh sebab itu, tentara Turki masuk ke Kurdis semata-mata membuyarkan hasrat dan harapan bangsa Kurdis merdeka. Apalagi, sejak tahun 1918, bangsa Kurdis telah berjuang untuk merubah status Kurd dari suatu bangsa >>kepada suatu negara merdeka. Sheik Mahmud al-Barzani, pemimpin pergerakan kemerdekaan Kurdis pada masa itu telah mempersilakan serdadu Inggeris dan India untuk membantu sebagaimana disepakati dalam ”Perjanjian Anglo-French”. Perjanjian tersebut dipandang sebagai azimat oleh Sheik Mahmud al-Barzani untuk men-”transform his people into a nation”. Nasib perjanjian ini mengambang sampai sekarang, sampai akhirnya wilayah Kurdis yang luas dan berpotensi jatuh ke tangan penguasa Iraq. Soal merdekanya Kurdis atau akan dilaksankanakannya self-determination dalam wilayah Iraq, sebelumnya telah ditangani oleh Colonel Sir Arnold Wilson, sebagai pejabat Administrasi civil Inggeris di wilayah Iraq. Sayangnya, emrio kemerdekaan Kurdis ini justeru dugugurkan oleh Arnold sendiri tahun 1919. Bahkan dia meminta kepada Churchil untuk menggunakan kekuatan senjata menghancurkan harapan bangsa Kurdis. 
Kedua, soal Mosul, yang menurut sejarahnya adalah wilayah impayer Osmaniyah Turki. Pada tahun 1922, Inggeris-Turki berjanji akan menyerahkan Mosul kepada Iraq tahun 1923. Kamal Atatuk yang kemudian menyesal dengan perjanjian itu, melancarkan invasi lagi ke Mosul, sebab kota kaya minyak yang sebelum tahun 1922 sudah dikelola oleh joint Venture antara Inggeris-Turki. Akankah Turki hendak menguasai Mosul kembali?
Ketiga, soal Kirkuk, yang sejak tahun 1927 sudah dibuka “Turkish Oil Company” di kawasan Iraq, dimana Perusahaan Minyak ini didanai oleh usaha patungan antara: Inggeris–Turki–Perancis dan Amerika. Agar perusahaan tersebut tidak diganggu gugat oleh pemerintah Iraq, maka tahun 1930, dijanjikan kemerdekaan Iraq dan diberi pengakuan (recognition) dari negara penanam saham di Kirkuk, Iraq. 
Jadi kehadiran tentara Turki dan serdadu sekutu ke Iraq nampaknya rencam dengan berbagai kepentingan politik dan ekonomi. Ini perang yang dirancang secara matang berskala internasional. Ini perang mempertarungkan kepentingan kaum kapitalis >memperebutkan kilang minyak seluruh bumi Arab<, kata pengamat politik di dunia Arab. Ini perang Euro dan Dollar, kata pengangat politik di Europah. 
Terlepas dari Iraq mesti membayar mahal demi mempertahankan maruah, yang pasti perang ini akan berlumur darah manusia dan hancurnya bangunan–bangunan bernilai sejarah maha agung. Perang ini akan ada keputusan final: siapa yang kalah dengan kepala tertunduk dan siapa yang menang. 
Yang sudah jelas kalah sebelum akhirnya dikalahkan ialah: kekalahan kemanusiaan dan moral PBB yang bankrut dalam upaya mengakhiri perang ini. Badan dunia ini yang tidak bertanggungjawab atas kekejian yang amat menjijikkan.
Klimaks perang ini akan berlangsung di kota Baghdad dalam beberapa hari mendatang. "Kami sengaja membiarkan mereka melewati gurun pasir. Dan kami mengundang mereka masuk kota Baghdad untuk 'memberikan pelajaran' kepada pemerintahan setan dan konco-konconya," Kata Menteri Pertahanan Irak. Biar nantinya air sungai Tigris menjadi saksi bisu akan keberingasan manusia. Sungai Tigris yang membelah kota Baghdad, berulang kembali dalam putaran jarum sejarahnya, mejadi sebutan dan ingatan manusia setelah dilupakan orang, ketika terjadi perang Salib yang amat dahsyat itu. 
Di dalam sungai Tigris, untuk pertama sekalinya terdampar dua pilot angkatan Udara USA dan British yang jatuh ditembak, akan mengingatkan kita kepada pasukan tentara Salib yang membunuh ratusan ribu manusia dan membumi hanguskan ratusan ribu buku-buku ilmiyah mengenai: Kedokteran, Sociologi, Aljabar, Anthropologi, Humanisme, Falsafah, Sejarah, Fisika, Pengobatan, Hukum Islam, Ilmu antariksa dll. Setelah isinya dicuri, buku-buku berharga tersebut dibuang ke dalam sungai Tigris. Air sungai Tigris, selain mengalir dengan darah-darah merah manusia, segera berubah warna menjadi biru, akibat tumpahan dawat buku-buku yang sangat bersejarah itu. Akankah Sungai Tigris berubah menjadi sungai darah kembali? 
Jika meletus juga perang di Baghdad, maka perang ini disifatkan sebagai suatu perang: dimana tidak ada orang yang akan memberi ampun dan tidak ada seorangpun yang akan diampuni. Perang akan terjadi dari lorong ke lorong dan siang-malam. Keadaannya persis seperti dibayangkan Mansie, seorang demonstran di Spanyol: "Perang ini immoral, illegal and mad (tidak bermoral, tidak legal, dan gila)." Tidak bermoral, karena apapun alasannya, serangan-serangan AS dan sekutunya itu telah mengorbankan nyawa anak manusia titisan Tuhan. Ada korban anak yang tidak tahu apa-apa soal politik. Ada rumah yang seharusnya menjadi tempat hunian, kini sudah rata dengan tanah. Tidak legal, karena serangan AS dilakukan tanpa mendapatkan mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Walaupun Ketua Tim Pemeriksa Persenjataan PBB, Hans Blix sudah melaporkan, "Ada kemajuan dalam pelucutan senjata Irak." Bahkan, kata Mansie: ”98 persen manusia di dunia, entah itu Islam, Kristen, Budha, Atheis, Yahudi atau apapun, ingin hidup damai, bisa makan, menyekolahkan anak-anak serta hidup aman dan harmonis dengan tetangga. Kita sedih dengan 2 persen lainnya yang membuat dunia ini trauma dengan sikap mereka yang lapar kekuasaan, agresi, manipulasi dan kekerasan. Kita semua menginginkan damai dan pemimpin baru.” 
Perang masih bisa dielakkan, jika pihak yang terlibat dalam perang ini mendengarkan jeritan manusia yang bergelora di seluruh penjuru dunia. Dalam konteks ini, ”Paus Yohanes Paulus II telah menyatakan kesedihannya atas invasi itu. Paus berkali-kali mengimbau agar serangan tak dilakukan. Pesan itu juga tidak didengar. Pesan para biksu dari Thailand juga bernasib sama. Suara rakyat, juga tidak didengar. Berbagai demo di dunia, merupakan refleksi dari dari penentangan umat di dunia atas perang, sepertinya dianggap angin lalu saja.
Mereka, menyerukan dukungan, bukan buat siapa-siapa tetapi pada aspek kemanusiaan. Aspek kemanusiaan, yang tidak mengenal suku, agama, ras dan golongan. Vox popoli vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Adakah Bush, Blair, Arnaz, mendengar suara dei? Hakekat demokrasi pun kini menjadi satu hal yang menjadi pertanyaan. Menurut United for Peace and Jusctice, di dalam negara demokrasi, sikap dan tindakan pemimpin seharusnya tidak melenceng dari keinginan rakyat. Ironisnya, AS, Inggris, Spanyol, adalah negara-negara yang memproklamirkan diri sebagai negara demokrasi. Mereka tidak saja mengabaikan Saddam Hussein, tetapi juga mengabaikan rakyat di dunia. Bush, Blair dan Arnaz off track dari rel yang diinginkan rakyat dunia, untuk mereka jalani. Kekuatan moral telah kalah dalam invasi itu.
Lebih buruk lagi, Perancis, Jerman, Rusia, Cina, PBB seperti mengulangi lagi tindakan Pontius Pilatus (Prokurator Romawi di Judea pada Kekaisaran Tiberius). Pilatus menyerahkan--meski memiliki kekuasaan--keputusan penyaliban Jesus kepada orang Jahudi.Perancis cs hanya bisa menolak invasi tetapi tidak berbuat apapun menghindari perang brutal di Irak. Padahal, hanya mereka yang memiliki senjata, lobi, yang mendekati kekuatan senjata AS.”( Kompas, 23/3/2003)
Kota Baghdad masih berdiri, kendati sudah sempoyongan, sebab beberapa bangunan, termasuk Istana Presiden Saddam Husen dikabarkan sudah ranap. Baghdad masih bersuara, masih menunggu seteru yang dinanti-nantikan tiba, agar perang yang sesungguhnya nyata. Kalau Masjid Baiturrahman Kutaraja menjadi pusat pertahanan tentara Acheh melawan serdadu Belanda, mengapa tidak Masjid-Masjid di Baghdad. Masjid-Masjid di Baghdad masih berdiri tegak, yang alasnya dikuatkan oleh kaki-kaki orang shalat, dinding dan atapnya dikukuhkan oleh gema takbir dan suara azan, yang menyeru manusia kepada pembebasan dari perbuatan keji dan mungkar serta menggapai kememangan dunia akhirat. Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.
Seperti sudah dibayangkan di atas bahwa perang ini sarat dengan „... keberanian dan ketakutan; ... ingin hidup dan mati; ... kesetiaan dengan pengkhianatan“, ternyata segalanya terungkap. Iraq yang memiliki persenjataan perang modern: 400.000 personel tentara terlatih, puluhan pesawat tempur taktis, ribuan tank anti peluru, senjata kimia yang pernah disemburkan ke kota Khurasham (sewaktu perang Iraq-Iran) dan dalam sejarahnya, dalam jangka 3 hari saja mampu menakluki Kuwait; ternyata anak cucu Nebukadnezar yang dikenal garang berperang berkhianat. Pemimpin garda revolusi diikuti oleh sebagian besar tentara nasional Iraq berkhianat, hingga semua senjata perang ini tidak bisa difungsikan secara maksimal, termasuk pengkhianatan oleh famili yang menyembunyikan Sadam Husein di kota Tirkit. Negeri seribu satu malam dengan tokoh Abu Nawas yang kaya raya akal itu, ternyata lesu dan buntu pikiran. Akhir dari perang Iraq ialah: Amerika kehilangan ribuan tentara terlatih dan bangkrutnya perekonomian USA. Sementara Iraq, matinya ratusan ribu rakyat sipil dan hancurnya sarana umum. Lebih dari itu, yang kalah total dalam perang ini adalah hancurnya nilai kemanusiaan!
Akhirnya, dari perang ini didapati aksioma bahwa: senjata (semodern apapun) bukanlah suatu jaminan yang menentukan menangnya suatu perang. Prancis dan Amerika Serikat yang memiliki senjata convensioanl perang misalnya: ternyata keok melawan Vietnam, yang memiliki senjata tradisional. Tentara Prancis dan Amerika Serikat rontok semangat dan kehilangan kekuatan jiwa dan moral dalam perang di Vietnam. Secara psychis, faktor jiwa sangat penting dan menentukan, sebab manusialah yang menghidupan dan menggunakan senjata. Komitmen dan kekuatan jiwa suatu bangsalah yang mampu memenangkan perang. Wallahu’aklam bissawab!

Sumber : www.acehvision.com

Kiprah Ulèëbalang Di Aceh

LITERATUR yang meriwayatkan Ulèëbalang terbatas sekali, sehingga agak sulit mengungkap secara detail tentang status dan peranan Ulèëbalang dalam pemerintahan Aceh di masa silam. Untung, catatan pribadi beberapa pegawai pemerintah Belanda yang bertugas di Aceh merekamnya.
Menurut sejarahnya, jabatan Ulèëbalang sudah lama dikenal di Aceh –paling tidak– sejak tahun 1641-75 (semasa pemerintahan Sultan Safiyat ad-Din Taj al-Alam dan Raja Permaisuri Putri Sri 'Alam 1675-78 Sultan Naquiyat ad-Din Nur al-Alam) sudah wujud. Njak Asiah atau Tjut Njak Karti yang dipanggil juga Tjut Njak Keureutoë, adalah Ulèëbalang bijak yang memimpin wilayah Keureutoë dan sekitarnya (priode: 1641-75). Dalam rentang masa yang sama, Ulèëbalang Tjut Njak Fatimah berkuasa di Meulaboh. Begitu pula Ulèëbalang Po Tjut Meuligo di Salamanga yang berkuasa tahun 1857, merangkap sebagai penasehat perang dalam perlawanan menentang Belanda. Ulèëbalang Tjut Njak Dien, yang menguasai wilayah Mukim VI yang mencakupi 25 Sagi, daerah militer di Aceh Barat, dimana Ayahnya (Teuku Nanta Setia) dikenal sebagai Panglima Perang yang menurut sejarahnya pernah bertugas sebagai Duta Besar Aceh di Kerajaan Pagaruyung Sumatera Barat, yang diwarisi sacara turun-temurun sejak Sultanah Tajjul Al-Alam. {Informasi ini sekaligus menjadi rujukan pembanding kepada Teuku Kamal Fasya, yang menyebut Tjut Njak Dien berdarah Minang. Serambi Indonesia, november, 2009}. Ulèëbalang Po Tjut Baren Biheuë di Aceh Barat yang gigih melawan Belanda, walau kemudian Lieutenant H. Scheurleer berhasil membujuk dan memberi kaki palsu kepadanya setelah ditembak oleh pasukan Belanda dan sampai mati setia kepada Belanda.
Tjut Njak Meutia adalah Ulèëbalang berani mati, yang bergabung dengan suaminya (Teuku Thjik di Tunong) sewaktu melawan Belanda. Setelah suaminya mati syahid, beliau tampil sebagai komandan bersama 45 pasukan dan punya 13 pucuk senjata. Fakta ini membuktikan bahwa kaum Ulèëbalang –Tjut-Tjut dan Teuku-Teuku– sebenarnya, selain berdarah biru, juga berani bertandang menumpahkan darah merah! Namun, ada saja suara minor yang menilai Ulèëbalang sebagai kaum elite, arogan dan berpihak kepada Belanda, terutama setelah meletus perang Aceh tahun 1873 - tahun 1945.
Dalam perkembangan selanjutnya, dakwaan negatif yang ditujukan kepada Ulèëbalang terbukti, ketika Belanda menerapkan pola “Serampai Tiga Mata” secara serentak menyerang Aceh: yakni: (1). Operasi militer, dengan membuka front perang di semua lini melumpuhkan pejuang; (2). Mematikan sumber ekonomi rakyat, dengan cara membakar kampung, menebang pohon-pohon yang menghasilkan buah2-an, membunuh hewan ternak yang ditinggalkan {Testimony Thomsom, MP, debat soal Aceh dalam Sidang Parlemen Belanda, 5-6 November 1907}. (3). Menyekat/menjarah asset Aceh, dengan cara menguasai sumber utama perekonomian negara yang dikelola oleh Ulèëbalang. Untuk itu, Belanda mendekati, mitra dagang dan sekaligus menyekat kuasa Ulèëbalang yang sebelumnya diberi kuasa oleh Sultan Aceh untuk mengelola hartanah negara Aceh.
Dalam struktur pemerintahan Aceh, Ulèëbalang adalah aparatur negara Aceh yang dilantik resmi oleh Sultan dengan “cap sikureuëng” (cap negara Aceh) yang diberi hak otonomi khusus untuk mengelola hartanah negara untuk membiayai roda administrasi pemerintahan dan perang. Dalam hierarchi pemerintahan, posisi Ulèëbalang sangat menentukan pola kebijakan politik Sultan. Bahkan diakui, secara teori di bawah kekuasaan Sultan, akan tetapi dalam prakteknya adalah “king” yang punya kewenangan mutlak di suatu kawasan. { James T. Siegel dan The Rone of Cod Berkeley and Los Angeles University of California Press.}, yang meneliti di Pua, Aceh Timur. Misalnya, dalam (priode: 1855-1873), Sultan Aceh memerintahkan Ulèëbalang Idi Rayeuk dan Simpang Ulim supaya nilai ekport dari sektor perkebunan ke Penang mencapai 100,000 pikul/tahun. “Diketahui, pada tahun 1873 saja, kawasan Simpang Ulim dan Idi Rayeuk diperkirakan menghasilkan lebih dari 35,000 pikul; Juluk Rayeuk, Peureulak dan Peudawa Rayeuk mencapai 10,000 picul/tahun.” {Ch. Bogaert "Nota van toelichting over De Oostkust van Atjeh". J.A. Kruijt melaporkan dalam ”Atjeh en de Atiehers. Leiden: Guaith Kolff, 1877. p. 234.}
Segalanya berubah setelah perang Aceh meletus. Beberapa Ulèëbalang kini menjadi mitra Belanda yang diserahi mengelola Perkebunan Lada, Kelapa Sawit, Minyak goreng dan perusahaan Minyak gorèng. Contoh: Aceh Timur, khususnya wilayah Simpang Ulim yang kemudian diblockade Belanda; merupakan produsen Lada terbesar tahun 1877 yang dikelola kaum Ulèëbalang; kantong-kantong perekonomian dikontrol langsung. Penerimaan dari semua sektor dibebani Belanda membayar pajak sebesar 40 %. Beban ini sebagai pengganti. Artinya: jika sebelumnya disetor kepada Sultan, sekarang disetor kepada Belanda. Pada hal sebelumnya, Sultan Aceh hanya membebani satu suku (1.25%) setiap pikul. Begitu pun, tidak semua Ulèëbalang mau menyetor pajak dan sikap ini pernah memperuncing situasi politik antara Ulèëbalang-Sultan. “Karena Ulèëbalang mengabaikan pembayaran kepada Sultan dalam beberapa priode, ini sudah tentu mengurangi pendapatan negara, tetapi dari sudut pandang hukum adat yang hidup ketika itu, mempersolkan aturan mainnya.” {Teukè Mohsin, "Atjeh, Mei - September 1899", LCL I. (1900), halaman 79} Jadi, adakalanya kuasa Sultan berkurang, dikala mayoritas Ulèëbalang mengabaikan kewajibannya.

Kaum Ulèëbalang Peureulak dipercaya Belanda mengelola dan diberi ‘licence’ untuk mencari sumber minyak pada “Perlak Petroleum Company.” Pada tahun 1895, produksinya anjlok akibat dikuranginya beberapa ‘licence’. {Paul van't Veer. De Atieh-Oorlog. Uitgever; De Arbeiderspers. 1969. p. 216.} Tapi, maju kembali setelah perusahaan ini dialihkan kepada “Royal Company for the Exploitation of Petroleum Wells in the Netherlands Indies” di Telaga Said Langkat dan baru dimulai beroperasi pada akhir abad ke-19.
Di awal tahun 1900-an –di saat para pejuang Aceh terus berguguran di medan perang– Ulèëbalang Peureulak mendadak kaya raya dari hasil kompensasi sebesar f 54,097.77 selama setahun kerja (1904-1905 di “Perlak Petroleum Company”, ditambah pesangon selama 10 bulan (January-September) yang mencapai f 36,896.31. Setelah tahun 1915 terjadi perubahan, dimana kaum Ulèëbalang hanya dibayar gaji setiap bulan. Misalnya: Teuku Thjik Muhammad Tayeb (Ulèëbalang Peureulak) digaji sebesar f 1,000/bulan; Ulèëbalang Idi Rayeuk digaji f 968.507/bulan; Ulèëbalang Langsa f 400/bulan, sementara Ulèëbalang di Peudawa Rayeuk digaji hanya f 125/bulan. {Laporan R. Broersma dalam "De Locomotief", July-October, 1923 p 39.} Sistem penggajian yang tidak seragan ini ditantang. Teuku Thjik Muda Peusangan misalnya, mengundur diri karena tidak sepakat dengan patokan Belanda. {Paul van 't Veer, De Atieh-Oorlog. Uitgever; De Arbeiderspers, halaman 217.
Di sini, kontradiksi fakta wujud, artinya: pada saat sebilangan Ulèëbalang di Aceh Timur berpesta menikmati dana kompensasi dan pesangon dari tuannya (Belanda), di masa bersamaan kelompok Ulèëbalang di belahan bumi Aceh lain: Teuku Keumangan bertarung melawan Belanda dan menewaskan Kapten Helden, komandan pasukan Belanda (1905); ... Teuku Johan menesaskan Vander Zeep (1905); ... Teuku Tandi Bungong Taloë menewaskan de Bruijn di Meulaboh (1902); Teuku Tjhik Muhmamad dan Teuku Tjhik Tunong di Keureutoë menewaskan Steijn Parve (1902); ... Teuku Nago bersabung dengan serdadu Belanda yang menewaskan Behrens dan Molenaar; ... Teuku Raja Sabi mati syahid dalam medan perang Lhôk Sukon (1912) dan pasukan Marsusé menyerang membabi-buta dan membunuh orang tua, anak-anak dan perempuan di Kuta Rèh tahun 1905; tindakan teror, intimidasi, aniaya terjadi di mana-mana. Dari tahun 1920-an – 1942 saja, tidak kurang 10 kali lagi terjadi peperangan besar antara pejuang Aceh versus Belanda. {Perang Aceh. Paul van 't Veer.}
Biarlah fakta ini tegak menjadi saksi, agar semua orang tahu selintas kifrah Ulèëbalang dalam lembaran sejarahan Aceh, sekaligus mengenal wajah penjajah: yang telah ‘berhasil’ memilah-milah, mencabik-cabik semangat, sentimen kolektif, kekuatan dan rasa ke-Aceh-an, sampai kita kehilangan prestige dan tidak mampu menjawab: ‘siapa sebenarnya kita di depan cermin sejarah Aceh.

Sumber : www.acehvision.com

Islamikah Budaya gayo?

Sejak pemerintahan Genali (Raja Linge 1) yang berpusat di Buntul Linge, Islam sudah bertapak di tanah Gayo. Acara penyumpahan oleh qadhi malikul ’Adil kepada semua aparat kerajaan di lingkungan kerajaan Linge dilaksanakan mengikut tatacara Islam, budaya menuntut ilmu –menyekolahkan Johansyah (anak sulung raja Linge) ke Dayah Cot Kala, Peureulak dibawah asuhan Sjèh Abdullah Kan’an– dan upacara pengkhitanan menurut syariah Islam sudah diamalkan pada ketika itu. Semenjak itu pula istilah ”Sunet Rasul” yang berarti ”khitanan” sudah dikenal, sehingga dalam masyarakat gayo dianggap lumrah jika orang bertanya: ”Nge ke sunet rasul ko Win” (”Sudahkah kamu dikhitan”). Ini diantara fakta yang membuktikan bahwa peradaban Islam ketika itu sudah wujud. Bahkan, atas dasar pertimbangan kemanusiaan dan ikatan persaudaran Islam; Raja Linge mengizinkan rombongan Malik Ishak (pelarian politik asal Peureulak lebih kurang 300 jiwa) untuk tinggal dan sekaligus diberi hak untuk mendirikan kerajaan Islam di Isaq, yang kemudian bernama Kerajaan Malik Ishaq, berdiri puluhan tahun sebelum Kerajaan Pasè di bawah pimpinan Malikus Salèh yang berasal dari keturunan Datok Mersa dari tanah Gayo. Malik Ishaq diperintahkan abangnya (Raja Peureulak) untuk menyingkir ke daerah pedalaman, dengan maksud mempersiapkan bahan logistik untuk menghadapi serangan serdadu Sriwijaya ke atas Kerajaan Peureulak. 
Islam mengajarkan bahwa salah satu kebajikan adalah menyantuni musafir yang memerlukan pertolongan (Surah Al-Baqarah, ayat 177). Rasa pri-kemanusiaan dan solidaritas inilah dituangkan dalam falsafah gayo: ’setie maté, gemasih papa, ratip sara nanguk, nyawa sara peluk’ (’Setia sampai mati, kasih hingga papa, ratip satu angguk, nyawa satu peluk’) dan kesetiaan orang Gayo terlukis dari pepatah ini: ’Patal terlis tauhi uren, aku gere rejen bertudung tetemi, bier murensé tubuh ôrôm beden, aku gere rejen berubah janyi’ (’Pematang sawah diguyur hujan, aku tak rela bertudung kayu jerami, walau hancur tubuh-badan, aku takkan mau berubah janji’) Dalam pergeseran nilai-nilai sosial, ini mesti diuji kembali.
Pengaruh Islam dalam budaya gayo terjadi melalu proses peng-gayo-an beberapa kata Arab. Misalnya saja kata: ’Waaassaluuualéééééééé’! Dalam masyarakat gayo, ucapan ini dikomandangkan secara serentak dengan suara mayor oleh sekumpulan orang ketika hendak meletakkan tiang utama Masjid, Mushalla, jembatan kayu, tiang rumah atau ketika menarik bakal perahu dari hutan ke tepi Danau Laut Tawar. Tanpa disadari, ucapan ini sebenarnya berasal dari kata: ’Wassalamu’alaik’ yang berarti selamat sejahtera. Demikian pula ucapan “Assalamu’alaikum”, ternyata berasal dari bahasa Arab. Umat muslim dianjurkan: “Ucapkan: ‘salamu’alaikum’” sebagaimana dinyatakan dalam Surah Al-An’am, ayat 54. 
Selain itu, didapati prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam yang ditransformasi dari bahasa al-Qur’an kedalam bahasa Gayo dalam bentuk pepatah dan sastera. Hal ini ada kaitannya dengan strategi dakwah yang dilancarkan oleh para Ulama sewaktu menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Gayo. Maksudnya, agar orang Gayo tidak shock dan terkejut menerima nilai-nilai dan ajaran agama Islam yang datang dari luar, sehingga para pendakwah terpaksa mencari formula atau melakukan pendekatan kultural untuk memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam jantung hati orang gayo. 
Untuk melihat dari dekat, dapat dibuktikan dari munculnya istilah ’Sumang’, yang dalam takaran adat-istiadat dan pandangan umum menunjuk kepada pengertian bahwa: suatu prilaku dinilai kurang sopan dan kurang beradab bila dilakukan di depan umum maupun di tempat sunyi sekalipun. ’Sumang’ adalah standard moral yang menekankan supaya orang tidak melakukan perbuatan semena-mena –yang melanggar ajaran agama, etika sosial dan moral– dalam masyarakat. Misalnya: sepasang muda-mudi yang bukan muhrim bergandéng tangan atau berciuman di depan khalayak ramai. Ini dinilai suatu penyimpangan terhadap nilai-nilai Islam. Ini berkaitan dengan aba-aba yang berbunyi: ”Kendalikan pandanganmu, pelihara kemaluan (aurat) mu dan pandanganmu jangan culas (berkhianat)” (Q: An-Nur, ayat 30 dan Q: Al-Mukmin, ayat 19). Aba-aba ini di-adat gayo-kan dengan sebutan: ’Sumang penèngonen’. Intinya ialah: jangan sampai pandangan membayangkan hal-hal negatif. Itu sebabnya gadis remaja Gayo zaman dulu selalu menutup aurat ketika hendak keluar rumah, menghindari dari perkara-perkara yang bisa merangsang nafsu birahi kaum lelaki. Ini sejiwa dengan anjuran Allah: ”… janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak darinya…” (Surah An-Nur, ayat 31) dan ”orang-orang yang menjaga kemaluannya” (Surah Al-Mukminun, ayat 5), yang diklasifikasikan Al-Qur’an sebagai orang yang menang. 
Akan halnya dengan sikap angkuh dan sombong, menampilkan diri dengan pakaian dan perhiasan yang berlebihan. Inilah yang dinamakan ’Sumang perupuhen’ (pakaian). Dari itu, ’Sumang’ juga simbol hukum yang di dalamnya mengandung unsur ’preventif’ terhadap tindakan yang dinilai bisa merusakkan nilai-nilai Islam. Dalam konteks ini, ’Sumang’ adalah kata lain dari perintah Allah: ”Janganlah mendekati zina.” 
Seterusnya, prilaku yang memperlihatkan dirinya sebagai orang paling cantik dan gagah yang berlebihan dan merendahkan pribadi orang lain. Hal seperti ini dilarang, sebab al-Qur’an menyatakan: ”Jangan kamu memalingkan muka karena sombong dan jangan berjalan di muka bumi dengan angkuh…” (Surah Luqman, ayat 18). Anjuran ini ditransformasi ke dalam adat gayo menjadi sebutan ’Sumang pelangkahen’. Demikian pula dengan prilaku melècèhkan pendapat orang lain, menganggap dirinya-lah yang paling benar dan hebat. Ajaran Islam menekankan supaya orang hidup di atas dunia tidak congkak. Allah mengingatkan: ”… Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (Surah Luqman, ayat 18), yang dalam masyarakat Gayo disebut ’Sumang peceraken’. 
Demikian juga, Islam mengajarkan supaya orang berkata sopan, tidak menyakiti perasaan orang lain, menyejukkan hati orang yang mendengarnya. Allah berfirman: ”Jangan teriak. Berbicaralah sopan dengan melembutkan suaramu” (Surah Lukman, ayat 19). Prinsip-prinsip moral ini untuk selanjutnya dijabarkan secara puitis dalam Didong Musara Bintang dengan judul: ”Mongot” (”Menangis”) yang sekerat liriknya berbunyi: ’Manis berperi gelah lagu madu, sejuk natému lagu bengi ni nami. Berperi berabun, bertungket langkahmu, kusihpé beluhmu berbudi pekerti.’ (’Bertutur manis bagai madu, hatimu sejuk bagai embun pagi. Sopan bicara dan pakai kompas saat melangkah dan berbudi perkerti kemanapun pergi’.)
Nilai-nilai kejujuran dan keikhlasan juga dijunjung tinggi dalam ajaran Islam, seperti: ’Katakan dengan mulutmu, seperti yang terlukis di hatimu.’ (Ali ‘Imran, ayat 167) dan ’Bersikap rendah hati dan ucapkan keselamatan kepada siapa yang menegurmu’ (a-Furqan, ayat 63). Ini sejalan dengan sastera Gayo yang mengungkapkan: ’ Tingkah serakah seriet bersebu, aku becerak ari putih naténgku.’ (’Saya berkata dari relung hati yang putih’) Akan halnya dengan rasa kesetia-kawanan dan persaudaraan antara sesama manusia merupakan sisi yang tidak kurang pentingnya. Dalam konteks ini dinyatakan: ”… Dan berpeganglah kamu semua kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai-berai…” (Surah Ali-Imran, ayat 103). Prinsip sosial kemasyarakatan ini, dituangkan oleh pakar adat ke dalam bentuk pepatah Gayo yang berbunyi: ’Rempak lagu ré, mususun lagu belo. Beluh sara loloten, mèwèn sara tamunen ’ (’sejajar seperti sisir, bersusun bagai daun sirih, pergi satu arah haluan, tinggal satu kumpulan’). 
Untuk membangun suatu masyarakat madani, maka ikatan kebersamaan tadi akan semakin kokoh, sekiranya individu-individu menghormati etika, ketentuan hukum dan prinsip-prinsip keadilan dalam masyarakat Islam, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an: ”Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa” (Surah Al-Maidah, ayat 8). Seterusnya: ”… Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri, ibu bapak dan kaum kerabatmu…” (Surah An-Nisa’, ayat 135). Hal ini disenyawakan ke dalam pepatah dan falsafah Gayo tentang keadilan: ’Edet enti pipet atur enti bele, pantiken genuku.’ (’Adat tidak boleh kaku (rigit), aturan tidak boleh pilih kasih, tegakkan keadilan’). 
Akhirnya, pembuktian di atas didasarkan pada kajian ilmiah dengan menyertakan refersensi utama –alQur’an, falsafah, pepatah dan seni sastera gayo– dan berusaha me-minimal-kan interpretasi, apalagi unsur-unsur yang dianggap tidak valid dan tidak relevan. Memandangkan keabsahan fakta mengenai hubungan dan pengaruh nilai-nilai Islam dalam peradaban orang gayo yang universal ini, diharapkan orang gayo terangsang rasa ke-gayoan-nya kembali dalam makna yang positif dan bergairah merekonstruksi ke dalam kehidupan sosial masyarakat, berbangsa dan bernegara, terutama oleh penyelenggara negara. Ini memerlukan komitmen untuk menerapkan nilai-nilai qur’ani yang mengacu kepada format hukum dan nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari al-Qur’an dan men-senyawa-kan dengan budaya kita. Tangan kita masih kotor, mengotori nilai-nilai Islam dan budaya. Oleh sebab itu ”…jangan kamu mengatakan dirimu suci…” (Surah- An-Najm, ayat 32). Wallahu’aklam bissawab!

Sumber : www.acehvision.com

Jumat, 14 Januari 2011

Islam di Spanyol: Identitas Baru Kebangkitan Islam

Reconquista

Sejarah Islam di Spanyol memiliki catatan yang panjang. Setelah disintegrasi kekhalifahan, kekuasaan Islam di Spanyol berangsur-angsur terkikis oleh Reconquista Spanyol. Reconquista (penaklukan) adalah proses di mana Kerajaan Katolik Spanyol utara akhirnya berhasil mengalahkan dan menaklukkan negara-negara Muslim di selatan Semenanjung Iberia.

Kota besar pertama jatuh ke tangan Katolik Toledo pada tahun 1085. Setelah pertempuran Las Navas de Tolosa tahun 1212, sebagian besar Al-Andalus jatuh di bawah kendali kerajaan Katolik, satu-satunya pengecualian adalah dinasti Nasrid Emirat Granada.

Titik balik hilangnya jejak Islam di Spanyol adalah Perjanjian Granada. Perjanjian yang ditandatangani oleh Emir Muhammad XII dari Granada itu membuka eskalasi besar toleransi beragama. Pada saat itu, Muslim memang masih dibolehkan untuk menggunakan sekolah, hukum dan kebiasaan mereka sendiri. Tetapi interpretasi dekrit kerajaan sebagian besar diserahkan kepada pihak berwenang Katolik setempat.

Namun mulai 1492, munculah Dekrit Alhambra. Semua kekayaan sejarah dan peraban Islam secara tertulis dalam bahasa Arab diberangus. Pada tahun 1499, para pemimpin Muslim Granada Siktus IV pada 1478.


Pada tahun 1567, Raja Philip II akhirnya benar-benar mendeklarasikan bahwa penggunaan bahasa Arab adalah ilegal, dan melarang agama, pakaian, dan adat Islam Islam. Langkah ini menyebabkan diperintahkan untuk menyerahkan hampir semua buku yang tersisa dalam bahasa Arab, dan kemudian dibakar pula. Awal 1502, di Valencia, kaum Muslim ditawari pilihan untuk dibaptis atau diasingkan.

Sebagian besar memutuskan untuk menjadi seorang ‘Katolik baru', yang disahkan oleh Paus Pemberontakan Kedua Alpujarras dan Pemberontakan Morisco. Dalam satu insiden, tentara yang dipimpin oleh Don John dari Austria menghancurkan kota Galera timur Granada, setelah membantai seluruh penduduk.

Setelah peristiwa itu, seluruh orang Moriscos Granada ditangkapi di seluruh Spanyol. 'Piagam-piagam Pengusiran' untuk pengusiran kaum Morisco akhirnya dikeluarkan oleh Philip III tahun 1609 terhadap kaum Muslim yang tersisa di Spanyol, yang pada saat itu terkonsentrasi di Kerajaan Aragon di utara, dan daerah sekitar Valencia di mana mereka terdiri 33 % dari populasi. Pengusiran resmi resmi selesai pada 1614, meskipun diyakini bahwa lebih dari 10.000 Moriscos tetap di Spanyol.

Muslim Spanyol Era 2000


Di North Hudson Islamic Educational Center, NY, nun terdapatlah sebuah kelas belajar Quran dalam bahasa Spanyol. Selain itu, ada juga Muslim Day yang diselenggarakan setiap tahun.



Sekitar 35 persen dari yang hadir adalah Hispanik, dan di beberapa sudut, ada orang-orang dari Puerto Rico, Dominika, Meksiko, Kuba dan lain-lain yang tengah membaca Syahadat.

Sementara mayoritas Hispanik di Amerika Serikat adalah Katolik, beberapa studi memperkirakan bahwa sebanyak 200.000 Hispanik telah memeluk Islam di negara ini. Diantaranya adalah Musa Franco, seorang Kolombia yang masuk Islam pada usia 13 tahun. Setiap hari ia ke masjid bersama istrinya, Candice Elam. Sedangkan Shari Abdul Malik adalah seorang Kosta Rika.

Kemudian ada Miriam Celeste Colo'n, yang masuk Islam pada tahun 2002. Sejak saat itu, ia menjadikan pakaian gamis dan jilbab sebagai kiblat “mode dan fashion”-nya. Ada juga Muslimah Rodriguez, yang memutuskan masuk Islam pada tahun 2009 langsung mengenakan jilbab.

Islam di Spanyol telah menjadi sesuatu yang mendasar dalam budaya dan sejarah bangsa. Islam hadir di tanah Spanyol modern dari tahun 711 sampai 1492 di bawah kekuasaan orang Arab dan Moor al-Andalus.

Pada tahun 2007, diperkirakan lebih dari 1 juta Muslim tinggal di Spanyol, kebanyakan dari mereka imigran baru dari Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia Selatan, walaupun ada sejumlah besar orang yang masuk Islam yaitu 20.000 orang. (sa/nytimes / wikipedia)

Sumber : eramuslim.com


2008: Bukan 100 Tahun Kebangkitan Nasional

Salah satu kelebihan Kaum Yahudi dibandingkan umat-umat lainnya adalah kebanggaan mereka terhadap perjalanan sejarah kaumnya sendiri.

Berabad silam, di tahun 1118 Masehi, tatkala Knights Templar dibentuk dan memulai penggalian di bawah pondasi kompleks Masjidil Aqsha dengan keyakinan bahwa The King Solomon Treasure terpendam di bawah situs bersejarah milik umat Islam, upaya ini dilanjutkan dari generasi ke generasi sampai dengan detik ini, melewati lebih dari Sembilan abad, walau apa yang dicari belum pernah ditemukan! Umat Yahudi adalah umat yang patut diberi acungan jempol soal kebanggaan mereka terhadap sejarahnya.

Bagaimana dengan umat Islam? Di sinilah salah satu kelemahan kita yang paling akut. Umat Islam memorinya sangat singkat dan sangat mudah terhapus sehingga kejadian yang baru saja berselang tak lama kemudian begitu cepat terlupakan. Dan parahnya, penyakit lupa sejarah ini tidak saja menghinggapi tingkat akar rumput, namun juga diderita oleh para pemimpinnya atau orang-orang yang mengaku sebagai tokoh umat.

Salah satu kasus yang paling baru adalah berita yang mengutip dari salah seorang tokoh umat Islam bahwa tahun 2008 ini merupakan 100 tahun Kebangkitan Nasional. Hal ini tentu berangkat dari pemahaman bahwa Kebangkitan Nasional Bangsa Indonesia terjadi pada tahun 1908. Apalagi jika bukan pendirian organisasi Boedhi Oetomo (BO) pada 20 Mei 1908 yang dimaksud. Kenyataan ini sungguh-sungguh memilukan.

Adakah mereka tahu bahwa BO sama sekali tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka? Adakah mereka paham bahwa BO tidak berdiri di atas paham kebangsaan, melainkan paham chauvinistis sempit di mana hanya orang Jawa dan Madura yang boleh menjadi anggotanya? Adakah mereka tahu bahwa BO sama sekali tidak menghargai bahasa Melayu sebagai bahasa asal dari bahasa Indonesia karena di dalam rapat-rapat resmi maupun di dalam anggaran dasar maupun anggaran rumah tangganya BO mempergunakan bahasa Belanda?

Adakah mereka tahu jika BO mendukung status-quo yang berarti mendukung penjajahan Belanda atas Bumi Pertiwi ini? Adakah mereka tahu jika para tokoh BO merupakan tokoh-tokoh Freemasonry bentukan Belanda yang gemar mengadakan ritual memanggil setan di loji-loji mereka?

Jelas, tanggal pendirian BO sama sekali sangat tidak pantas dan tidak berhak dijadikan momentum Hari Kebangkitan Nasional! Karena BO memang tidak pernah mencita-citakan itu. Dijadikannya berdirinya BO sebagai momentum Hari Kebangkitan Nasional merupakan salah satu warisan rezim terdahulu yang wajib direformasi dan dihapus dari buku-buku sejarah Indonesia. Seorang pemimpin harus berani mengatakan putih itu putih dan hitam itu hitam. Jika tidak berani, maka namanya bukanlah pemimpin melainkan ‘Pak Turut’.

Kebangkitan Nasional Sesungguhnya

Sebenarnya sudah teramat banyak artikel yang mengupas tentang hal ini. Hanya mereka yang malas membacalah yang tidak mengetahui bahwa berdirinya Syarikat Dagang Islam (SDI) tiga tahun sebelum BO, jadi di tahun 1905, yang patut dijadikan Hari kebangkitan Nasional. Karena SDI yang kemudian menjelma menjadi Syarikat Islam (SI) adalah organisasi bangsa Indonesia dari Sabang hingga Merauke (bukan hanya Jawa dan Madura seperti halnya BO) yang pertama kali yang berhasil menghimpun semua anak bangsa dan mencita-citakan Indonesia merdeka.

Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga SDI dan kemudian SI memakai bahasa melayu sebagai bahasa asal Bahasa Indonesia. Demikian pula di dalam rapat-rapat resminya, organisasi ini mempergunakan bahasa melayu dan diharamkan mempergunakan bahasa Belanda karena dianggap sebagai bahasa kaum penjajah.

Bagi yang belum pernah mendengar hal ini (kasihan sekali) silakan cari sendiri di berbagai situs yang telah memuat banyak artikel tentang hal tersebut. Sejumlah buku-buku pun sudah memaparkan hal ini.

Jangan Lestarikan Yang Salah

Salah satu amanah reformasi adalah pelurusan dan pemurnian sejarah. Dan tokoh-tokoh yang kini berada di lingkaran elit kekuasaan harusnya memenuhi amanah ini. Apalagi Kebangkitan Nasional yang sesungguhnya itu, di tahun 1905, adalah juga kebangkitan organisasi Islam pertama di Nusantara. Umat Islam wajib membanggakan hal itu dan berjuang sekuat tenaga agar seluruh bangsa Indonesia mengetahuinya.

Adalah sangat memilukan jika umat Islam sendiri, apatah lagi tokoh-tokohnya, mengabaikan hal itu dan meneruskan kebohongan sejarah yang mendiskreditkan sejarah Islam Nusantara sendiri kepada generasi penerus bangsa ini. Janganlah mewariskan sesuatu yang salah. Katakanlah yang benar, walau kebenaran itu belum tentu manis rasanya.(rizki)

Sumber : eramuslim.com

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Free Web Hosting