Sejarah perlawanan terhadap berbagai bentuk penjajahan di daerah yang mendapat julukan “Serambi Makkah” itu adalah sekeping dari cerita perjalanan anak bangsa
Oleh Natsir Djamil
“Udep sare mate syahid.” Itulah slogan yang pernah hidup dalam sanubari rakyat yang hidup di Aceh. Sejarah perlawanan terhadap berbagai bentuk penjajahan di daerah yang mendapat julukan “Serambi Makkah” itu adalah sekeping dari cerita perjalanan anak bangsa muslim yang bernama Indonesia. Islam yang menggelora di dada tercermin dari sikap patriotik yang mereka tampilkan. Perlawanan demi perlawanan senantiasa ditampakkan guna mengusung sebuah misi suci yaitu hidup mulia atau mati syahid. Dalam sejarah perjalanan bangsa, Aceh menjadi kawasan dalam lingkungan besar Nusantara yang mampu memelihara identitas. Aceh juga memiliki sejarah kepribadian kolektifnya yang relatif jauh lebih tinggi, lebih kuat, serta paling sedikit “ter-Belanda-kan” daripada daerah-daerah lain. Dan itulah sebabnya, mengapa orang Belanda sekelas Van de Vier menyebutkan bahwa “orang Aceh dapat dibunuh, tetapi tak dapat ditaklukkan” (Aceh Orloog/Perang Aceh).
Kilas balik perlawanan orang Aceh dapat ditelusuri dalam buku-buku sejarah, baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, maupun Perancis. Sejarah mencatat bahwa peperangan melawan kolonialisme dan imperialisme (1873-1942) telah memaksa Aceh melakukan perlawanan sengit. Bahkan mendongkrak semangat kaum wanitanya untuk tampil ke garda terdepan. Dengan perkasa membela kehormatan sekaligus menggencarkan penyerangan terhadap musuh yang datang pada saat bersamaan. Semangat juang tersebut lahir dari sebuah keyakinan bahwa semua itu pilihan perang sabilillah. Berperang demi kehormatan bangsa dan agama. Menampik setiap tawaran kompromi dan hanya mengenal pilihan membunuh atau dibunuh ketika berhadapan dengan para penjajah.
Babak baru sejarah Aceh dimulai sejak Islam singgah di bumi ujung Barat Sumatera. Saat itu dikenal adanya kerajaan-kerajaan Islam seperti Kerajaan Islam Peureulak (840 M/225 H), Kerajaan Islam Samudera Pasai (560 H/1166 M), Kerajaan Tamiang, Pedir dan Meureuhom Daya. Kemudian, oleh Sultan Alauddin Johansyah Berdaulat (601 H/1205 M) Aceh disatukan menjadi Kerajaan Aceh Darussalam dengan ibukota Bandar Aceh Darussalam yang bergelar Kutaraja.
Kerajaan Aceh Darussalam inilah yang memperluas penaklukannya ke negeri-negeri Melayu sampai ke Semenanjung Malaka yang pada abad kelima, Aceh menjadi Kerajaan Islam terbesar di Nusantara dan kelima terbesar di dunia. Sang penakluk itu bernama Sultan Alauddin al Kahhar dan dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam. Penaklukan yang dilakukan Aceh bukan untuk menjajah suku bangsa lain, tetapi untuk melindungi mereka dari penjajahan Portugis (A Hasjmy; Hikayat Perang Sabil Menjiwai Perang Aceh Melawan Belanda. Jakarta: Bulan Bintang 1997).
Pada masa jayanya, Aceh sudah menjalin hubungan dagang dan diplomatik dengan negara-negara tetangga, Timur Tengah dan Eropa. Antara lain dengan Kerajaan Demak, Kerajaan Pattani, Kerajaan Brunei Darussalam, Turki Utsmani, Inggris, Belanda dan Amerika. Kerajaan Aceh Darussalam memiliki hukum sendiri, yakni “Kaneun Meukuta Alam” yang berdasarkan Syariah Islam. Dengan hukum tersebut rakyat yang bernaung dalam Kerajaan Aceh Darussalam mendapat keadilan hukum. Karena itulah, banyak wilayah penaklukan yang merasa senang bergabung dengan Aceh. Seandainya tidak ada hasutan dari pihak kolonial, boleh jadi daerah taklukan tidak melepaskan diri dari Kerajaan Aceh Darussalam.
Ketika kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara sudah ditaklukkan kolonial Barat, Aceh masih berdaulat sampai akhir abad ke-18. Bangsa kolonial, baik Portugis, Inggris, maupun Belanda bukannya tidak berambisi menaklukkan Aceh, tetapi mereka gentar kepada keunggulan Angkatan Laut Aceh yang menguasai perairan Selat Malaka dan Lautan Hindia. Saat itu Angkatan Laut Aceh memiliki armada yang tangguh berkat bantuan senjata dan kapal perang dari Turki Utsmani. Salah satu yang terkenal itu adalah Laksamana Malahayati.
Malahayati, Cut Nyak Dhien, Cut Muetia, dan Pocut Meurah Intan merupakan deretan nama yang menjadi simbol perjuangan kaum perempuan (inong) di Aceh. Mereka terdiri dari kalangan muda, tua maupun janda juga terlibat dalam kancah perjuangan. Begitupun mereka berusaha sekuat mungkin agar perjuangan tidak menghilangkan kodrat kewanitaan. Sebagai wanita yang harus mengandung dan melahirkan tetap dijalani dalam sebuah peperangan. Terkadang harus melaluinya dalam kondisi antara dua peperangan. Kebanyakan berjuang bersama-sama suaminya. Dengan tangan yang kecil mungil lincah memainkan kelewang dan rencong menjadi senjata dahsyat di hadapan lawan, di samping terus menimang bayinya seraya bersenandung semangat perjuangan. Memompakan semangat jihad dengan syair yang indah:
Allah hai do kudaidang
Seulayang blang kaputoh taloe
Beu rayek sinyak rijang-rijang
Jak meuprang bela nanggroe
timang anakku timang
layang-layang sawah putus benang
cepat besar anakku sayang
pergi berperang bela negara
Tidaklah berlebihan apabila H.C. Zentgraaff, seorang penulis dan wartawan Belanda yang terkenal dan banyak menulis tentang sejarah perang melawan Belanda di Aceh mengatakan bahwa para wanitalah yang merupakan “de leidster van het verzet” (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang yang terkenal tersebut. Bahkan sejarah Aceh mengenal “Grandes Dames” (wanita-wanita agung) yang memegang peranan penting dalam politik maupun peperangan baik dalam posisinya menjadi sultaniah atau sebagai istri orang-orang yang terkemuka dan berpengaruh. (Sabili)
Sumber : www.pakdenono.com
0 komentar:
Posting Komentar